ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- "Efek penjual es teh. Pedagang serbu pengajian Gus Iqdam. Benar kata Ustaz Felix Siauw (UFS)," tulis abouthetic. Postingan ini viral ditonton lebih dari sejuta kali dan ribuan komentar warganet. Publik teringat ucapan UFS di podcast Deddy Corbuzier, menanggapi viralnya Gus Miftah yang mengolok-olok Sunhaji, penjual es teh hingga ia ketiban rezeki mendadak. Dari uang ratusan juta, bangun rumah, beasiswa anak sekolah, hingga umroh gratis.
UFS menyoroti salah satunya tentang
mentalitas. Menurutnya, kalau setiap pedagang merasa harus diborong, itu
membentuk mental tidak sehat. Padahal seorang Muslim itu harus bermental
mandiri, tak bergantung pada orang lain. Mentalitas meminta-minta ini harus
dikoreksi (suara.com, 9/12/2024).
![]() |
Sunhaji Efek Momen penjual es teh menyerbu pengajian Gus Iqdam. Foto: Ftnews.co.id |
Ya, mental miskin memang masih menggejala.
Di satu sisi ingin kaya. Tapi di sisi lain, tak mau usaha. Kalaupun bekerja,
inginnya mudah dan segera dapat dana. Ingat fenomena manusia silver di
berbagai kota? Demi cuan instan, banyak anak muda rela melumuri sekujur tubuh
dengan cat berwarna silver lalu berdiri di lampu merah dan menengadahkan
tangan menanti recehan. Kabarnya, pendapatan mereka di Jogja bisa mencapai Rp
600 ribu per hari, sedangkan di Makassar mencapai Rp 8 juta per bulan. Jumlah
fantastis tapi dengan cara tak beda dengan mengemis. Miris!
Bahkan ada kampung di Pragaan, Sumenep,
yang berjuluk Kampung Pengemis karena 80 persen penduduknya berprofesi mengemis.
Anehnya, tampilan kampung itu tak dekil nan lusuh. Tak ada rumah gedek
(beranyaman bambu), kendaraan bermotor lalu-lalang, bahkan banyak rumah
menjulang tinggi berarsitektur mewah bak istana dalam sinetron.
Sebagai bagian
masyarakat, saat ini anak dan remaja juga tak lepas dari mengidap mental
miskin. Gaya hidup hedon, instan, menjadi gejalanya. Bila mindset ini terus terpelihara,
bagaimana nasib generasi dan negeri ini di masa depan? Di tengah penerapan
sistem hidup ala sekulerisme kapitalistik liberal, mental miskin seolah subur
terpelihara.
Mental Miskin: Bukan tentang Status
Finansial
Apa sih yang dimaksud mental
miskin? Mental miskin biasanya merujuk pada pola pikir atau sikap yang tidak
produktif, pasrah tanpa usaha, atau cenderung bergantung pada orang lain tanpa
berusaha mandiri. Penting digarisbawahi bahwa mental miskin bukan tentang
status ekonomi (finansial), melainkan pola pikir dan sikap seseorang terhadap
kehidupan dan tantangan yang dihadapi.
Generasi yang terdidik dalam alam sekuler
kapitalistik liberal berpotensi mengidap mental miskin karena hidup jauh dari
nilai-nilai agama, cenderung liar, dan lebih mengejar kenikmatan serta harta. Ciri-ciri
manusia bermental miskin yaitu; pertama, gemar playing victim.
Mudah menyalahkan orang lain atau keadaan atas kegagalannya. Pun merasa dunia
tidak adil dan dirinya adalah korban. Kedua, enggan keluar dari zona
nyaman. Malas mencoba hal baru karena takut gagal. Lebih memilih aman daripada
mengambil risiko yang berpotensi mengubah hidup.
Ketiga,
fokus pada jangka pendek. Mereka lebih memilih kesenangan sesaat daripada
berinvestasi untuk masa depan. Cenderung tidak memiliki rencana atau visi
jangka panjang. Keempat, suka iri pada kesuksesan orang lain. Sulit menerima keberhasilan orang lain dan
cenderung merendahkan atau mencari-cari kesalahan mereka. Juga tidak mau
belajar dari orang yang lebih sukses.
Kelima,
gengsi tanpa alasan. Berusaha tampil kaya atau sukses demi pandangan orang
lain, meski sebenarnya zonk.
Lebih memprioritaskan citra daripada fakta. Keenam, malas dan
kurang disiplin. Sering menunda pekerjaan. Tidak berusaha meningkatkan diri
atau mengembangkan kemampuan.
Ketujuh,
ketergantungan pada orang lain. Selalu berharap bantuan dari keluarga atau
teman tanpa usaha mandiri. Tidak berinisiatif mencari solusi sendiri. Kedelapan,
takut gagal dan kritik. Menghindari tantangan karena takut dihakimi jika gagal.
Sulit menerima masukan untuk perbaikan diri.
Kesembilan,
pola pikir negatif. Lebih fokus pada masalah daripada solusi. Mudah putus asa
dan pesimis terhadap masa depan. Kesepuluh, konsumsi berlebihan tanpa
produktivitas. Menghabiskan waktu untuk hiburan seperti media sosial, game,
atau hal tidak produktif tanpa batas. Tidak mengalokasikan waktu untuk belajar
atau bekerja keras.
Jelaslah bahwa mental
miskin akan menghambat seseorang untuk mengembangkan potensi mereka. Tak hanya
itu. Bila generasi Muslim mengidap mental miskin, maka harapan tentang
kembalinya peradaban Islam nan mulia akan tinggal angan.
Mental Kaya: Harta di Tangan tapi Tidak
di Hatinya
Islam mengajarkan umatnya agar menjadi
orang bermental kaya, yaitu orang yang menguasai harta kekayaan di tangannya
dan tidak di hatinya. Karena jika ia memiliki harta di tangannya, ia dapat
membagikan kepada siapa pun yang ia kehendaki. Namun jika ia memiliki kekayaan
di hatinya ia akan diperbudak oleh harta tersebut.
![]() |
Ilustrasi pentingnya pembinaan mental kaya sejak dini. Foto: Odua images/Canvapro |
Figur seperti ini kita dapati dari
sahabat Rasulullah yakni Abdurrahman bin Auf. Manusia kaya raya yang dijamin
masuk surga oleh Rasulullah. Ia mampu mengendalikan harta kekayaan, bukan harta
yang mengatur dirinya.
Inilah yang dimaksud dalam doa Abu Bakar,
“Jadikanlah kami kaum yang memegang dunia dengan tangan kami, bukan hati kami.”
Dan doa sahabat Umar bin Khattab, “Ya Allah, tempatkanlah dunia dalam genggaman
tangan kami dan jangan kau tempatkan dia di lubuk hati kami.”
Abdurrahman bin Auf memberi teladan agar
kita hanya bergantung kepada Allah. Dalam berbisnis, ia selalu menyandarkan
diri kepada-Nya. Ia pun selalu bersedekah, bahkan Utsman bin Affan yang dikenal
sebagai saudagar kaya pernah menerima pembagian hartanya. Baginya, harta
hanyalah titipan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Belajar dari Abdurrahman bin Auf, orang
tua hendaknya menanamkan mental kaya pada putra-putrinya sejak dini. Tipsnya
antara lain; pertama, tanamkan nilai tauhid. Ajarkan anak untuk bersandar
kepada Allah Ta'ala sebagai sumber rezeki dan keberkahan. Bantu anak
memahami bahwa rezeki tidak hanya berupa materi, tetapi juga kesehatan, ilmu,
dan lain-lain.
Kedua,
ajarkan syukur dan qana'ah. Latih anak selalu bersyukur atas apa yang
dimiliki, baik kecil maupun besar. Jelaskan bahwa qana'ah bukan berarti
tidak berusaha, tetapi merasa cukup dengan rezeki halal. Ketiga, dorong
untuk berusaha dan mandiri. Tanamkan nilai kerja keras dengan mencontohkan ikhtiar
maksimal dalam kehidupan sehari-hari. Libatkan anak dalam kegiatan yang melatih
tanggung jawab, seperti menabung atau berdagang kecil-kecilan.
Keempat,
ajarkan konsep sedekah dan berbagi.
Latih anak untuk berbagi dengan para dhuafa agar tidak terjebak pada
sifat kikir. Jelaskan bahwa sedekah
tidak mengurangi harta, tetapi justru menambah keberkahan. Kelima,
perkenalkan perencanaan keuangan islami. Ajarkan anak mengelola uang, misalnya
dengan menabung untuk masa depan dan menggunakan harta dengan bijak. Jelaskan
pentingnya menghindari riba dan berinvestasi sesuai syariat Islam.
Keenam,
didik dengan keteladanan. Orang tua harus menjadi contoh mengelola harta secara
bijak dan tidak berlebihan dalam gaya hidup.
Tunjukkan sikap dermawan, tanggung jawab, dan hemat dalam kehidupan
sehari-hari. Ketujuh, kaitkan kekayaan dengan akhirat. Jelaskan bahwa
kekayaan sejati adalah amal bermanfaat di dunia dan pahala di akhirat. Ingatkan
anak selalu berniat baik dalam mencari harta dan menggunakannya demi meraih
ridha-Nya.
Kedelapan,
latih anak menghargai proses. Hindarkan dari mental instan. Biarkan anak
merasakan usaha dan kesulitan untuk menghargai hasil yang dicapai. Ajarkan
bahwa kesuksesan adalah hasil dari kombinasi usaha, doa, dan tawakal kepada-Nya.
Dengan berbagai upaya tersebut, semoga generasi Muslim tumbuh dengan mental kuat,
tidak hanya mampu mengejar kekayaan materi, tetapi juga kaya hati, bermanfaat
bagi sesama, dan senantiasa mencari ridha Allah Ta'ala. []
Kontributor:
Puspita Satyawati (Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif,
Narasumber Kajian Islam)
Berikan Wakaf Jariyah Si Domba untuk
Penghafal Qur’an di link https://indonesiaberbagikebaikan.com/Kebaikan-Berlanjut-Untuk-Santri-Penghafal,-Yatim,-Dhuafa