Friday, January 3, 2025

Cara Negara Islam Menjaga Uang

Cara Negara Islam Menjaga Uang

 

ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Terbongkar! Berawal dari laporan masyarakat yang mencurigai peredaran uang palsu di wilayah Lambengi, Bontoala, Pallangga, Kabupaten Gowa, akhirnya sindikat uang palsu terungkap pada Rabu (18/12/2024). Total uang palsu disita mencapai Rp 446,7 juta. Sindikat ini beroperasi di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Sulawesi Selatan dan hanya mencetak pecahan uang Rp100 ribu. Polisi menetapkan 17 tersangka pembuat dan pengedar uang palsu serta mengamankan barang bukti senilai ratusan triliun rupiah (kompas.com, 29/12/2024).

Mengejutkan! Kepolisian menduga, produksi uang palsu demi keperluan Pilkada serentak 2024. Menurut Kapolda Sulsel, Irjen Pol Yudhiawan Wibisono, salah satu yang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) adalah ASS, seorang politikus yang ingin maju Pilgub Sulsel 2024. ASS sempat jadi calon walikota Makassar pada 2013 silam, tapi tak cukup kursi untuk mengusung. Tak hanya itu, tiga DPO juga sempat mengajukan proposal untuk memodali salah satu calon kepala daerah di Kabupaten Barru di Pilkada kemarin tapi tidak diterima (cnnindonesia.com, 19/12/2024).

Padahal beredarnya uang palsu akan merugikan negara, terutama sektor ekonomi. Peredarannya bisa meningkatkan risiko inflasi karena banyaknya jumlah uang yang beredar di masyarakat. Selain itu, menyebabkan kerugian finansial bagi individu dan bisnis. Pemalsuan mata uang juga menimbulkan kejahatan seperti terorisme, kejahatan politik, pencucian uang (money laundy), perdagangan orang, dan lain-lain. Hal ini tentu menambah beban bagi aparat penegak hukum untuk memberantasnya.

Kampus Islam Memalsukan Uang
Kasus pemalsuan uang menjadi keniscayaan di negeri kapitalis. Foto: johan10/canva

Potret Buram Sistem Rusak


Ironis bin miris. Ketika kampus Islam justru menjadi sarang kejahatan. Seharusnya menjadi tempat mahasiswa memperdalam ilmu agama dan pengetahuan lainnya, justru ruang perpustakaan digunakan untuk mencetak uang palsu.

Salah seorang pelaku yaitu Kepala Perpustakaan UIN Alauddin Makassar, Andi Ibrahim, memanfaatkan modus peminjaman buku yang dapat difotokopi oleh mahasiswa lalu memasukkan mesin pencetak uang palsu ke dalam perpustakaan kampus UIN. Seluruh penghuni kampus termasuk mahasiswa, tidak mengetahui bahwa mesin cetak tersebut ternyata merupakan mesin cetak uang palsu alias bukan mesin fotokopi (cnbcindonesia.com, 1/1/2024).

Mungkin sebagian orang akan mempertanyakan, "Kok bisa ya orang yang bekerja di lembaga pendidikan Islam berbuat kejahatan?" Atau bisa jadi kasus ini dianggap sebagai anomali. Padahal bila ditelisik, sebagaimana varian kejahatan lainnya, pencetakan uang palsu adalah keniscayaan dalam masyarakat yang menerapkan sistem sekularisme kapitalistik.

Bagaimana tidak? Sistem rusak ini telah mendidik manusia di dalamnya kian jauh dari agama. Ia memproduksi manusia sekuler secara massal. Mengaku Muslim tapi pola pikir dan sikapnya jauh dari ajaran Islam. Menerima Allah sebagai Sang Pencipta tapi menolak menjalankan aturan-Nya.

Orang sekuler tak sudi menjadikan halal haram sebagai standar perbuatan. Mereka memilih manfaat dan keuntungan materiil sebagai asas aktivitas. Di mana ada keuntungan meski haram, ya akan dilakukan. Berdalih mencari yang haram saja susah, apalagi cari yang halal.

Tujuan hidup tak lagi menjadi hamba Allah yang beribadah pada-Nya. Tapi berganti menjadi penghamba dunia. Hidup tak lebih dari mencari uang, duit, dan cuan. Makna kebahagiaan bukan lagi meraih ridha Ilahi tapi sebanyak-banyaknya memiliki materi. Standar kesuksesan dilihat dari semakin tingginya jabatan dan kekuasaan serta kian banyaknya harta benda yang dipunya.

Jadilah kejahatan merajalela dalam sistem sekularisme kapitalistik. Jenis kejahatan apa sih yang tidak ada di negeri ini? Setiap hari berita kriminalitas menghiasi media. Pelakunya juga orang berpendidikan bahkan tahu agama. Tapi orang yang telah terbelenggu dunia, mereka lebih mengedepankan hawa nafsu daripada akal sehatnya.

Maka demi bisa kaya tanpa susah payah kerja, mencetak dan mengedarkan uang palsu menjadi solusi bagi mereka. Untuk mewujudkan obsesi duduk di kursi kepala daerah yang butuh dana fantastis, uang palsu menjadi sarananya. Peredaran uang palsu menjadi salah satu potret buram penerapan sistem sekuler nan rusak.


Uang Emas dalam Sistem Islam


Bila uang kertas menjadi mata uang andalan ala kapitalisme, maka sistem pemerintahan Islam menerapkan mata uang logam yaitu emas dan perak. Dibandingkan uang kertas yang bergantung pada kepercayaan masyarakat terhadap nilai yang dijaminnya, emas dan perak sebagai logam mulia tentu lebih unggul karena memiliki nilai intrinsik. Nilai fisiknya setara dengan nilai yang dikandungnya. Sehingga emas dan perak adalah uang yang up to date karena nilainya tetap stabil di sepanjang waktu dan tidak mudah dimanipulasi.

Selain itu, emas dan perak memiliki ciri khas yang sulit dipalsukan, seperti berat, warna, dan kemurnian, yang membuatnya lebih tahan terhadap pemalsuan. Di sisi lain, material emas dan perak tahan lama, tidak mudah rusak atau robek, dan memiliki ketahanan fisik yang lebih baik.

Merujuk pada sejarah masa lampau, emas dan perak bukanlah mata uang asing dalam kehidupan kaum Muslimin. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam telah menetapkan keduanya sebagai mata uang. Pun menjadikannya sebagai standar keuangan untuk menilai barang dan jasa.  Transaksi-transaksi dilangsungkan berdasarkan standar emas dan perak.

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam juga telah menyetujui dan menetapkan ukuran untuk mata uqiyah, dirham, daniq, qirath, mitsqal dan dinar.  Ukuran-ukuran tersebut dikenal pada zaman Nabi dan digunakan bertransaksi oleh masyarakat. Atas dasar itu, ada persetujuan dari Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam.

Sejumlah hadis shahih menuturkan bahwa jual beli dan pernikahan (penentuan mahar dan sebagainya) dilangsungkan dengan menggunakan emas dan perak. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam juga mengaitkan beberapa hukum syariah dengan keduanya saja. Beliau menjadikan zakat uang terbatas pada emas dan perak. Pun membatasi sharf dan transaksi keuangan dengan keduanya. Semua itu menunjukkan bahwa mata uang Islam hanyalah emas dan perak, bukan yang lain.

Keunggulan mata uang emas
Ilustrasi keunggulan mata uang emas. Foto: Liudmila Chernetska/Canva

Hanya saja yang harus dipahami bahwa keberadaan syariat yang menetapkan emas dan perak sebagai mata uang resmi yang diterbitkan negara dengan satuan tertentu, tidak berarti negara mengikat pertukaran-pertukaran di tengah masyarakat dengan mata uang ini saja. Namun hal itu bermakna bahwa hukum syariat yang telah ditetapkan dengan mata uang dan satuan emas perak, maka hukum-hukum ini tidak dilangsungkan kecuali sejalan dengan mata tersebut.  

Adapun pertukaran (barter) tetaplah berhukum mubah, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh syariat. Negara tidak boleh membatasi pertukaran dengan satuan tertentu. Dengan kata lain, negara tidak boleh membatasi pertukaran hanya dengan mata uang negara, atau dengan mata uang lain. Sebab pembatasan semacam ini termasuk perbuatan mengharamkan yang mubah. 

Hal ini tentu tidak diperbolehkan. Negara tidak boleh melakukan hal itu, kecuali jika memandang keberadaan mata uang lain di dalam negeri menyebabkan krisis mata uang, krisis keuangan, atau krisis ekonomi. Dengan kata lain, keberadaan mata uang negara lain menyebabkan bahaya (dharar) bagi negara dan masyarakat. Dalam keadaan seperti ini, negara boleh melarang mata uang itu berdasarkan kaidah, "Sarana menuju keharaman adalah haram." 

Begitu pula jika negara memandang mata uang tertentu bisa menyebabkan bahaya, maka negara boleh melarang mata uang tersebut mengamalkan kaidah, "Setiap bagian dari bagian-bagian sesuatu yang mubah, jika bagian itu menyebabkan bahaya maka bagian itu diharamkan. Sedangkan sesuatu itu tetap dalam kemubahannya."

Kaidah ini juga diterapkan pada tindakan mengeluarkan mata uang negara dari dalam ke luar negeri. Pun diterapkan pada tindakan memasukkan mata uang asing ke dalam negeri.  Ketentuan ini juga berlaku pada tindakan mengeluarkan mata uang asing dari dalam negeri. Demikian tata kelola mata uang dalam daulah Islam. Bila emas dan perak terbukti keunggulannya, mengapa tak meliriknya lagi untuk dijadikan mata uang saat ini? []  

 

Kontributor: Puspita Satyawati (Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Keislaman)