Thursday, January 9, 2025

Squid Game: Antara Alegori Gelap Kapitalisme dan Normalisasi LGBT

Squid Game dari Sisi Pandang Islam

 

ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Anda penggemar drakor (drama Korea)? Tentu tahu Squid Game. Squid Game merupakan drama survival asal Korea Selatan yang dirilis di Netflix pada September 2021. Drama seri ini  telah menjadi mesin uang untuk Netflix. Menurut Netflix, Squid Game Season 1 menghasilkan US$ 900 juta atau sekitar Rp 12,6 triliun. Padahal biaya produksinya terbilang murah yaitu US$ 21,4 juta. Jadilah Squid Game drama seri paling populer di peringkat nomor 1 di 90 negara setelah debutnya di bulan September 2021 (tempo.co, 19/10/2021).

Mengikuti jejak kesuksesan season 1, Squid Game Season 2 yang dirilis pada 26 Desember 2024, kembali membuat para fans dan penonton penasaran. Netflix merilis pada Rabu (1/1/2025), Squid Game 2 menjadi serial nomor 1 di 92 negara. Ia meraih 68 juta views hanya dalam waktu 5 hari (idntimes.com, 2/1/2025).

K EnterTech Hub memprediksi, keuntungan Squid Game 2 bisa mencapai 1,5 triliun Won, atau setara Rp 16,59 triliun. Namun Netflix menyangkalnya. Mereka menegaskan, menghitung pendapatan berdasarkan satu tayangan di platform streaming adalah hal mustahil. Terlepas dari perdebatan soal angka, Squid Game 2 membuktikan bahwa drama Korea masih menjadi magnet besar di dunia hiburan global (radarbangkalan.id, 3/1/2025).

Dalam logika kapitalisme, sebuah tayangan yang mampu mendulang banyak penonton dan cuan, wajar bila produksinya diulang. Sukses di season 1, maka bikin season 2. Bahkan sutradara Squid Game telah berencana merilis season 3 pada tahun 2025 ini. Terlepas apakah kontennya mendidik atau tidak, selama dianggap  menghibur dan disukai pemirsa hingga meraih rating tinggi, maka akan terus diproduksi. Serial ini juga layak dikritisi. Kontennya sarat mengandung nilai hidup kapitalistik liberal.

Series populer Squid Game 2
Series Korea Squid Game 2 yang fenomenal. Foto: soompi.com/canva

Eksploitasi dan Dehumanisasi

Squid Game berkisah tentang orang-orang yang rela bertaruh nyawa dalam permainan misterius demi mendapat hadiah 45.6 juta won Korea. 456 orang yang kesulitan finansial diundang mengikuti kompetisi bertahan hidup. Permainan anak-anak dimodifikasi sedemikian rupa hingga membahayakan nyawa. Pesertanya berpotensi terbunuh kapan saja. Hampir semua peserta takut luar biasa yang ditunjukkan dengan tangisan, isakan, dan tubuh gemetar (tempo.co, 27/9/2021).

Meskipun 'hanya' serial drama, Squid Game menggambarkan realitas sistem hidup di mana yang kalah kian terhimpit hingga tak tersisa ruang bertahan, sementara yang menang mendulang semua kejayaan. Permainan di dalamnya bukan sekadar hiburan, tetapi sebuah alegori (gambaran) tajam tentang bagaimana kapitalisme bekerja. Kompetisi brutal, eksploitatif, penuh ketimpangan.

Kapitalisme adalah sistem ekonomi di mana sumber daya, modal, dan alat produksi dimiliki serta dikendalikan oleh individu atau kelompok swasta, bukan oleh negara. Dalam sistem ini, motif utama yang menggerakkan roda ekonomi adalah keuntungan, sementara alokasi sumber daya ditentukan oleh mekanisme pasar. Penawaran dan permintaan menjadi wasit utama.

Kapitalisme tumbuh subur di atas kebebasan individu untuk berbisnis dan bersaing, yang dianggap sebagai motor utama inovasi dan efisiensi. Dalam sistem kapitalisme, keberhasilan itu hak istimewa segelintir orang. Sementara mayoritas berjuang dalam kompetisi tidak seimbang. Kapitalisme bikin orang sulit keluar dari kemiskinan, karena penghasilan mereka tidak cukup menutupi kebutuhan dasar apalagi membayar utang. Ini adalah realitas banyak orang, tidak jauh berbeda dengan peserta Squid Game yang rela mempertaruhkan segalanya demi hadiah besar.

Ketimpangan ekonomi juga tergambar jelas, baik di Squid Game maupun kehidupan nyata. Dalam permainan itu hanya ada satu pemenang, sementara lainnya harus rela kehilangan segalanya bahkan nyawa. Mirip dengan statistik dunia nyata, di mana 1 persen populasi menguasai sebagian besar kekayaan global, meninggalkan remahan sisanya untuk diperebutkan 99 persen lainnya. Logika kapitalisme mirip permainan ini. Hanya para pemilik modal, koneksi, atau keberuntungan yang mampu bertahan dan menikmati hasil besar. Sementara mereka yang berjuang dari nol harus menghadapi rintangan berat.

Yang paling mencolok dalam Squid Game adalah eksploitasi dan dehumanisasi. Peserta permainan tidak lagi dipandang sebagai manusia, melainkan alat hiburan bagi mereka yang kaya. Dalam kapitalisme, pola ini terjadi. Manusia diperlakukan sebagai alat produksi yang nilainya diukur hanya berdasar profit yang dihasilkan. Kemanusiaan hilang di tengah persaingan memperebutkan keuntungan.

Squid Game adalah alegori yang mengingatkan kita akan sisi tergelap kapitalisme. Ketika uang menjadi tujuan utama dan manusia kehilangan martabatnya. Maka pemirsa harus bisa membaca, apakah sisi gelap kapitalisme ini akan ia jadikan pelajaran untuk tak terjebak dalam lingkarannya atau ia justru menyepakati sebagai bagian dari daur hidup di dalamnya.

 

Normalisasi LGBT

Di sisi lain, Squid Game Season 2 memicu perdebatan sengit  antarpenggemar karena hadirnya karakter transgender. Sebagian penonton mengecam kehadiran tokoh tersebut karena menganggapnya “kasus klasik” yang dipaksakan ke dalam dunia hiburan. Diduga demi memenuhi "standar dunia" ala negara adidaya dan lembaga internasional semacam PBB yang antidiskriminasi terhadap kaum marjinal, tokoh transgender dilibatkan.

Karakter transgender tersebut bernama Hyun Ju, yang berpartisipasi dalam permainan Squid Game untuk mengumpulkan uang agar bisa operasi afirmasi gender. Reaksi keras dimulai ketika para penggemar mengatakan tidak perlu menambahkan karakter transgender ke dalam serial tersebut. Bahkan merasa serial ini mengajarkan hal yang salah kepada anak-anak.

Ya, apapun alasannya, memunculkan tokoh transgender dalam film adalah sebuah kesalahan. Apalagi bagi masyarakat di negeri-negeri Muslim yang masih memegang syu'ur (perasaan) keislaman. Perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) tak hanya tabu, tapi menyimpang dan terlaknat dalam pandangan agama.

Stop normalisasi penyimpangan
Ilustrasi penyimpangan untuk diluruskan, bukan dinormalisasi. Foto: canva

Sementara dalam dunia industri global, LGBT justru diberi panggung. Banyak film khususnya produksi Hollywood yang memasang tokoh transgender. Bahkan di ajang perfilman paling bergengsi di Eropa, Cannes Film Festival, yang setiap tahunnya menghadirkan deretan film terbaik dunia, memberikan penghargaan Queer Palm bagi film dengan narasi LGBTQ+ terkuat. Pada tahun 2024, 9 film bermuatan LGBT menjadi nominator peraih Queer Palm di Cannes Film Festival 2024. Di antaranya berjudul; Bird, Emilia Perez, The Balconettes, dan The Beauty of Gaza.

Film animasi untuk anak-anak pun tak lepas dari konten LGBT, baik dalam cerita maupun karakternya. Ada Toy Story 4 yang menampilkan sosok orang tua lesbian. Dalam The Simpsons, juga ada karakter lesbian yang menjalani pernikahan sejenis. Kate Kane alias Batwoman dalam film Batman: Bad Blood merupakan salah satu superhero cewek DC yang dikisahkan memiliki orientasi seksual lesbian. Adapun Gobbler the Belch, seorang viking veteran yang betah melajang merupakan sosok homoseksual dalam film How to Train Your Dragon. Film SpongeBob yang viral itu juga tak lepas dari konten LGBT.

Mengerikan bukan? Disadari atau tidak, infiltrasi konten LGBT dalam film dan drama adalah bagian dari normalisasi perilaku menyimpang. Para pendukung dan pelaku LGBT tak lelah mengkampanyekan perilaku mereka sebagai sesuatu yang normal dan wajar. Bahkan kaum sodom membentuk citra positif bahwa perilakunya itu unik, istimewa, dan membanggakan.

Demi dianggap normal, tak tanggung-tanggung, mereka pernah merilis program normalisasi bertajuk Being LGBT in Asia pada Desember 2014 hingga September 2017. Dana yang digelontorkan  sebesar 8 juta dolar AS (sekitar Rp 107,8 miliar). Empat negara target implementasi proyek tersebut yakni Indonesia, Tiongkok, Filipina, dan Thailand.

Kaum LGBT makin percaya diri tampil di publik karena di abad 21 ini mereka tak lagi sebagai gerakan individual atau komunitas sosial. Kini LGBT menjelma sebagai gerakan politik karena didukung oleh Amerika Serikat, negara superpower yang melegalkan pernikahan sejenis pada tahun 2015 menyusul 20-an negara Barat lain.

Rasa jumawa mereka bertambah karena PBB melindungi dan mengakui hak-hak mereka dalam UN Declaration on Sexual Orientation and Gender Identity pada Desember 2008. PBB juga mengeluarkan seruan 'Menanggulangi diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender' pada April 2011 sebagai wujud komitmen menentang segala jenis diskriminasi terhadap pelaku LGBT.

Bila konten LGBT terus menyesaki tayangan global, dikhawatirkan lambat laun perilaku laknat ini akan dianggap warga dunia sebagai hal normal, wajar, biasa. Ketika predikat normal telah disematkan pada kaum LGBT, maka pintu kerusakan semakin terbuka. Bukankah kesalahan yang terus disampaikan, akan diterima sebagai kebenaran? Dengan demikian, jangan jadikan tontonan sebagai tuntunan. Tetaplah mengambil apa-apa di dalamnya berdasar standar kebenaran yang diajarkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya. []

 

 

Kontributor: Puspita Satyawati (Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Keislaman)