ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Bashar al-Assad tumbang! Ini terjadi setelah 11 hari serangan mujahidin berlangsung di negeri ini. Penggulingan Bashar dipimpin oleh kelompok islamis Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang dikomandoi Abu Mohammed al-Jolani (Ahmed al-Sharaa).
Serangan pertama dimulai di Aleppo 27 November. HTS
merupakan kelompok yang menguasai sebagian besar wilayah barat laut Idlib dan
beberapa bagian dari provinsi tetangga Aleppo, Hama, dan Latakia. Setelah
Aleppo dikuasai, HTS mulai masuk ke Hama di 3 Desember dan menguasai kota itu 5
Desember. Di 7 November HTS menguasai kota Homs dan merebut Damaskus 8
Desember.
Terkait jumlah korban, Syrian Observatory for Human
Rights yang berbasis di Inggris mendata bahwa sejak serangan awal mujahidin
Suriah pada 27 November, 910 orang tewas. Di antaranya termasuk 138 warga
sipil, 380 tentara Suriah dan pejuang sekutu, serta 392 mujahid.
Sementara itu, peneliti di lembaga Century
International, Aron Lund, mengungkap beberapa faktor keberhasilan mujahid
Suriah dalam menggulingkan Bashar al-Assad. Pertama, kelemahan rezim dan
berkurangnya bantuan internasional untuk Assad. Assad sangat bergantung pada
dukungan militer, politik, dan diplomatik dari sekutu utama Rusia dan Iran. Kedua,
minimnya gaji tentara serta banyak pemuda menghindari wajib militer. Ini
membuat mereka setengah hati mendukung Assad.
Selain itu, David Rigoulet-Roze dari Institut Prancis untuk Urusan Internasional dan Strategis merujuk ekonomi Suriah yang carut-marut menyebut bahwa sejak 2011, tentara Suriah menghadapi pengurangan tenaga kerja, peralatan, dan moral (cnbcindonesia.com, 9/12/2024). Lantas, benarkah keberhasilan HTS dan faksi sekutunya menumbangkan rezim Assad adalah wujud kemenangan bagi umat Islam?
Latar Belakang Konflik Suriah
Bila ditelisik, konflik Suriah tidak terlepas dari
fenomena Arab Spring yang mulai muncul pada tahun 2010. Dalam buku
Sejarah Timur Tengah Jilid 2 (2013) karya Isawati, Arab Spring merupakan
gelombang gerakan revolusioner yang disebabkan oleh banyaknya rezim otoriter
yang berkuasa di kawasan Timur Tengah.
Pada tahun 2011, gelombang fenomena Arab Spring
mulai menjalar di Suriah. Hal ini menjadi penyebab bangkitnya gerakan
revolusioner Suriah melawan pemerintahan otoriter Bashar al-Assad.
Mantan Presiden Bashar al-Assad berhasil digulingkan mujahidin Suriah. Foto: bharataradio738.com
Adapun akar konflik Suriah berawal dari ketidakpuasan
rakyat terhadap pemerintahan Bashar al-Assad. Bashar al-Assad adalah penerus
rezim Assad sekaligus keturunan dari Hefedz al-Assad. Rezim Assad terkenal
dengan pemerintahan otoriter lebih dari 30 tahun.
Beberapa faktor yang menjadi latar belakang konflik
di Suriah, yaitu, kesenjangan sosial pada masa pemerintahan Bashar al-Assad,
dominasi partai Ba’ath yang sudah lama berkuasa di Suriah, kurangnya distribusi
pangan dan tingkat pengangguran yang tinggi, serta aksi represif pemerintah
Suriah dalam menghalau kritik dari masyarakat.
Sementara itu, konflik Suriah sendiri bermula pada 11
Maret 2011 ketika kelompok remaja menggambar slogan anti pemerintahan di kota
Daraa. Slogan tersebut berisi ajakan untuk menggulingkan rezim Bashar al-Assad.
Pemerintah Suriah menanggapinya dengan kekerasan. Kepolisian Suriah
memenjarakan dan menyiksa seluruh pemuda yang dianggap terlibat dalam
penyebaran slogan anti pemerintah.
Tindakan represif itu mengakibatkan aksi protes
tambah meluas hingga ke kota-kota lain di Suriah. Cepatnya persebaran informasi
disebabkan oleh perkembangan internet serta teknologi komunikasi. Masyarakat
memperoleh informasi dari media sosial.
Memasuki tahun 2012, situasi politik Suriah kian
memanas. Bashar al-Assad menginstruksikan polisi dan militer untuk menghalalkan
segala cara demi menghalau aksi protes masyarakat. Selain itu, terjadi perang
saudara antara masyarakat pro-pemerintah dan golongan revolusioner di berbagai
kota Suriah.
Pada tahun 2014, muncul kelompok oposisi baru yaitu
ISIS dan Jabhat al-Nushra. Mereka berupaya untuk mendirikan negara Islam di
Suriah dengan melakukan teror kepada masyarakat dan pemerintahan Suriah. Di
bawah pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi, ISIS mampu menguasai sebagian besar
wilayah Suriah pada tahun 2015-2017. Namun pada Maret 2019, dikabarkan ISIS
berhasil dikalahkan dan wilayah Suriah berada dalam pengawasan Dewan Keamanan
PBB (kompas.com, 2/12/2020).
Demikian kronologis terjadinya konflik di Suriah.
Rakyat Suriah telah hidup di bawah kediktatoran rezim Assad selama belasan
tahun. Wajar bila mereka bersuka cita pasca tumbangnya Assad. Bahkan warga turun ke
jalan di seluruh Suriah demi meluapkan euforia lepas dari ketertindasan. Mereka
pun berharap, kemenangan ini akan membawa kebebasan dan kemakmuran
Secercah Harapan akan Perubahan
Pemimpin HTS dalam pidato di Masjid Umayyah, memuji
kemenangan mereka sebagai hal yang bersejarah pada hari Minggu. Ia juga
mengatakan bahwa ini merupakan kemenangan bagi seluruh negara Islam. Benarkah?
![]() |
Mohammed al-Jolani, pemimpin Hayat Tahrir al-Sham. Foto: english.enabbaladi.net |
Tak bisa dipungkiri, runtuhnya rezim Bashar al-Assad
membawa secercah harapan baru bagi umat Islam untuk terjadinya perubahan. Namun
bila melihat realitasnya, di satu sisi penggulingan kekuasaan diktator Assad
didambakan umat Islam di Suriah bahkan dunia Islam, tapi di sisi lain diduga
ada peran Turki dan "restu" Amerika Serikat yang menginginkan solusi
politik baru di Suriah.
Selanjutnya, ada kemungkinan sistem pemerintahan
koalisi dengan otonomi khusus di beberapa wilayah (seperti Kurdistan Irak) akan
dibentuk. Kalau solusi ini yang akan dijalankan, artinya Suriah tetap dalam
kerangka rezim sekuler yang tidak menyelesaikan penderitaan rakyat.
Maka tengah terjadi pertaruhan besar untuk Suriah.
Apakah menjalankan kehendak Barat dengan membentuk pemerintahan sekuler baru
atau berpihak pada perjuangan umat Islam dan mujahidin yang ikhlas dengan
menegakkan pemerintahan Islam?
Bila opsi kedua yang dikehendaki, maka harus ada
upaya terus-menerus dalam mengawal transisi ini demi menggagalkan solusi
sekuler yang ditawarkan pihak asing. Apalagi jika yang diinginkan oleh umat
Islam adalah perubahan mendasar yaitu tidak hanya rezim berganti tapi juga
perubahan sistem, dari penerapan sistem sekularisme menjadi sistem pemerintahan
Islam (khilafah islamiyah).
Inilah sejatinya harapan bagi Suriah dan bumi Syam
yang diberkahi. Yaitu tegaknya kembali khilafah islamiyah yang akan menjaga
kehormatan umat Islam di Suriah, membebaskan Palestina dari penjajahan Israel,
serta mewujudkan kemuliaan serta keadilan bagi seluruh kaum Muslimin.
Sistem khilafah ini pula yang telah dicontohkan oleh
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
dan dilanjutkan oleh para khalifah sesudah beliau. Dari Khalifah Abu Bakar
Ash-Shiddiq (berkuasa tahun 632 M) hingga khalifah terakhir di Turki yaitu
Sultan Abdul Majid II (lengser tahun 1924).
Dengan demikian, alangkah utamanya bila para mujahid
dan warga Suriah tak berhenti hanya pada euforia kemenangan dan perubahan
rezim. Namun meningkatkan level perjuangan demi melanjutkan kembali kehidupan
Islam dengan menegakkan khilafah islamiyah 'ala minhajin nubuwah. Takbir! []
Kontributor: Puspita Satyawati (Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Islam)