ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- "We listen we don’t judge (kami mendengarkan, kami tidak menghakimi)." Kalimat ini tengah viral sebagai konten di TikTok.Tren ini biasanya diikuti oleh dua orang atau lebih. Untuk mengawali video, mereka mengucapkan intro “we listen we don’t judge." Lalu secara bergantian mereka mengungkapkan fakta atau rahasia dirinya yang belum pernah diketahui lawan bicara mereka. Ketika salah seorang mengungkapkan rahasia, lawan bicaranya mendengarkan.
Aturan dalam tren ini, masing-masing dilarang
berkomentar negatif atau menghakimi dan hanya boleh mendengarkan. Tren ini
digandrungi lantaran dapat menjadi sarana pengakuan dan saling jujur dengan
orang terdekat. Namun, terkadang tren ini cukup sulit dilakukan karena berarti
setiap orang harus dapat menerima rahasia atau fakta tersembunyi yang kerap
kali mengejutkan (tirto.id, 29/11/2024).
Di satu sisi, tren ini diharapkan menjadi
sarana untuk saling terbuka sehingga hubungan kian erat. Pun membuat seseorang
menjadi berani mengungkapkan isi hatinya yang selama ini disimpan. Dan
mengajari menjadi pendengar bagi orang lain adalah hal penting. Terkadang
seseorang hanya perlu didengar tanpa dihakimi.
![]() |
Ilustrasi mengejar viral, banyak konten kreator yang mengumbar aib. Foto: MarsBar/canva |
Namun di sisi lainnya, konten ini bisa
'menjebak' seseorang untuk mengungkapkan aib diri sendiri atau lawan bicaranya.
Sesuatu yang tak layak diungkap di depan khalayak. Bukankah Allah telah menutup
aib seorang hamba? Terlebih bila yang diungkap adalah bentuk kemaksiatan, tentu
yang mendengar tak bisa hanya diam. Kemaksiatan adalah sesuatu yang tak bisa
didiamkan. Diamnya seseorang terhadapnya justru seakan membenarkan perilaku
buruk tersebut. Lantas bagaimana Islam memandang?
Nasihat bagi Pelaku Maksiat
Maksiat adalah perbuatan yang melanggar
perintah Allah subhanahu wa ta'ala dan
bertentangan dengan ajaran agama. Maksiat dapat berupa perbuatan dosa besar
atau kecil, seperti berbohong, mencuri, atau terlibat dalam perilaku yang
merugikan diri sendiri dan orang lain.
Perbuatan maksiat dapat membahayakan
kehidupan seseorang, baik di dunia maupun akhirat. Beberapa dampak buruknya
antara lain; menimbulkan kerisauan dalam hati, menghalangi sampainya ilmu,
mengikis keberkahan, melemahkan jiwa untuk berbuat kebajikan, serta menghalangi
doa dikabulkan oleh-Nya.
Kemaksiatan jangan hanya didiamkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan panduan apa
yang harus dilakukan. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika
tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya,
dan itu merupakan selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim).
Dari Hadis Arbain #34 tentang mengubah
kemungkaran tersebut kita bisa belajar bahwa mengingkari kemungkaran itu sama
dengan menasihati, bukan menjelekkan. Dan pengingkaran terhadap kemungkaran
berdasarkan apa yang dilihat, bukan dari tajassus (mencari-cari aib
orang beriman). Maka saat kita mengingkari kemungkaran dengan menasihati, bukan
berarti kita sedang menghakimi atau mengolok-olok bukan?
Terlebih ketika menasihati, kita mengajak
yang baik dengan cara baik dan tidak mengingkari kemungkaran dengan cara
mungkar. Adapun terkait soal khilafiyah yang sangat mungkin ada perbedaan
pendapat, tidak diingkari dengan meninjau pada; khilafnya kuat sehingga tidak
boleh mengatakan pada yang berbeda sebagai orang yang menyelisihi sunah, atau
orang yang kita kira terjatuh dalam kemungkaran menganggapnya itu masih boleh.
Jelaslah bahwa dalam pandangan Islam, seorang
Muslim bertanggung jawab untuk mencegah kemaksiatan jika dia melihatnya sesuai
kemampuan. Bila amar makruf nahi mungkar ditinggalkan, kerusakan demi kerusakan
akan terus terjadi. Hingga orang shalih pun akan tertimpa keburukan sebagaimana
yang menimpa pelakunya atau orang buruk lainnya.
Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu
‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Perumpamaan orang yang mengingkari kemungkaran dan orang yang terjerumus
dalam kemungkaran adalah bagaikan suatu kaum yang berundi dalam sebuah kapal.
Nantinya ada sebagian berada di bagian atas dan sebagiannya lagi di bagian
bawah kapal tersebut. Yang berada di bagian bawah kala ingin mengambil air,
tentu ia harus melewati orang-orang di atasnya. Mereka berkata, 'Andai kita
membuat lubang saja sehingga tidak mengganggu orang yang berada di atas kita.'
Seandainya yang berada di bagian atas membiarkan orang-orang di bawah menuruti
kehendaknya, niscaya semuanya akan binasa. Namun, jika orang bagian atas
melarang yang di bawah bawah berbuat demikian, niscaya semua penumpang kapal
selamat” (HR. Bukhari).
Pesan universal dari hadis di atas adalah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghendaki, ending perjalanan
kapal itu dapat berlabuh di dermaga dengan selamat, maka segenap upaya
dikerahkan agar kapal tak karam di tengah samudra. Dengan demikian, jangan pernah meninggalkan amar makruf nahi
mungkar atau dakwah. Inilah kewajiban yang akan mengantarkan manusia pada
keselamatan dunia dan akhirat.
Tidak Umbar Aib
Adapun terkait mengumbar aib, kaum Muslimin
penting untuk memahami hukumnya agar terhindar dari dosa. Apalagi di era
digital saat ini, upaya menyebarkan aib orang lain kian marak ditemukan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), aib artinya cela, cacat, nista,
noda, salah, atau keliru. Aib juga diartikan secara kias sebagai arang di muka.
Oleh karena itu, ada kalimat kiasan yang mengatakan, “Bagaikan menaruh arang di
muka.” Ungkapan tersebut menggambarkan seseorang yang sudah dibuka aibnya akan
membuatnya malu, harga dirinya jatuh. Tersebarnya aib atau keburukan dapat
menghancurkan nama baik seseorang.
Oleh karena itu, menutup aib orang lain dalam
Islam sangat dianjurkan. Menutup aib orang lain artinya tidak menyebarkan,
menceritakan, atau pun membocorkan rahasia dan keburukan orang lain. Adapun
menurut Islam, hukum menyebarkan aib orang lain dilarang. Dosa menyebarkan aib
orang lain diatur dalam ayat Al-Qur'an dan hadis.
![]() |
Ilustrasi ajaran Islam melarang mengumbar aib. Foto: nico_blue/canva |
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, "...Janganlah
kamu mencari-cari kesalahan dan aib orang lain dan janganlah kamu menggunjing
sebagian yang lain. Apakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya
yang telah mati? Maka sudah tentu kamu jijik kepadanya" (QS. Al
Hujurat: 12).
Rasulullah juga bersabda tentang larangan
mencari-cari aib orang lain melalui sebuah hadis, “Jauhilah oleh kalian
prasangka, sebab prasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah
kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan
jadilah kalian orang-orang yang bersaudara” (HR. Bukhari).
Umat Islam yang menutupi aib seseorang akan
mendapat ganjaran setimpal dari Allah, yaitu aibnya akan ditutup oleh Allah subhanahu
wa ta'ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
menutupi aib seseorang, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat” (HR.
Muslim). Demikian pula, membuka aib orang lain berarti sama saja dengan membuka
aib diri sendiri. Hal ini karena salah satu azab membuka aib orang lain adalah
Allah akan membuka aib orang tersebut.
Lantas, apa saja contoh perilaku menutupi aib
orang lain? Berikut beberapa contohnya; tidak menyampaikan perilaku
jahiliyahnya di masa lampau pada unggahan media sosial, tidak menceritakan
masalah rumah tangga temannya kepada orang lain, tidak mengumbar dosa teman di
media sosial, saat mengetahui ketidaksempurnaan teman secara fisik, tidak
lantas membahas dan mengejeknya dengan teman lain, serta tidak menyebarkan
keburukan orang lain di media sosial dengan tujuan untuk mempermalukannya di
hadapan khalayak.
Oleh karena itu, meskipun konten We Listen
We Don't Judge seringkali dijadikan hiburan atau candaan, tetap tidak boleh
mengumbar aib pribadi maupun orang lain. Demikian pula, bila ada kemaksiatan
dari yang disampaikan, meskipun tidak menghakimi tapi juga jangan berdiam diri.
Karena wajibnya seorang Muslim dalam hal ini adalah menasihati. []
Kontributor:
Puspita Satyawati (Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian
Islam)