Tuesday, December 24, 2024

Pajak PPN 12% Naik: Rakyat Kian Tercekik

Pajak dalam Kapitalisme vs Pajak dalam Islam

 ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!" Inilah judul petisi yang dibuat oleh akun Bareng Warga untuk menolak kenaikan PPN 12 persen per 1 Januari 2025. Hingga Senin (23/12/2024) pukul 19.40 WIB, petisi ini telah ditandatangani sebanyak 179.960 orang. Inisiator petisi menilai, rencana menaikkan kembali PPN akan mempersulit masyarakat (tribunnews.com, 23/12/2024).

Bagaimana tidak sulit? Di tengah kondisi ekonomi yang ngos-ngosan; PHK massal, lapangan kerja terbatas, ketatnya persaingan usaha, harga kebutuhan pokok tinggi, daya beli masyarakat menurun, aneka pajak, rencana pemerintah menaikkan PPN 12 persen jelas bikin rakyat menjerit. Seiring kenaikan PPN, pajak membangun rumah juga bakal naik sebesar 2,4 persen. Pun ada tujuh pajak yang harus dibayar pemilik kendaraan pada tahun 2025.

Pemerintah mengklaim kenaikan PPN 12 persen akan mendorong kesehatan APBN dalam mendukung pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen. Benarkah? Kenaikan pajak diduga justru bakal mendorong naiknya inflasi hingga 9,09 persen. Simulasi Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan, kenaikan inflasi 1 persen mendorong peningkatan rata-rata garis kemiskinan 1,8 persen dan menambah jumlah kemiskinan baru 1,4 juta. Maka kenaikan inflasi 9,09 persen akan menghasilkan 12,7 juta kemiskinan baru.

Naiknya inflasi dan  kemiskinan menggambarkan  jatuhnya daya beli masyarakat. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi pun melemah. Ketika pajak ditarik justru membuat rakyat menderita, lantas sejatinya untuk kemaslahatan siapa? Atas dasar apa negara memaksa rakyat menyerahkan sebagian harta dari kerja keras mereka?

 

Logika Terbalik ala Kapitalisme

Dalam logika pajak, rakyat harus menyumbangkan sebagian hasil jerih payahnya pada negara, atau harus membayar kepada negara sebagian harga dari hasil jual beli mereka. Rakyat yang harusnya diurusi hajatnya oleh negara, malah dipalak hasil kerja susah payah dalam rangka memenuhi hajatnya atas nama pajak. Seharusnya rakyat yang mengurusi negara atau negara yang harus mengurusi rakyat?

Rakyat di hadapan penguasa ibarat anak kecil tak berdaya. Negara memaksa rakyat membayar pajak dengan segenap regulasi dan sanksi, sehingga mau tidak mau rakyat harus memenuhi. Bukankah ini merupakan siksaan besar terhadap rakyat?

Ya, dalam sistem kapitalisme pajak menjadi bagian dari kebijakan fiskal. Dinilai dapat membantu negara mencapai kestabilan ekonomi karena mampu menyesuaikan pengeluaran negara dengan pendapatan yang diterima dari pajak. Pajak pun menjadi cara instan mendapatkan dana segar guna menutupi defisit anggaran negara serta membantu melunasi utang yang membengkak. 

Pajak menjadi sumber pendapatan negara kapitalis
Ilustrasi beban pajak yang dibebankan negara kepada rakyat. Foto: Monstera Production/Canva

Bahkan dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi sumber pendapatan utama bagi negara. Wajar jika negara sangat gigih mendorong rakyat membayar pajak. Ibarat akan dikejar hingga ke lubang semut. "Di mana bumi dipijak, di situ dikenai pajak." Begitulah pepatah pajak. Negara pun gencar untuk mendoktrin rakyat agar rajin menyetorkan sebagian hartanya. "Orang bijak taat pajak" menjadi slogannya. 

Negara penganut kapitalisme menjadikan pajak sebagai tumpuan sumber pemasukan kas negaranya. Kebutuhan pokok rakyat yang seharusnya dijamin oleh negara pun “dipalak” oleh negara.

Terkait kenaikan PPN 12 persen, pemerintah mengklaim hanya untuk barang mewah, tidak untuk barang kebutuhan pokok sebagai bentuk perlindungan terhadap masyarakat kelas bawah. Nyatanya, PPN 12 persen berlaku untuk semua produk kecuali tiga jenis barang yang kenaikan PPN-nya ditanggung pemerintah lewat subsidi APBN; tepung terigu, Minyakita, dan gula. Sungguh, klaim kebohongan yang menyesatkan! Terbayang apa yang akan terjadi jika kebijakan tak bijak ini direalisasikan. Berbagai harga kebutuhan naik, padahal saat ini saja harganya sudah tinggi.

Pajak memang menjadi andalan pemasukan negara yang menganut kapitalisme selain utang. Padahal sesungguhnya, negeri ini kaya sumber daya alam (SDA). Apa sih yang tidak ada di negeri "tongkat kayu dan batu jadi tanaman" ini?

Jika dikelola dengan baik niscaya dapat digunakan untuk kepentingan rakyat,  karena SDA merupakan kepemilikan umum. Masalahnya, negeri ini telah salah dalam mengelolanya. SDA justru diserahkan kepada asing. Alih-alih memberi kemudahan bagi rakyat mendapatkan hasilnya, yang terjadi justru rakyat membeli harta miliknya sendiri dengan harga mahal. Sungguh miris. Ironis!

Dengan demikian, pajak merupakan bentuk kezaliman nyata dari penguasa atas rakyatnya. Bikin rakyat yang sudah susah tambah menderita. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya, dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih” (QS. Asy-Syura: 42).

 

Sejahtera Tanpa Pajak

Dalam Islam, sesungguhnya tidak ada pajak yang diambil dari masyarakat sebagaimana dalam sistem kapitalisme. Ketika mengatur urusan rakyat, Nabi tidak memungut pajak atas mereka. Tidak ada riwayat yang menunjukkan beliau memungut pajak. Saat beliau mengetahui bahwa orang di perbatasan daulah mengambil pajak atas komoditas yang masuk ke negeri, beliau justru melarangnya.

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Tidak masuk surga pemungut cukai” (HR. Ahmad dan disahihkan oleh Al-Hakim). Shaahib al-maksi adalah orang yang mengambil pajak perdagangan. Ini menunjukkan larangan mengambil pajak sebagaimana prinsip kapitalisme.

Tidak dipungkiri bahwa dalam Islam juga dikenal adanya pajak dengan istilah “dharibah”. Namun penerapan dan pengaturannya sangat berbeda secara diametral dengan konsep pajak dalam kapitalisme.

Syekh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah Ta'ala kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitulmal kaum Muslim untuk membiayainya. (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hlm. 129).

Pajak bukanlah sumber tetap pendapatan baitulmal (kas khilafah). Pendapatan ini bersifat insidental ketika kondisi kas negara kosong dan hanya dibebankan kepada orang-orang kaya. (Muqaddimah Ad-Dustur, Nizham al-Iqtishadi fil Islam). Jadi pajak hanya akan ditarik dari warga negara Muslim yang kaya ketika terjadi kondisi tertentu, misal bencana alam, peperangan, ketika negara harus membayar gaji pegawainya sedangkan harta di baitulmal tidak ada. Setelah masalah teratasi, penarikan pajak pun harus segera dihentikan. Dengan demikian, pajak dalam Islam, tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman penguasa terhadap rakyatnya.

Syariat Islam telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di baitulmal tetap harus berjalan. Jika tidak ada harta di baitulmal, kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim. Karena jika tidak, akan menyebabkan dharar bagi seluruh kaum Muslim. Dalam rangka menghilangkan dharar saat baitulmal tidak ada dana inilah, khilafah boleh menggunakan instrumen dharibah. Namun hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau baitulmal mempunyai dana untuk menutupinya (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, Syekh Abdul Qadim Zallum).

Dari sini jelas bahwa pajak bukanlah andalan dalam khilafah Islam. Khilafah memiliki banyak sumber pemasukan negara demi memenuhi kebutuhan rakyat. Pemasukan khilafah berasal dari tiga bagian, yaitu fai dan kharaj, kepemilikan umum, dan zakat. Bagian fai dan kharaj terdiri dari seksi ghanimah, kharaj, status tanah, jizyah, fai, dan dharibah. Bagian kepemilikan umum terdiri dari seksi migas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan danmata air, hutan dan padang rumput, serta aset yang diproteksi negara. Bagian zakat terdiri dari zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, serta zakat ternak sapi, unta, dan kambing (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, Syekh Abdul Qadim Zallum).

Aturan pajak dalam Islam
Ilustrasi pemungutan pajak dalam negara Islam. Foto: Meta AI/Canva

Kita bisa menyaksikan pada sepanjang peradaban Islam, khilafah mampu membangun kota-kota modern dan indah, universitas terbaik, teknologi tercanggih, masjid yang megah, rumah sakit terbaik dan terlengkap, serta berbagai pencapaian yang melampaui peradaban Barat. Dana baitulmal tidak hanya cukup untuk belanja negara bahkan surplus. Hingga negara kesulitan mencari mustahik zakat.

Sebagaimana terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang ditulis Abu Ubaid dalam buku Al-Amwal. Petugas pemungut zakat pada masa itu, Yahya bin Said kebingungan mendistribusikan zakat yang telah ia pungut dari wilayah Afrika. Besarnya zakat dari Afrika menunjukkan bahwa pada saat itu penduduk Afrika hidup makmur. Akhirnya Yahya bin Said menggunakan dana itu untuk memerdekakan budak.

Pada masa yang sama, Gubernur Irak Hamid bin Abdurrahman kebingungan mendistribusikan zakat karena setelah digunakan untuk membayar gaji dan tanggungan negara, melunasi orang yang terlilit utang, menikahkan para lajang, dan memberikan bantuan modal, uang di baitulmal masih sangat banyak. Kondisi surplus ini tidak hanya terjadi pada satu masa, melainkan pada mayoritas masa kekhalifahan.

Masya Allah... Dua kondisi yang sangat bertentangan. Penetapan pajak dalam sistem kapitalisme menzalimi masyarakat. Sementara dalam sistem Islam, rakyat sejahtera tanpa pungutan pajak. Tidakkah kita merindukan hadirnya sistem pemerintahan yang bersumber aturan Ilahi, penjamin keadilan dan kesejahteraan umat? []

 

Kontributor:Puspita Satyawati (Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Islam)