ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Terlalu! Istri pergi umroh, suami
berzina dengan pelakor di rumah. Bejatnya lagi, perzinaan tersebut diiringi
oleh murottal agar suara dari dalam kamar tidak terdengar oleh anak-anak
di dalam rumah. Kini, perzinaan tersebut terbongkar oleh anaknya yang menemukan
chat sang ayah dengan pelakor, hingga tersebar di media (radarbali.id,
3/11/2024).
Ya Rabb... Nyaris tak bisa berkata-kata membaca kabar tersebut. Begitu mudahnya manusia modern hari ini melakukan zina. Padahal Allah SWT telah menyebutnya sebagai fahisyah (sangat menjijikkan) dan seburuk-buruknya jalan. Dalam pandangan agama Islam, hukum zina jelas dosa besar.
Apalagi melakukan zina dan mengiringinya
dengan menyetel murottal. Ini adalah bentuk penistaan agama. Lantunan
ayat suci Al-Qur'an diperdengarkan untuk menutupi lenguhan adegan bejat mereka.
Kejahatan yang berlipat. Sanksinya juga harusnya ganda. Hukuman bagi pezina dan
penista agama. Namun di negara sekuler seperti Indonesia ini, berlakukah sanksi
hukum yang memberikan efek jera agar zina tak lagi merajalela?
Mandulnya Sanksi Zina Kini
Sayangnya, hukuman bagi pezina di
negeri mayoritas berpenduduk Muslim ini tak ada. Asal pelakunya suka sama suka,
aparat penegak hukum tak bisa menindaknya. Terlebih memang pasal hukum untuk
menjerat si pelaku tidak tersedia. Kecuali salah satu di antaranya menyatakan
sebagai korban pemaksaan atau pemerkosaan, baru proses hukum bisa dijalankan.
Inilah salah satu penyebab kian
maraknya zina. Ketika negara tidak memberlakukan hukuman tegas bagi para pelaku
zina Sehingga tidak ada efek jera, baik bagi pelaku maupun anggota masyarakat
lainnya. Jadilah zina dianggap perbuatan tak berdosa karena tak ada hukuman
yang diberlakukan oleh negara, sebagaimana kejahatan lainnya seperti mencuri,
merampok, membunuh, dan seterusnya.
Maka bisa kita saksikan hari ini
khususnya di kalangan anak muda,
pergaulan bebas merajalela, angka kehamilan tidak dikehendaki (KTD) pun
meninggi. Bahkan gaul bebas seolah jadi tren. Enggak punya pacar itu enggak keren,
kata mereka. Kalau pun pacaran berujung kehamilan, pilihannya tinggal diaborsi
atau dinikahkan demi menutupi aib keluarga. Nastaghfirullaah.
Selain tidak adanya hukuman tegas,
zina marak akibat penerapan sistem sekularisme liberalistik. Sistem cacat ini
mengajarkan agama dipisahkan dari kehidupan dan cukup menggunakannya saat berinteraksi
dengan Tuhan (Allah) dalam ibadah ritual saja.
Agama tidak diperbolehkan mengatur sisi hidup lainnya termasuk soal
pergaulan dengan lawan jenis atau saat memenuhi naluri seksualnya.
Ilutrasi perzinahan yang marak di tengah masyarakat. Foto: Zimmytws/Canva
Berkelindan dengan paham
liberalisme, seiring terpisahnya hidup dari agama, manusia lebih cenderung
menggunakan aturannya sendiri. Sesuai kehendaknya. Berdasarkan hawa nafsunya.
Bebas nyaris tanpa batas.
'Wajar' bila lahir manusia
berkelakuan binatang. Secara fisik berwujud manusia, tapi bertindak liar ala
hewan. Bahkan lebih buruk dari hewan ternak. Benarlah firman Allah Subhanallaahu
Wa Ta'ala,
"Dan sungguh, akan Kami isi
neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati,
tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah" (QS. Al A'raf: 179).
Sekularisme liberal yang telah merasuki
jiwa sebagian individu Muslim, telah
menurunkan kualitas iman dan takwa. Tak lagi ada rasa takut atau malu
saat bermaksiat pada hukum-Nya. Keluarga yang mengadopsi pemikiran ini akan
mengabaikan nilai-nilai agama (Islam) sebagai dasar mendidik putra-putrinya.
Masyarakat pun jauh dari fungsi
kontrol sosial. Amar makruf nahi mungkar terabaikan. Tak ada lagi saling
menasihati dalam kebaikan dan kesabaran di antara anggota masyarakat.
Apalagi negara sebagai institusi
penerap hukum. Sekularisme yang menjadi asas pemerintahan jelas meniadakan
agama dalam berbagai pengaturan. Termasuk tidak adanya pemberlakuan sanksi
hukum sesuai ajaran agama. Bila demikian, 'wajar' bila selingkuh, gaul bebas,
zina akan terus ada bahkan meningkat kasusnya.
Ilustrasi mandulnya sanksi hukum terhadap aktivitas perzinahan. Foto: Giu/Canva
Rajam Efektif Hentikan Zina
Maraknya zina menjadi salah satu
bukti buruknya kehidupan masyarakat akibat meninggalkan hukum Allah Ta'ala.
Zina adalah suatu tindakan memasukkan alat kelamin (pria)
ke dalam alat kelamin wanita yang bukan mahram. Status hukum zina adalah haram.
Firman Allah Ta'ala,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةًۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina,
sesungguhnya zina itu sangat keji dan sejahat-jahat jalan (terkutuk)” (QS.
Al Isra: 32).
Hikmah diharamkannya zina adalah agar
kehormatan umat Islam terjaga dan juga agar kemurnian garis keturunan (nasab) terpelihara.
Apabila pezina adalah ghairu muhshan (belum menikah) kemudian ia
melakukan hubungan seksual, maka ia akan dikenai jilid sebanyak seratus kali.
Allah Subhanallaahu Wa Ta'ala berfirman,
“Pezina wanita dan pezina laki-laki, maka jilidlah masing-masing dari keduanya
dengan seratus kali jilidan…” (QS. An Nuur: 2).
Apabila ia seorang budak (hamba sahaya), maka
akan dijilid sebanyak lima puluh kali. Jika si pezina adalah muhshan
(telah menikah), baik lelaki maupun perempuan, maka ia dirajam dengan batu
hingga mati. Dalilnya adalah perbuatan Rasul (fi’l ur-Rasul). Beliau
pernah merajam seorang wanita bernama Ghamidiyah yang berzina. Pun merajam
seorang pria bernama Maiz yang melakukan perzinaan.
Adapun syarat-syarat dijatuhkannya hukuman
bagi perzinaan adalah pertama, pezina baligh dan berakal, sama
saja apakah Muslim ataukah bukan. Kedua, si pezina tidak berzina secara
terpaksa. Sebab tidak akan dijatuhkan hukuman bagi orang yang terpaksa.
Ketiga, aktivitas zina itu harus ditetapkan
dengan pembuktian (al bayyinat) secara syar’i, yakni pernyataan
dari pelaku atau kesaksian empat orang yang adil, atau tampaknya kehamilan pada
wanita disertai pengakuan.
Keempat, tidak boleh ada syubhat
(kesamaran) tentang terjadinya aktivitas perzinaan karena Rasul pernah
bersabda,“Sebuah had dapat tertolak karena adanya syubhat.”
Teknis pelaksanaan had rajam bagi
pelaku zina adalah digalikan lubang untuknya, kemudian ia ditanam sedalam
dadanya dan dilempari dengan batu hingga mati. Pelaksanaannya dihadiri oleh
hakim atau yang mewakilinya dan kerumunan umat Islam, berdasarkan firman Allah
Ta'ala,“…dan hendaklah segolongan orang mukmin menyaksikan siksaan terhadap
keduanya…” (QS. An-Nuur: 2).
Bila hukum rajam diterapkan, insya Allah
akan menimbulkan efek jera bagi pelaku (zawajir) dan mencegah orang lain
melakukan kejahatan serupa. Pun sebagai penebus dosa pelaku di akhirat kelak di
hadapan pengadilan Allah Ta'ala (jawabir). Berbeda dengan sistem
hukum buatan manusia yang bisa berubah-ubah, tidak membuat jera, serta tidak
membuat orang lain takut untuk berbuat kejahatan serupa.
Namun pidana syariah tentu hanya bisa tegak
jika sistem pemerintahannya juga menerapkan syariat Islam kaffah, yaitu khilafah
islamiyah berdasar manhaj kenabian. Bukan atas dasar sekularisme yang menafikan
aturan Ta'ala dalam kancah kehidupan. []
Kontributor:
Puspita Satyawati (Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian
Islam)
Kunjungi website https://indonesiaberbagikebaikan.com/ untuk Aliran Wakaf Jariyahmu