Thursday, December 12, 2024

Bashar al-Assad Tumbang: Benarkah Tanda Umat Islam Menang?

 

Bashar Assad Tumbang, Umat Islam Menang?

ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Bashar al-Assad tumbang! Ini terjadi setelah 11 hari serangan mujahidin berlangsung di negeri ini. Penggulingan Bashar dipimpin oleh kelompok islamis Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang dikomandoi Abu Mohammed al-Jolani (Ahmed al-Sharaa).

Serangan pertama dimulai di Aleppo 27 November. HTS merupakan kelompok yang menguasai sebagian besar wilayah barat laut Idlib dan beberapa bagian dari provinsi tetangga Aleppo, Hama, dan Latakia. Setelah Aleppo dikuasai, HTS mulai masuk ke Hama di 3 Desember dan menguasai kota itu 5 Desember. Di 7 November HTS menguasai kota Homs dan merebut Damaskus 8 Desember.

Terkait jumlah korban, Syrian Observatory for Human Rights yang berbasis di Inggris mendata bahwa sejak serangan awal mujahidin Suriah pada 27 November, 910 orang tewas. Di antaranya termasuk 138 warga sipil, 380 tentara Suriah dan pejuang sekutu, serta 392 mujahid.

Sementara itu, peneliti di lembaga Century International, Aron Lund, mengungkap beberapa faktor keberhasilan mujahid Suriah dalam menggulingkan Bashar al-Assad. Pertama, kelemahan rezim dan berkurangnya bantuan internasional untuk Assad. Assad sangat bergantung pada dukungan militer, politik, dan diplomatik dari sekutu utama Rusia dan Iran. Kedua, minimnya gaji tentara serta banyak pemuda menghindari wajib militer. Ini membuat mereka setengah hati mendukung Assad.

Selain itu, David Rigoulet-Roze dari Institut Prancis untuk Urusan Internasional dan Strategis merujuk ekonomi Suriah yang carut-marut menyebut bahwa sejak 2011, tentara Suriah menghadapi pengurangan tenaga kerja, peralatan, dan moral (cnbcindonesia.com, 9/12/2024). Lantas, benarkah keberhasilan HTS dan faksi sekutunya menumbangkan rezim Assad adalah wujud kemenangan bagi umat Islam?

 

Latar Belakang Konflik Suriah

Bila ditelisik, konflik Suriah tidak terlepas dari fenomena Arab Spring yang mulai muncul pada tahun 2010. Dalam buku Sejarah Timur Tengah Jilid 2 (2013) karya Isawati, Arab Spring merupakan gelombang gerakan revolusioner yang disebabkan oleh banyaknya rezim otoriter yang berkuasa di kawasan Timur Tengah.

Pada tahun 2011, gelombang fenomena Arab Spring mulai menjalar di Suriah. Hal ini menjadi penyebab bangkitnya gerakan revolusioner Suriah melawan pemerintahan otoriter Bashar al-Assad.

 

Bashar Assad
Mantan Presiden Bashar al-Assad berhasil digulingkan mujahidin Suriah. Foto: bharataradio738.com

Adapun akar konflik Suriah berawal dari ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan Bashar al-Assad. Bashar al-Assad adalah penerus rezim Assad sekaligus keturunan dari Hefedz al-Assad. Rezim Assad terkenal dengan pemerintahan otoriter lebih dari 30 tahun.

Beberapa faktor yang menjadi latar belakang konflik di Suriah, yaitu, kesenjangan sosial pada masa pemerintahan Bashar al-Assad, dominasi partai Ba’ath yang sudah lama berkuasa di Suriah, kurangnya distribusi pangan dan tingkat pengangguran yang tinggi, serta aksi represif pemerintah Suriah dalam menghalau kritik dari masyarakat.

Sementara itu, konflik Suriah sendiri bermula pada 11 Maret 2011 ketika kelompok remaja menggambar slogan anti pemerintahan di kota Daraa. Slogan tersebut berisi ajakan untuk menggulingkan rezim Bashar al-Assad. Pemerintah Suriah menanggapinya dengan kekerasan. Kepolisian Suriah memenjarakan dan menyiksa seluruh pemuda yang dianggap terlibat dalam penyebaran slogan anti pemerintah.

Tindakan represif itu mengakibatkan aksi protes tambah meluas hingga ke kota-kota lain di Suriah. Cepatnya persebaran informasi disebabkan oleh perkembangan internet serta teknologi komunikasi. Masyarakat memperoleh informasi dari media sosial.

Memasuki tahun 2012, situasi politik Suriah kian memanas. Bashar al-Assad menginstruksikan polisi dan militer untuk menghalalkan segala cara demi menghalau aksi protes masyarakat. Selain itu, terjadi perang saudara antara masyarakat pro-pemerintah dan golongan revolusioner di berbagai kota Suriah.

Pada tahun 2014, muncul kelompok oposisi baru yaitu ISIS dan Jabhat al-Nushra. Mereka berupaya untuk mendirikan negara Islam di Suriah dengan melakukan teror kepada masyarakat dan pemerintahan Suriah. Di bawah pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi, ISIS mampu menguasai sebagian besar wilayah Suriah pada tahun 2015-2017. Namun pada Maret 2019, dikabarkan ISIS berhasil dikalahkan dan wilayah Suriah berada dalam pengawasan Dewan Keamanan PBB (kompas.com, 2/12/2020).

Demikian kronologis terjadinya konflik di Suriah. Rakyat Suriah telah hidup di bawah kediktatoran rezim Assad selama belasan tahun. Wajar bila mereka bersuka cita pasca tumbangnya Assad. Bahkan warga turun ke jalan di seluruh Suriah demi meluapkan euforia lepas dari ketertindasan. Mereka pun berharap, kemenangan ini akan membawa kebebasan dan kemakmuran

 

Secercah Harapan akan Perubahan

Pemimpin HTS dalam pidato di Masjid Umayyah, memuji kemenangan mereka sebagai hal yang bersejarah pada hari Minggu. Ia juga mengatakan bahwa ini merupakan kemenangan bagi seluruh negara Islam. Benarkah?

Abu Mohammaed al-Jolani
Mohammed al-Jolani, pemimpin Hayat Tahrir al-Sham. Foto: english.enabbaladi.net

Tak bisa dipungkiri, runtuhnya rezim Bashar al-Assad membawa secercah harapan baru bagi umat Islam untuk terjadinya perubahan. Namun bila melihat realitasnya, di satu sisi penggulingan kekuasaan diktator Assad didambakan umat Islam di Suriah bahkan dunia Islam, tapi di sisi lain diduga ada peran Turki dan "restu" Amerika Serikat yang menginginkan solusi politik baru di Suriah.

Selanjutnya, ada kemungkinan sistem pemerintahan koalisi dengan otonomi khusus di beberapa wilayah (seperti Kurdistan Irak) akan dibentuk. Kalau solusi ini yang akan dijalankan, artinya Suriah tetap dalam kerangka rezim sekuler yang tidak menyelesaikan penderitaan rakyat.

Maka tengah terjadi pertaruhan besar untuk Suriah. Apakah menjalankan kehendak Barat dengan membentuk pemerintahan sekuler baru atau berpihak pada perjuangan umat Islam dan mujahidin yang ikhlas dengan menegakkan pemerintahan Islam?

Bila opsi kedua yang dikehendaki, maka harus ada upaya terus-menerus dalam mengawal transisi ini demi menggagalkan solusi sekuler yang ditawarkan pihak asing. Apalagi jika yang diinginkan oleh umat Islam adalah perubahan mendasar yaitu tidak hanya rezim berganti tapi juga perubahan sistem, dari penerapan sistem sekularisme menjadi sistem pemerintahan Islam (khilafah islamiyah).

Inilah sejatinya harapan bagi Suriah dan bumi Syam yang diberkahi. Yaitu tegaknya kembali khilafah islamiyah yang akan menjaga kehormatan umat Islam di Suriah, membebaskan Palestina dari penjajahan Israel, serta mewujudkan kemuliaan serta keadilan bagi seluruh kaum Muslimin.

Sistem khilafah ini pula yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam  dan dilanjutkan oleh para khalifah sesudah beliau. Dari Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq (berkuasa tahun 632 M) hingga khalifah terakhir di Turki yaitu Sultan Abdul Majid II (lengser tahun 1924).

Dengan demikian, alangkah utamanya bila para mujahid dan warga Suriah tak berhenti hanya pada euforia kemenangan dan perubahan rezim. Namun meningkatkan level perjuangan demi melanjutkan kembali kehidupan Islam dengan menegakkan khilafah islamiyah 'ala minhajin nubuwah. Takbir! []  

 

 

Kontributor: Puspita Satyawati (Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Islam)

Berikan Wakaf Si Domba untuk Penghafal Alquran di Pelosok ke https://indonesiaberbagikebaikan.com/