ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!" Inilah judul petisi yang dibuat oleh akun Bareng Warga untuk menolak kenaikan PPN 12 persen per 1 Januari 2025. Hingga Senin (23/12/2024) pukul 19.40 WIB, petisi ini telah ditandatangani sebanyak 179.960 orang. Inisiator petisi menilai, rencana menaikkan kembali PPN akan mempersulit masyarakat (tribunnews.com, 23/12/2024).
Bagaimana
tidak sulit? Di tengah kondisi ekonomi yang ngos-ngosan; PHK massal, lapangan
kerja terbatas, ketatnya persaingan usaha, harga kebutuhan pokok tinggi, daya
beli masyarakat menurun, aneka pajak, rencana pemerintah menaikkan PPN 12
persen jelas bikin rakyat menjerit. Seiring kenaikan PPN, pajak membangun rumah
juga bakal naik sebesar 2,4 persen. Pun ada tujuh pajak yang harus dibayar
pemilik kendaraan pada tahun 2025.
Pemerintah
mengklaim kenaikan PPN 12 persen akan mendorong kesehatan APBN dalam mendukung
pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen. Benarkah? Kenaikan pajak diduga justru
bakal mendorong naiknya inflasi hingga 9,09 persen. Simulasi Survey Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan, kenaikan inflasi 1 persen mendorong
peningkatan rata-rata garis kemiskinan 1,8 persen dan menambah jumlah
kemiskinan baru 1,4 juta. Maka kenaikan inflasi 9,09 persen akan menghasilkan
12,7 juta kemiskinan baru.
Naiknya
inflasi dan kemiskinan
menggambarkan jatuhnya daya beli
masyarakat. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi pun melemah. Ketika pajak ditarik
justru membuat rakyat menderita, lantas sejatinya untuk kemaslahatan siapa?
Atas dasar apa negara memaksa rakyat menyerahkan sebagian harta dari kerja
keras mereka?
Logika
Terbalik ala Kapitalisme
Dalam
logika pajak, rakyat harus menyumbangkan sebagian hasil jerih payahnya pada
negara, atau harus membayar kepada negara sebagian harga dari hasil jual beli
mereka. Rakyat yang harusnya diurusi hajatnya oleh negara, malah dipalak hasil
kerja susah payah dalam rangka memenuhi hajatnya atas nama pajak. Seharusnya rakyat
yang mengurusi negara atau negara yang harus mengurusi rakyat?
Rakyat
di hadapan penguasa ibarat anak kecil tak berdaya. Negara memaksa rakyat
membayar pajak dengan segenap regulasi dan sanksi, sehingga mau tidak mau
rakyat harus memenuhi. Bukankah ini merupakan siksaan besar terhadap rakyat?
Ya,
dalam sistem kapitalisme pajak menjadi bagian dari kebijakan fiskal. Dinilai
dapat membantu negara mencapai kestabilan ekonomi karena mampu menyesuaikan
pengeluaran negara dengan pendapatan yang diterima dari pajak. Pajak pun
menjadi cara instan mendapatkan dana segar guna menutupi defisit anggaran
negara serta membantu melunasi utang yang membengkak.
![]() |
Ilustrasi beban pajak yang dibebankan negara kepada rakyat. Foto: Monstera Production/Canva |
Bahkan
dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi sumber pendapatan utama bagi negara.
Wajar jika negara sangat gigih mendorong rakyat membayar pajak. Ibarat akan
dikejar hingga ke lubang semut. "Di mana bumi dipijak, di situ dikenai
pajak." Begitulah pepatah pajak. Negara pun gencar untuk mendoktrin rakyat
agar rajin menyetorkan sebagian hartanya. "Orang bijak taat pajak" menjadi
slogannya.
Negara
penganut kapitalisme menjadikan pajak sebagai tumpuan sumber pemasukan kas
negaranya. Kebutuhan pokok rakyat yang seharusnya dijamin oleh negara pun
“dipalak” oleh negara.
Terkait
kenaikan PPN 12 persen, pemerintah mengklaim hanya untuk barang mewah, tidak
untuk barang kebutuhan pokok sebagai bentuk perlindungan terhadap masyarakat
kelas bawah. Nyatanya, PPN 12 persen berlaku untuk semua produk kecuali tiga
jenis barang yang kenaikan PPN-nya ditanggung pemerintah lewat subsidi APBN;
tepung terigu, Minyakita, dan gula. Sungguh, klaim kebohongan yang menyesatkan!
Terbayang apa yang akan terjadi jika kebijakan tak bijak ini direalisasikan. Berbagai
harga kebutuhan naik, padahal saat ini saja harganya sudah tinggi.
Pajak
memang menjadi andalan pemasukan negara yang menganut kapitalisme selain utang.
Padahal sesungguhnya, negeri ini kaya sumber daya alam (SDA). Apa sih yang
tidak ada di negeri "tongkat kayu dan batu jadi tanaman" ini?
Jika
dikelola dengan baik niscaya dapat digunakan untuk kepentingan rakyat, karena SDA merupakan kepemilikan umum.
Masalahnya, negeri ini telah salah dalam mengelolanya. SDA justru diserahkan
kepada asing. Alih-alih memberi kemudahan bagi rakyat mendapatkan hasilnya,
yang terjadi justru rakyat membeli harta miliknya sendiri dengan harga mahal.
Sungguh miris. Ironis!
Dengan
demikian, pajak merupakan bentuk kezaliman nyata dari penguasa atas rakyatnya.
Bikin rakyat yang sudah susah tambah menderita. Padahal Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman, “Sesungguhnya, dosa itu atas orang-orang yang berbuat
zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu
mendapat azab yang pedih” (QS. Asy-Syura: 42).
Sejahtera
Tanpa Pajak
Dalam
Islam, sesungguhnya tidak ada pajak yang diambil dari masyarakat sebagaimana
dalam sistem kapitalisme. Ketika mengatur urusan rakyat, Nabi tidak memungut
pajak atas mereka. Tidak ada riwayat yang menunjukkan beliau memungut pajak. Saat
beliau mengetahui bahwa orang di perbatasan daulah mengambil pajak atas komoditas
yang masuk ke negeri, beliau justru melarangnya.
Dari
‘Uqbah bin ‘Amir, ia mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Tidak masuk surga pemungut cukai” (HR. Ahmad dan disahihkan oleh
Al-Hakim). Shaahib al-maksi adalah orang yang mengambil pajak
perdagangan. Ini menunjukkan larangan mengambil pajak sebagaimana prinsip
kapitalisme.
Tidak
dipungkiri bahwa dalam Islam juga dikenal adanya pajak dengan istilah
“dharibah”. Namun penerapan dan pengaturannya sangat berbeda secara diametral
dengan konsep pajak dalam kapitalisme.
Syekh
Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan
Allah Ta'ala kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang
diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitulmal kaum
Muslim untuk membiayainya. (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hlm. 129).
Pajak
bukanlah sumber tetap pendapatan baitulmal (kas khilafah). Pendapatan ini
bersifat insidental ketika kondisi kas negara kosong dan hanya dibebankan kepada
orang-orang kaya. (Muqaddimah Ad-Dustur, Nizham al-Iqtishadi fil Islam). Jadi pajak
hanya akan ditarik dari warga negara Muslim yang kaya ketika terjadi kondisi
tertentu, misal bencana alam, peperangan, ketika negara harus membayar gaji
pegawainya sedangkan harta di baitulmal tidak ada. Setelah masalah teratasi,
penarikan pajak pun harus segera dihentikan. Dengan demikian, pajak dalam
Islam, tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman penguasa terhadap
rakyatnya.
Syariat
Islam telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya
harta di baitulmal tetap harus berjalan. Jika tidak ada harta di baitulmal,
kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim. Karena jika tidak, akan
menyebabkan dharar bagi seluruh kaum Muslim. Dalam rangka menghilangkan dharar
saat baitulmal tidak ada dana inilah, khilafah boleh menggunakan instrumen
dharibah. Namun hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut
bisa dibiayai, atau baitulmal mempunyai dana untuk menutupinya (Al-Amwal fi Daulati
al-Khilafah, Syekh Abdul Qadim Zallum).
Dari
sini jelas bahwa pajak bukanlah andalan dalam khilafah Islam. Khilafah memiliki
banyak sumber pemasukan negara demi memenuhi kebutuhan rakyat. Pemasukan
khilafah berasal dari tiga bagian, yaitu fai dan kharaj, kepemilikan umum, dan
zakat. Bagian fai dan kharaj terdiri dari seksi ghanimah, kharaj, status tanah,
jizyah, fai, dan dharibah. Bagian kepemilikan umum terdiri dari seksi migas,
listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan danmata air, hutan dan padang
rumput, serta aset yang diproteksi negara. Bagian zakat terdiri dari zakat uang
dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, serta zakat ternak sapi,
unta, dan kambing (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, Syekh Abdul Qadim Zallum).Ilustrasi pemungutan pajak dalam negara Islam. Foto: Meta AI/Canva
Kita
bisa menyaksikan pada sepanjang peradaban Islam, khilafah mampu membangun
kota-kota modern dan indah, universitas terbaik, teknologi tercanggih, masjid
yang megah, rumah sakit terbaik dan terlengkap, serta berbagai pencapaian yang
melampaui peradaban Barat. Dana baitulmal tidak hanya cukup untuk belanja
negara bahkan surplus. Hingga negara kesulitan mencari mustahik zakat.
Sebagaimana
terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang ditulis Abu Ubaid dalam
buku Al-Amwal. Petugas pemungut zakat pada masa itu, Yahya bin Said kebingungan
mendistribusikan zakat yang telah ia pungut dari wilayah Afrika. Besarnya zakat
dari Afrika menunjukkan bahwa pada saat itu penduduk Afrika hidup makmur.
Akhirnya Yahya bin Said menggunakan dana itu untuk memerdekakan budak.
Pada
masa yang sama, Gubernur Irak Hamid bin Abdurrahman kebingungan
mendistribusikan zakat karena setelah digunakan untuk membayar gaji dan
tanggungan negara, melunasi orang yang terlilit utang, menikahkan para lajang,
dan memberikan bantuan modal, uang di baitulmal masih sangat banyak. Kondisi
surplus ini tidak hanya terjadi pada satu masa, melainkan pada mayoritas masa
kekhalifahan.
Masya
Allah... Dua kondisi yang sangat bertentangan. Penetapan pajak
dalam sistem kapitalisme menzalimi masyarakat. Sementara dalam sistem Islam,
rakyat sejahtera tanpa pungutan pajak. Tidakkah kita merindukan hadirnya sistem
pemerintahan yang bersumber aturan Ilahi, penjamin keadilan dan kesejahteraan
umat? []
Kontributor:Puspita Satyawati (Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Islam)