Wednesday, January 1, 2025

Di Negeri Demokrasi: Berantas Korupsi Kayak Dagang Sapi

Berantas korupsi di negeri demokrasi


ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Lagi dan lagi. Kasus korupsi di negeri ini nyaris tiada henti. Terbaru, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menjadi tersangka kasus dugaan suap yang melibatkan mantan caleg PDIP Harun Masiku. Selain itu, Hasto ditetapkan sebagai tersangka yang diduga merintangi penyidikan atau obstruction of justice (OOJ) dalam kasus tersebut (kompastv, 29/12/2024).

Merasa sebagai target politisasi hukum dan kriminalisasi dalam penetapan tersangka korupsi, Hasto bakal melakukan perlawanan balik. Ia mengaku, memiliki video skandal petinggi negara dan elite politik yang diduga menyalahgunakan kekuasaan untuk korupsi dan mengintervensi proses penegakan hukum (tribunnews.com, 29/12/2024).

Sebelumnya, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri telah pasang badan. Mega berkoar akan mendatangi gedung KPK jika Hasto ditangkap sebagai bentuk tanggung jawab kepada warga (sekjen)nya (detik.com, 24/12/2024).

Dari kasus Hasto ini ada sebuah pertanyaan menggelitik, mengapa kubu PDIP seakan baru berteriak nyaring soal korupsi akhir-akhir ini? Sementara saat PDIP berkuasa melalui kepemimpinan Jokowi ("petugas partainya" saat itu), kasus korupsi Harun Masiku hingga Harunnya sendiri seolah lenyap ditelan bumi.

Hasto Kristiyanto
Hasto Kristiyanto. Foto: lampos.co

Gejala ini melengkapi sekian kasus pengungkapan korupsi sebelumnya bahwa penanganan korupsi selama ini bersifat tebang pilih. Kental dengan aroma politisasi hukum. Hukum ditegakkan bukan demi meraih keadilan tapi dikangkangi oleh kekuasaan politik demi menjatuhkan lawan, atau untuk menolong kawan sekubu. Diakui atau tidak, inilah realitas yang sering terjadi dalam penerapan demokrasi sekuler, sebuah sistem pemerintahan yang menjauhkan nilai agama dan halal-haram dalam mengelola urusan masyarakat. Alih-alih memberantas korupsi, mereka menampakkan politik dagang sapi.

       

Cara Islam Atasi Korupsi

Bila dalam alam demokrasi kapitalistik korupsi subur bak cendawan di musim hujan, maka dalam sistem sistem Islam korupsi tak diberi ruang untuk tumbuh dan berkembang. Syariat Islam memandang, korupsi termasuk perbuatan khianat. Orangnya disebut khaa’in. Korupsi adalah tindakan pengkhianatan yang dilakukan oleh seseorang yaitu menggelapkan harta yang diamanatkan kepada dirinya (Abdurrahman al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, hlm. 31).

Penerapan syariat Islam akan sangat efektif untuk membasmi korupsi, baik aspek pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif). Secara preventif, setidaknya ada enam langkah untuk mencegah korupsi. Pertama, merekrut aparat negara yang amanah, profesional, dan integritas.

Tentang sikap amanah Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah kalian, padahal kalian tahu” (QS. Al Anfal: 27).

Di antaranya yang paling penting adalah amanah kekuasaan. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus” (HR. Bukhari). Tentang profesionalitas dan integritas, Rasulullah bersabda, “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat” (HR. Bukhari).

Kedua, negara harus membina seluruh aparat dan pegawainya. Ketika Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam mengutus Muadz ke Yaman menjadi ‘amil (kepala daerah setingkat bupati) dan ia sudah dalam perjalanan, Rasul memerintahkan seseorang untuk memanggil Muadz agar kembali. Lalu beliau bersabda kepada Muadz, “Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena hal itu adalah ghulul (khianat). Siapa saja yang berkhianat, pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu (QS. Ali 'Imran: 161). Karena inilah aku memanggilmu. Sekarang pergilah untuk melakukan tugasmu” (HR. At Tirmidzi dan Ath Thabarani).

Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas layak kepada aparatnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda, ”Siapa saja yang bekerja untuk kami tetapi tidak punya rumah, hendaklah ia mengambil rumah. Jika tidak punya istri, hendaklah ia menikah. Jika tidak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan” (HR. Ahmad).

Keempat, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Rasul bersabda, “Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuknya, maka apa yang ia ambil setelah itu adalah harta ghulul” (HR. Abu Dawud dan Al Hakim).

Kelima, melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Jika Umar mendapati kekayaan seorang wali atau ‘amil bertambah secara tidak wajar, beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usulnya. Jika penjelasannya tidak memuaskan, kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke baitulmal. Hal ini pernah beliau lakukan terhadap Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan, juga Amr bin al-‘Ash (Ibnu ’Abd Rabbih, Al-’Iqd al-Farîd, I/46—47).

Keenam, pengawasan oleh negara dan masyarakat. Pemberantasan korupsi lebih sempurna jika disertai kontrol dari masyarakat, khususnya para ulama.

Adapun secara kuratif, membasmi korupsi dengan penerapan sanksi tegas dan tanpa tebang pilih. Dalam Islam, hukuman untuk koruptor masuk kategori takzir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim/penguasa. Dari yang paling ringan seperti teguran hakim, penjara, denda, pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa, hukuman cambuk, hingga sanksi paling tegas yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman sesuai berat ringannya kejahatan (Abdurrahman al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, hlm. 78—89).

 

Para Khalifah Memerangi Korupsi

Perang melawan korupsi telah dilakukan oleh para khalifah dari masa ke masa. Dikutip dari republika.co.id (20/3/2020), A.F. Ahmed dalam The Rightly Guided Caliphs and the Umayyads menulis, saat Umar bin Khaththab menjabat khalifah, ia memecat pejabat atau kepala daerah yang korupsi. Umar juga menginspeksi kekayaan pejabat dan menyita harta yang didapat bukan dari gaji yang semestinya. Harta sitaan dikumpulkan di baitulmal untuk kepentingan rakyat.

Sebagai pencegahan lanjutan, ia melarang pejabat eksekutif turut campur mengelola baitulmal. Di tingkat wilayah (provinsi), pengelola keuangan daerah tidak bergantung pada wali (gubernur) dan tanggung jawab mereka langsung kepada pemerintah pusat.

Tuduhan korupsi dan nepotisme juga kuat menerpa kepemimpinan Utsman bin Affan. Kala itu, Utsman dianggap sengaja menunjuk karib kerabatnya untuk menduduki posisi penting di pemerintahan. Namun semua dibantah langsung oleh Utsman. Sementara pada masa Ali bin Abi Thalib, pemecatan pejabat korup juga dilakukan meski menimbulkan pergesekan politik.

Cara Islam memberantas korupsi
Islam memiliki seperangkat aturan untuk memberantas korupsi. Foto: pixelshot/canva

Pada masa Bani Umayah (661-750 M), Umar bin Abdul Aziz mengembalikan semua harta masyakat yang sebelumnya diakui dan digunakan raja beserta keluarganya. Ia pun menghukum para pelaku korupsi. Para pejabat juga diberi gaji sebesar 300dinar dan dilarang mencari pemasukan sampingan.

Mohammad Hashim Kamali dalam “Islam Prohibits All Forms of Corruption” menulis, di masa Bani Abbasiyah (750-1258 M), Jafar al- Mansur mendirikan Diwan al-Musadirin yang bertugas menangani persoalan korupsi dan suap yang melibatkan pejabat pemerintah, pengusaha, kontraktor, dan semua pihak yang memiliki hubungan usaha dengan pemerintah.

Suap terhadap hakim (qadhi), tulis Omer Duzbakar dalam artikelnya, “Bribery in Islam-Ottoman Penal Codes and Examples From The Bursa Shari’a Court Records of 18th Century”, merupakan aktivitas yang berjalan sejak Bani Utsmaniyah berdiri. Lalu pada masa kepemimpinan Sultan Muhammad IV (Mehmed IV), ada dewan inspeksi yang mengawasi dan melaporkan sumber harta para pejabat, serta menjalankan hukuman bagi yang terbukti memperkaya diri dengan cara tidak sah.

Pada abad ke-16 dan 17, pengadilan khusus yang menangani penyimpangan wewenang oleh pejabat negara (mazalim) juga dibentuk. Mereka diminta mengembalikan harta yang diterima secara ilegal itu. Penerima, pemberi, dan mediator suap atau korupsi dicopot dari jabatan atau dipenjara. Sementara pejabat wanita korupsi atau menerima suap dihukum penjara maksimal satu tahun.

Pengasingan juga menjadi bentuk hukuman lainnya. Mantan hakim militer Anatolia, Veliyuddin Efendi, yang terbukti melakukan korupsi diasingkan ke Mytilene. Pengasingan maksimal enam tahun. Semua hukuman ini diharapkan berefek jera bagi para pelaku dan menjadi contoh bagi pejabat lainnya. Pada abad ke-18, sanksi diperluas dengan hukuman mati dan denda. Pada kasus tertentu, hukuman mati bisa diganti dengan sejumlah harta.

Jelas bahwa pemberantasan korupsi hanya akan berhasil dalam sistem Islam. Sebaliknya, sulit sekali bahkan mungkin mustahil terwujud dalam sistem sekuler seperti saat ini. Menjadi motivasi bagi umat Islam untuk terus memperjuangkan syariat Islam hingga diterapkan secara nyata. []  

 

 

Kontributor: Puspita Satyawati (Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Keislaman)