ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Lagi dan lagi. Kasus korupsi di negeri
ini nyaris tiada henti. Terbaru, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menjadi
tersangka kasus dugaan suap yang melibatkan mantan caleg PDIP Harun Masiku.
Selain itu, Hasto ditetapkan sebagai tersangka yang diduga merintangi
penyidikan atau obstruction of justice (OOJ) dalam kasus tersebut (kompastv,
29/12/2024).
Merasa sebagai target politisasi hukum
dan kriminalisasi dalam penetapan tersangka korupsi, Hasto bakal melakukan
perlawanan balik. Ia mengaku, memiliki video skandal petinggi negara dan elite
politik yang diduga menyalahgunakan kekuasaan untuk korupsi dan mengintervensi
proses penegakan hukum (tribunnews.com, 29/12/2024).
Sebelumnya, Ketua Umum PDIP Megawati
Soekarnoputri telah pasang badan. Mega berkoar akan mendatangi gedung KPK jika
Hasto ditangkap sebagai bentuk tanggung jawab kepada warga (sekjen)nya
(detik.com, 24/12/2024).
Dari kasus Hasto ini ada sebuah
pertanyaan menggelitik, mengapa kubu PDIP seakan baru berteriak nyaring soal
korupsi akhir-akhir ini? Sementara saat PDIP berkuasa melalui kepemimpinan
Jokowi ("petugas partainya" saat itu), kasus korupsi Harun Masiku
hingga Harunnya sendiri seolah lenyap ditelan bumi.
![]() |
Hasto Kristiyanto. Foto: lampos.co |
Gejala ini melengkapi sekian kasus pengungkapan korupsi sebelumnya bahwa penanganan korupsi selama ini bersifat tebang pilih. Kental dengan aroma politisasi hukum. Hukum ditegakkan bukan demi meraih keadilan tapi dikangkangi oleh kekuasaan politik demi menjatuhkan lawan, atau untuk menolong kawan sekubu. Diakui atau tidak, inilah realitas yang sering terjadi dalam penerapan demokrasi sekuler, sebuah sistem pemerintahan yang menjauhkan nilai agama dan halal-haram dalam mengelola urusan masyarakat. Alih-alih memberantas korupsi, mereka menampakkan politik dagang sapi.
Cara Islam Atasi Korupsi
Bila dalam alam demokrasi kapitalistik
korupsi subur bak cendawan di musim hujan, maka dalam sistem sistem Islam
korupsi tak diberi ruang untuk tumbuh dan berkembang. Syariat Islam memandang,
korupsi termasuk perbuatan khianat. Orangnya disebut khaa’in. Korupsi
adalah tindakan pengkhianatan yang dilakukan oleh seseorang yaitu menggelapkan
harta yang diamanatkan kepada dirinya (Abdurrahman al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat,
hlm. 31).
Penerapan syariat Islam akan sangat efektif
untuk membasmi korupsi, baik aspek pencegahan (preventif) maupun penindakan
(kuratif). Secara preventif, setidaknya ada enam langkah untuk mencegah
korupsi. Pertama, merekrut aparat negara yang amanah, profesional, dan
integritas.
Tentang sikap amanah Allah Subhanahu
Wa Ta'ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah
kalian, padahal kalian tahu” (QS. Al Anfal: 27).
Di antaranya yang paling penting adalah
amanah kekuasaan. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Pemimpin
yang memimpin rakyat adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang
ia urus” (HR. Bukhari). Tentang profesionalitas dan integritas, Rasulullah bersabda,
“Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari
kiamat” (HR. Bukhari).
Kedua,
negara harus membina seluruh aparat dan pegawainya. Ketika Nabi Shalallahu
Alaihi Wasallam mengutus Muadz ke Yaman menjadi ‘amil
(kepala daerah setingkat bupati) dan ia sudah dalam perjalanan, Rasul memerintahkan
seseorang untuk memanggil Muadz agar kembali. Lalu beliau bersabda kepada
Muadz, “Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena hal itu adalah
ghulul (khianat). Siapa saja yang berkhianat, pada hari kiamat ia akan datang
membawa apa yang dikhianatkannya itu (QS. Ali 'Imran: 161). Karena inilah aku
memanggilmu. Sekarang pergilah untuk melakukan tugasmu” (HR. At Tirmidzi
dan Ath Thabarani).
Ketiga,
negara wajib memberikan gaji dan fasilitas layak kepada aparatnya. Nabi Shalallahu
Alaihi Wasallam bersabda, ”Siapa saja yang bekerja
untuk kami tetapi tidak punya rumah, hendaklah ia mengambil rumah. Jika tidak
punya istri, hendaklah ia menikah. Jika tidak punya pembantu atau kendaraan,
hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan” (HR. Ahmad).
Keempat,
Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Rasul bersabda,
“Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian
(gaji) untuknya, maka apa yang ia ambil setelah itu adalah harta ghulul” (HR.
Abu Dawud dan Al Hakim).
Kelima,
melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab menghitung
kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Jika Umar mendapati
kekayaan seorang wali atau ‘amil bertambah secara tidak wajar, beliau meminta
pejabat tersebut menjelaskan asal-usulnya. Jika penjelasannya tidak memuaskan,
kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke baitulmal. Hal
ini pernah beliau lakukan terhadap Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan, juga Amr
bin al-‘Ash (Ibnu ’Abd Rabbih, Al-’Iqd al-Farîd, I/46—47).
Keenam,
pengawasan oleh negara dan masyarakat. Pemberantasan korupsi lebih sempurna
jika disertai kontrol dari masyarakat, khususnya para ulama.
Adapun secara kuratif, membasmi korupsi
dengan penerapan sanksi tegas dan tanpa tebang pilih. Dalam Islam, hukuman untuk
koruptor masuk kategori takzir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya
ditentukan oleh hakim/penguasa. Dari yang paling ringan seperti teguran hakim,
penjara, denda, pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa, hukuman
cambuk, hingga sanksi paling tegas yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman
sesuai berat ringannya kejahatan (Abdurrahman al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat,
hlm. 78—89).
Para Khalifah Memerangi Korupsi
Perang melawan korupsi telah dilakukan
oleh para khalifah dari masa ke masa. Dikutip dari republika.co.id (20/3/2020),
A.F. Ahmed dalam The Rightly Guided Caliphs and the Umayyads menulis, saat Umar
bin Khaththab menjabat khalifah, ia memecat pejabat atau kepala daerah yang korupsi.
Umar juga menginspeksi kekayaan pejabat dan menyita harta yang didapat bukan
dari gaji yang semestinya. Harta sitaan dikumpulkan di baitulmal untuk kepentingan
rakyat.
Sebagai pencegahan lanjutan, ia melarang
pejabat eksekutif turut campur mengelola baitulmal. Di tingkat wilayah (provinsi),
pengelola keuangan daerah tidak bergantung pada wali (gubernur) dan tanggung
jawab mereka langsung kepada pemerintah pusat.
Tuduhan korupsi dan nepotisme juga kuat
menerpa kepemimpinan Utsman bin Affan. Kala itu, Utsman dianggap sengaja
menunjuk karib kerabatnya untuk menduduki posisi penting di pemerintahan. Namun
semua dibantah langsung oleh Utsman. Sementara pada masa Ali bin Abi Thalib,
pemecatan pejabat korup juga dilakukan meski menimbulkan pergesekan politik.
![]() |
Islam memiliki seperangkat aturan untuk memberantas korupsi. Foto: pixelshot/canva |
Pada masa Bani Umayah (661-750 M), Umar
bin Abdul Aziz mengembalikan semua harta masyakat yang sebelumnya diakui dan
digunakan raja beserta keluarganya. Ia pun menghukum para pelaku korupsi. Para
pejabat juga diberi gaji sebesar 300dinar dan dilarang mencari pemasukan
sampingan.
Mohammad Hashim Kamali dalam “Islam
Prohibits All Forms of Corruption” menulis, di masa Bani Abbasiyah (750-1258
M), Jafar al- Mansur mendirikan Diwan al-Musadirin yang bertugas menangani
persoalan korupsi dan suap yang melibatkan pejabat pemerintah, pengusaha,
kontraktor, dan semua pihak yang memiliki hubungan usaha dengan pemerintah.
Suap terhadap hakim (qadhi), tulis
Omer Duzbakar dalam artikelnya, “Bribery in Islam-Ottoman Penal Codes and
Examples From The Bursa Shari’a Court Records of 18th Century”, merupakan aktivitas
yang berjalan sejak Bani Utsmaniyah berdiri. Lalu pada masa kepemimpinan Sultan
Muhammad IV (Mehmed IV), ada dewan inspeksi yang mengawasi dan melaporkan sumber
harta para pejabat, serta menjalankan hukuman bagi yang terbukti memperkaya
diri dengan cara tidak sah.
Pada abad ke-16 dan 17, pengadilan khusus
yang menangani penyimpangan wewenang oleh pejabat negara (mazalim) juga
dibentuk. Mereka diminta mengembalikan harta yang diterima secara ilegal itu. Penerima,
pemberi, dan mediator suap atau korupsi dicopot dari jabatan atau dipenjara.
Sementara pejabat wanita korupsi atau menerima suap dihukum penjara maksimal
satu tahun.
Pengasingan juga menjadi bentuk hukuman
lainnya. Mantan hakim militer Anatolia, Veliyuddin Efendi, yang terbukti
melakukan korupsi diasingkan ke Mytilene. Pengasingan maksimal enam tahun.
Semua hukuman ini diharapkan berefek jera bagi para pelaku dan menjadi contoh
bagi pejabat lainnya. Pada abad ke-18, sanksi diperluas dengan hukuman mati dan
denda. Pada kasus tertentu, hukuman mati bisa diganti dengan sejumlah harta.
Jelas bahwa pemberantasan korupsi hanya
akan berhasil dalam sistem Islam. Sebaliknya, sulit sekali bahkan mungkin
mustahil terwujud dalam sistem sekuler seperti saat ini. Menjadi motivasi bagi
umat Islam untuk terus memperjuangkan syariat Islam hingga diterapkan secara
nyata. []
Kontributor: Puspita
Satyawati (Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Keislaman)