Sunday, December 22, 2024

"We Listen We Don't Judge": Jangan Umbar Aib dan Maksiat

Larangan Mengumbar Aib

 ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM"We listen we don’t judge (kami mendengarkan, kami tidak menghakimi)." Kalimat ini tengah viral sebagai konten di TikTok.Tren ini biasanya diikuti oleh dua orang atau lebih. Untuk mengawali video, mereka mengucapkan intro “we listen we don’t judge." Lalu secara bergantian mereka mengungkapkan fakta atau rahasia dirinya yang belum pernah diketahui lawan bicara mereka. Ketika salah seorang mengungkapkan rahasia, lawan bicaranya mendengarkan.

Aturan dalam tren ini, masing-masing dilarang berkomentar negatif atau menghakimi dan hanya boleh mendengarkan. Tren ini digandrungi lantaran dapat menjadi sarana pengakuan dan saling jujur dengan orang terdekat. Namun, terkadang tren ini cukup sulit dilakukan karena berarti setiap orang harus dapat menerima rahasia atau fakta tersembunyi yang kerap kali mengejutkan (tirto.id, 29/11/2024).

Di satu sisi, tren ini diharapkan menjadi sarana untuk saling terbuka sehingga hubungan kian erat. Pun membuat seseorang menjadi berani mengungkapkan isi hatinya yang selama ini disimpan. Dan mengajari menjadi pendengar bagi orang lain adalah hal penting. Terkadang seseorang hanya perlu didengar tanpa dihakimi.

DEMI VIRAL, UMBAR AIB
Ilustrasi mengejar viral, banyak konten kreator yang mengumbar aib. Foto: MarsBar/canva

Namun di sisi lainnya, konten ini bisa 'menjebak' seseorang untuk mengungkapkan aib diri sendiri atau lawan bicaranya. Sesuatu yang tak layak diungkap di depan khalayak. Bukankah Allah telah menutup aib seorang hamba? Terlebih bila yang diungkap adalah bentuk kemaksiatan, tentu yang mendengar tak bisa hanya diam. Kemaksiatan adalah sesuatu yang tak bisa didiamkan. Diamnya seseorang terhadapnya justru seakan membenarkan perilaku buruk tersebut. Lantas bagaimana Islam memandang?

 

Nasihat bagi Pelaku Maksiat

Maksiat adalah perbuatan yang melanggar perintah Allah subhanahu wa ta'ala  dan bertentangan dengan ajaran agama. Maksiat dapat berupa perbuatan dosa besar atau kecil, seperti berbohong, mencuri, atau terlibat dalam perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

Perbuatan maksiat dapat membahayakan kehidupan seseorang, baik di dunia maupun akhirat. Beberapa dampak buruknya antara lain; menimbulkan kerisauan dalam hati, menghalangi sampainya ilmu, mengikis keberkahan, melemahkan jiwa untuk berbuat kebajikan, serta menghalangi doa dikabulkan oleh-Nya.

Kemaksiatan jangan hanya didiamkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan panduan apa yang harus dilakukan. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim).

Dari Hadis Arbain #34 tentang mengubah kemungkaran tersebut kita bisa belajar bahwa mengingkari kemungkaran itu sama dengan menasihati, bukan menjelekkan. Dan pengingkaran terhadap kemungkaran berdasarkan apa yang dilihat, bukan dari tajassus (mencari-cari aib orang beriman). Maka saat kita mengingkari kemungkaran dengan menasihati, bukan berarti kita sedang menghakimi atau mengolok-olok bukan?

Terlebih ketika menasihati, kita mengajak yang baik dengan cara baik dan tidak mengingkari kemungkaran dengan cara mungkar. Adapun terkait soal khilafiyah yang sangat mungkin ada perbedaan pendapat, tidak diingkari dengan meninjau pada; khilafnya kuat sehingga tidak boleh mengatakan pada yang berbeda sebagai orang yang menyelisihi sunah, atau orang yang kita kira terjatuh dalam kemungkaran menganggapnya itu masih boleh.

Jelaslah bahwa dalam pandangan Islam, seorang Muslim bertanggung jawab untuk mencegah kemaksiatan jika dia melihatnya sesuai kemampuan. Bila amar makruf nahi mungkar ditinggalkan, kerusakan demi kerusakan akan terus terjadi. Hingga orang shalih pun akan tertimpa keburukan sebagaimana yang menimpa pelakunya atau orang buruk lainnya.

Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingkari kemungkaran dan orang yang terjerumus dalam kemungkaran adalah bagaikan suatu kaum yang berundi dalam sebuah kapal. Nantinya ada sebagian berada di bagian atas dan sebagiannya lagi di bagian bawah kapal tersebut. Yang berada di bagian bawah kala ingin mengambil air, tentu ia harus melewati orang-orang di atasnya. Mereka berkata, 'Andai kita membuat lubang saja sehingga tidak mengganggu orang yang berada di atas kita.' Seandainya yang berada di bagian atas membiarkan orang-orang di bawah menuruti kehendaknya, niscaya semuanya akan binasa. Namun, jika orang bagian atas melarang yang di bawah bawah berbuat demikian, niscaya semua penumpang kapal selamat” (HR. Bukhari).

Pesan universal dari hadis di atas adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghendaki, ending perjalanan kapal itu dapat berlabuh di dermaga dengan selamat, maka segenap upaya dikerahkan agar kapal tak karam di tengah samudra. Dengan demikian,  jangan pernah meninggalkan amar makruf nahi mungkar atau dakwah. Inilah kewajiban yang akan mengantarkan manusia pada keselamatan dunia dan akhirat.

 

Tidak Umbar Aib

Adapun terkait mengumbar aib, kaum Muslimin penting untuk memahami hukumnya agar terhindar dari dosa. Apalagi di era digital saat ini, upaya menyebarkan aib orang lain kian marak ditemukan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), aib artinya cela, cacat, nista, noda, salah, atau keliru. Aib juga diartikan secara kias sebagai arang di muka. Oleh karena itu, ada kalimat kiasan yang mengatakan, “Bagaikan menaruh arang di muka.” Ungkapan tersebut menggambarkan seseorang yang sudah dibuka aibnya akan membuatnya malu, harga dirinya jatuh. Tersebarnya aib atau keburukan dapat menghancurkan nama baik seseorang.

Oleh karena itu, menutup aib orang lain dalam Islam sangat dianjurkan. Menutup aib orang lain artinya tidak menyebarkan, menceritakan, atau pun membocorkan rahasia dan keburukan orang lain. Adapun menurut Islam, hukum menyebarkan aib orang lain dilarang. Dosa menyebarkan aib orang lain diatur dalam ayat Al-Qur'an dan hadis.

Islam melarang mengumbar aib
Ilustrasi ajaran Islam melarang mengumbar aib. Foto: nico_blue/canva

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, "...Janganlah kamu mencari-cari kesalahan dan aib orang lain dan janganlah kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka sudah tentu kamu jijik kepadanya" (QS. Al Hujurat: 12).

Rasulullah juga bersabda tentang larangan mencari-cari aib orang lain melalui sebuah hadis, “Jauhilah oleh kalian prasangka, sebab prasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara” (HR. Bukhari).

Umat Islam yang menutupi aib seseorang akan mendapat ganjaran setimpal dari Allah, yaitu aibnya akan ditutup oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menutupi aib seseorang, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat” (HR. Muslim). Demikian pula, membuka aib orang lain berarti sama saja dengan membuka aib diri sendiri. Hal ini karena salah satu azab membuka aib orang lain adalah Allah akan membuka aib orang tersebut.

Lantas, apa saja contoh perilaku menutupi aib orang lain? Berikut beberapa contohnya; tidak menyampaikan perilaku jahiliyahnya di masa lampau pada unggahan media sosial, tidak menceritakan masalah rumah tangga temannya kepada orang lain, tidak mengumbar dosa teman di media sosial, saat mengetahui ketidaksempurnaan teman secara fisik, tidak lantas membahas dan mengejeknya dengan teman lain, serta tidak menyebarkan keburukan orang lain di media sosial dengan tujuan untuk mempermalukannya di hadapan khalayak.

Oleh karena itu, meskipun konten We Listen We Don't Judge seringkali dijadikan hiburan atau candaan, tetap tidak boleh mengumbar aib pribadi maupun orang lain. Demikian pula, bila ada kemaksiatan dari yang disampaikan, meskipun tidak menghakimi tapi juga jangan berdiam diri. Karena wajibnya seorang Muslim dalam hal ini adalah menasihati. []

 

Kontributor: Puspita Satyawati (Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Islam)