ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Terbongkar! Berawal dari laporan masyarakat yang mencurigai peredaran uang palsu di wilayah Lambengi, Bontoala, Pallangga, Kabupaten Gowa, akhirnya sindikat uang palsu terungkap pada Rabu (18/12/2024). Total uang palsu disita mencapai Rp 446,7 juta. Sindikat ini beroperasi di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Sulawesi Selatan dan hanya mencetak pecahan uang Rp100 ribu. Polisi menetapkan 17 tersangka pembuat dan pengedar uang palsu serta mengamankan barang bukti senilai ratusan triliun rupiah (kompas.com, 29/12/2024).
Mengejutkan! Kepolisian menduga, produksi uang
palsu demi keperluan Pilkada serentak 2024. Menurut Kapolda Sulsel, Irjen Pol
Yudhiawan Wibisono, salah satu yang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) adalah
ASS, seorang politikus yang ingin maju Pilgub Sulsel 2024. ASS sempat jadi
calon walikota Makassar pada 2013 silam, tapi tak cukup kursi untuk mengusung.
Tak hanya itu, tiga DPO juga sempat mengajukan proposal untuk memodali salah
satu calon kepala daerah di Kabupaten Barru di Pilkada kemarin tapi tidak
diterima (cnnindonesia.com, 19/12/2024).
Padahal beredarnya uang palsu akan merugikan
negara, terutama sektor ekonomi. Peredarannya bisa meningkatkan risiko inflasi
karena banyaknya jumlah uang yang beredar di masyarakat. Selain itu,
menyebabkan kerugian finansial bagi individu dan bisnis. Pemalsuan mata uang
juga menimbulkan kejahatan seperti terorisme, kejahatan politik, pencucian uang
(money laundy), perdagangan orang, dan lain-lain. Hal ini tentu menambah
beban bagi aparat penegak hukum untuk memberantasnya.
![]() |
Kasus pemalsuan uang menjadi keniscayaan di negeri kapitalis. Foto: johan10/canva |
Potret Buram Sistem Rusak
Ironis bin miris. Ketika kampus Islam justru
menjadi sarang kejahatan. Seharusnya menjadi tempat mahasiswa memperdalam ilmu
agama dan pengetahuan lainnya, justru ruang perpustakaan digunakan untuk
mencetak uang palsu.
Salah seorang pelaku yaitu Kepala Perpustakaan
UIN Alauddin Makassar, Andi Ibrahim, memanfaatkan modus peminjaman buku yang
dapat difotokopi oleh mahasiswa lalu memasukkan mesin pencetak uang palsu ke
dalam perpustakaan kampus UIN. Seluruh penghuni kampus termasuk mahasiswa,
tidak mengetahui bahwa mesin cetak tersebut ternyata merupakan mesin cetak uang
palsu alias bukan mesin fotokopi (cnbcindonesia.com, 1/1/2024).
Mungkin sebagian orang akan mempertanyakan,
"Kok bisa ya orang yang bekerja di lembaga pendidikan Islam berbuat
kejahatan?" Atau bisa jadi kasus ini dianggap sebagai anomali. Padahal
bila ditelisik, sebagaimana varian kejahatan lainnya, pencetakan uang palsu
adalah keniscayaan dalam masyarakat yang menerapkan sistem sekularisme
kapitalistik.
Bagaimana tidak? Sistem rusak ini telah
mendidik manusia di dalamnya kian jauh dari agama. Ia memproduksi manusia
sekuler secara massal. Mengaku Muslim tapi pola pikir dan sikapnya jauh dari
ajaran Islam. Menerima Allah sebagai Sang Pencipta tapi menolak menjalankan
aturan-Nya.
Orang sekuler tak sudi menjadikan halal haram
sebagai standar perbuatan. Mereka memilih manfaat dan keuntungan materiil
sebagai asas aktivitas. Di mana ada keuntungan meski haram, ya akan dilakukan.
Berdalih mencari yang haram saja susah, apalagi cari yang halal.
Tujuan hidup tak lagi menjadi hamba Allah yang
beribadah pada-Nya. Tapi berganti menjadi penghamba dunia. Hidup tak lebih dari
mencari uang, duit, dan cuan. Makna kebahagiaan bukan lagi meraih ridha Ilahi
tapi sebanyak-banyaknya memiliki materi. Standar kesuksesan dilihat dari
semakin tingginya jabatan dan kekuasaan serta kian banyaknya harta benda yang
dipunya.
Jadilah kejahatan merajalela dalam sistem
sekularisme kapitalistik. Jenis kejahatan apa sih yang tidak ada di
negeri ini? Setiap hari berita kriminalitas menghiasi media. Pelakunya juga
orang berpendidikan bahkan tahu agama. Tapi orang yang telah terbelenggu dunia,
mereka lebih mengedepankan hawa nafsu daripada akal sehatnya.
Maka demi bisa kaya tanpa susah payah kerja,
mencetak dan mengedarkan uang palsu menjadi solusi bagi mereka. Untuk
mewujudkan obsesi duduk di kursi kepala daerah yang butuh dana fantastis, uang
palsu menjadi sarananya. Peredaran uang palsu menjadi salah satu potret buram
penerapan sistem sekuler nan rusak.
Uang Emas dalam Sistem Islam
Bila uang kertas menjadi mata uang andalan ala kapitalisme,
maka sistem pemerintahan Islam menerapkan mata uang logam yaitu emas dan perak.
Dibandingkan uang kertas yang bergantung pada kepercayaan masyarakat terhadap
nilai yang dijaminnya, emas dan perak sebagai logam mulia tentu lebih unggul
karena memiliki nilai intrinsik. Nilai fisiknya setara dengan nilai yang
dikandungnya. Sehingga emas dan perak adalah uang yang up to date karena
nilainya tetap stabil di sepanjang waktu dan tidak mudah dimanipulasi.
Selain itu, emas dan perak memiliki ciri khas
yang sulit dipalsukan, seperti berat, warna, dan kemurnian, yang membuatnya
lebih tahan terhadap pemalsuan. Di sisi lain, material emas dan perak tahan
lama, tidak mudah rusak atau robek, dan memiliki ketahanan fisik yang lebih
baik.
Merujuk pada sejarah masa lampau, emas dan
perak bukanlah mata uang asing dalam kehidupan kaum Muslimin. Rasulullah Shalallahu
Alaihi Wasallam telah
menetapkan keduanya sebagai mata uang. Pun menjadikannya sebagai standar keuangan
untuk menilai barang dan jasa.
Transaksi-transaksi dilangsungkan berdasarkan standar emas dan perak.
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam juga telah
menyetujui dan menetapkan ukuran untuk mata uqiyah, dirham, daniq, qirath,
mitsqal dan dinar. Ukuran-ukuran
tersebut dikenal pada zaman Nabi dan digunakan bertransaksi oleh masyarakat.
Atas dasar itu, ada persetujuan dari Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam.
Sejumlah hadis shahih menuturkan bahwa jual
beli dan pernikahan (penentuan mahar dan sebagainya) dilangsungkan dengan
menggunakan emas dan perak. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam juga mengaitkan beberapa hukum syariah dengan
keduanya saja. Beliau menjadikan zakat uang terbatas pada emas dan perak. Pun
membatasi sharf dan transaksi keuangan dengan keduanya. Semua itu
menunjukkan bahwa mata uang Islam hanyalah emas dan perak, bukan yang lain.
![]() |
Ilustrasi keunggulan mata uang emas. Foto: Liudmila Chernetska/Canva |
Hanya saja yang harus dipahami bahwa keberadaan
syariat yang menetapkan emas dan perak sebagai mata uang resmi yang diterbitkan
negara dengan satuan tertentu, tidak berarti negara mengikat
pertukaran-pertukaran di tengah masyarakat dengan mata uang ini saja. Namun hal
itu bermakna bahwa hukum syariat yang telah ditetapkan dengan mata uang dan
satuan emas perak, maka hukum-hukum ini tidak dilangsungkan kecuali sejalan
dengan mata tersebut.
Adapun pertukaran (barter) tetaplah berhukum
mubah, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh syariat. Negara tidak boleh
membatasi pertukaran dengan satuan tertentu. Dengan kata lain, negara tidak
boleh membatasi pertukaran hanya dengan mata uang negara, atau dengan mata uang
lain. Sebab pembatasan semacam ini termasuk perbuatan mengharamkan yang
mubah.
Hal ini tentu tidak diperbolehkan. Negara tidak
boleh melakukan hal itu, kecuali jika memandang keberadaan mata uang lain di
dalam negeri menyebabkan krisis mata uang, krisis keuangan, atau krisis
ekonomi. Dengan kata lain, keberadaan mata uang negara lain menyebabkan bahaya
(dharar) bagi negara dan masyarakat. Dalam keadaan seperti ini, negara
boleh melarang mata uang itu berdasarkan kaidah, "Sarana menuju keharaman
adalah haram."
Begitu pula jika negara memandang mata uang
tertentu bisa menyebabkan bahaya, maka negara boleh melarang mata uang tersebut
mengamalkan kaidah, "Setiap bagian dari bagian-bagian sesuatu yang mubah,
jika bagian itu menyebabkan bahaya maka bagian itu diharamkan. Sedangkan
sesuatu itu tetap dalam kemubahannya."
Kaidah ini juga diterapkan pada tindakan
mengeluarkan mata uang negara dari dalam ke luar negeri. Pun diterapkan pada
tindakan memasukkan mata uang asing ke dalam negeri. Ketentuan ini juga berlaku pada tindakan
mengeluarkan mata uang asing dari dalam negeri. Demikian tata kelola mata uang
dalam daulah Islam. Bila emas dan perak terbukti keunggulannya, mengapa tak
meliriknya lagi untuk dijadikan mata uang saat ini? []
Kontributor:
Puspita Satyawati (Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Keislaman)