ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Heboh. Seorang tokoh agama dan pengajar berinisial UAM bikin polemik publik. Di beberapa website menjadi sorotan. Di banyak akun media sosial diperbincangkan. Terkabar, UAM melakukan meditasi di Bali (portal-islam.id, 3/11/2024).
Meditasi umumnya lebih dikenal dalam tradisi spiritual non-Islam seperti Buddha atau Hindu. Wajar bila warganet Muslim mempersoalkannya karena menganggap meditasi tidak sejalan dengan ajaran Islam, yang lebih menekankan pada zikir, doa, dan ibadah lainnya. Adapun pihak yang pro UAM berpendapat bahwa meditasi adalah teknik relaksasi dan kontemplasi yang bisa dilakukan siapa saja, tanpa mengarah pada ajaran agama tertentu, apalagi jika untuk tujuan positif seperti meningkatkan ketenangan batin atau kesehatan mental.
Menanggapi polemik tersebut, UAM memberikan klarifikasi bahwa yang dilakukannya bukan meditasi dalam konteks spiritual non-Islam, tetapi latihan pernapasan yang bertujuan untuk menenangkan diri dan meningkatkan fokus. Ia menekankan, tidak ada niat untuk menyimpang dari ajaran Islam, melainkan hanya melakukan latihan yang bermanfaat bagi kesehatan mental dan fisik.
Polemik ini menjadi contoh bahwa praktik spiritual dari luar Islam bisa menimbulkan perdebatan ketika dilakukan oleh seorang tokoh agama. Meskipun setiap individu bisa memiliki pendekatan berbeda dalam menjaga kesehatan fisik dan mental mereka, namun bila melanggar atau cenderung akan menyelisihi prinsip agama, tentu lebih utama untuk menjauhinya.
Asal-usul Meditasi
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), meditasi adalah pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu.
Meditasi banyak dikenal sebagai cara untuk menenangkan diri, meningkatkan
konsentrasi, dan penyembuhan diri.
Merunut sejarahnya, meditasi adalah
praktik kuno yang berasal dari India dan diadopsi oleh banyak agama di seluruh
dunia. Catatan tertulis tertua tentang meditasi berasal dari Weda Hindu sekitar
tahun 1500 SM. Taurat juga memuat deskripsi tentang meditasi Yahudi yang
kemungkinan dipraktikkan sekitar tahun 1000 SM. Meditasi juga
tercatat sebagai ritual dalam agama Buddha dan Kristen. Semuanya melakukan
meditasi demi mewujudkan satu tujuan, yaitu pemusatan pikiran dan perasaan
untuk meraih ketenangan diri, meningkatkan konsentrasi, atau tercapainya
kesejahteraan hidup.
Di zaman modern ini, meditasi dibungkus dan dilabeli ulang sedemikian rupa sehingga banyak Muslim yang terkecoh dan turut melakukannya. Ada yang menamakannya dengan metode mindfullness (perhatian penuh), metode fokus, atau metode lainnya.
Dikutip dari artikel bertajuk Meditasi dalam Agama Hindu dan Buddha (digilib.uinsgd.ac.id), meditasi merupakan ritual penting yang dilakukan oleh agama Hindu dan Buddha. Dalam dua agama ini, meditasi memiliki pengertian yang hampir sama yaitu ketenangan batin. Dalam agama Hindu, meditasi dilakukan untuk mencapai moksha (pembebasan abadi). Sementara dalam agama Buddha, untuk membebaskan diri dari dukkha (penderitaan).
Sebenarnya meditasi dalam agama Hindu disebut dengan yoga (jalan untuk mencapai Tuhan). Dan dalam agama Buddha ada dua jenis meditasi yaitu Samatha Bhavana (untuk mendapat ketenangan bathin) dan Vipassana Bhavana (untuk mendapatkan pandangan yang terang).
Sementara itu, meditasi Tapa Brata
yang diduga dilakukan oleh UAM, merupakan praktik spiritual dan ritual yang
berasal dari tradisi ritual Hindu dan animisme yang dijalankan oleh nenek
moyang. Dalam ajaran Hindu, tapa berarti disiplin diri atau pengendalian diri
yang ketat, sedangkan brata berarti sumpah atau janji. Jadi Tapa Brata adalah
praktik menjalankan disiplin ketat dalam bentuk puasa, meditasi, atau
pengendalian nafsu untuk tujuan spiritual.
Ilustrasi aktivitas meditasi. Foto: Rezus/Canva
Dalam tradisi animisme, praktik ini juga mengandung makna yang dalam karena animisme memandang bahwa semua makhluk dan elemen alam memiliki roh atau energi. Dengan menjalankan Tapa Brata, seseorang berupaya menyelaraskan dirinya dengan alam dan menghormati roh-roh leluhur dan roh-roh penunggu alam (baca: jin) dengan keyakinan hal ini dapat membawa harmoni, kebijaksanaan, dan keseimbangan dalam hidup.
Tapa Brata sering dipraktikkkan dengan puasa, meditasi, atau isolasi, sebagai bentuk penyucian diri. Ini membantu seseorang untuk mencapai kedekatan spiritual dengan alam, dewa-dewa, dan leluhur, serta demi memperdalam pemahaman tentang diri sendiri.
Dengan demikian, kita bisa memahami bahwa meditasi bukanlah ajaran yang berasal dari khazanah Islam. Ia adalah ritual yang diajarkan dalam agama lain. Sehingga memiliki tujuan khas terkait penyembahan pada Tuhan ala mereka. Juga cara pelaksanaannya sesuai ajaran yang mereka yakini.
Pandangan Islam
Sebelum menghukumi
sesuatu, seorang Muslim harus mengetahui hakikatnya sebagaimana penuturan Syekh Utsaimin rahimahullah,
“Di antara kaidah yang sudah
dikenal dan ditetapkan di antara para ulama adalah, ‘Menghukumi/menilai sesuatu
itu buah dari mengerti esensinya.’ Maka, janganlah menghukumi/menilai
sesuatu, kecuali sesudah memahami hakikat sesuatu itu secara lengkap,
agar hukum yang kita berikan tersebut sesuai dengan kenyataannya.
Jika tidak, maka akan terjadi kekeliruan yang besar” (Syarh Ushul Min ‘Ilmi Al-Ushul,
hal. 604).
Ilustrasi seorang muslim harus menggunakan ajaran Islam dalam menilai sebuah perbuatan sebelum melakukan. Foto: Abdulwahab/Canva
Untuk mencari tahu hukum meditasi, perlu
mengetahui esensi dasarnya di mana seseorang yang melakukannya akan berdiam
diri dan bertapa. Kedua hal tersebut adalah identitas ibadah bagi orang-orang
Hindu dan Buddha. Tidaklah seseorang melakukan meditasi, kecuali ia akan
melakukan gerakan yang mengarah pada bentuk ibadah mereka.
Dari esensi
tersebut, dapat kita mengerti bahwa praktik meditasi banyak mengandung
keserupaan dan kemiripan dengan ibadah Hindu dan Buddha. Sedangkan Islam secara
jelas melarang pemeluknya untuk menyerupai orang-orang kafir (tasyabbuh lil
kuffar). Apalagi dalam hal-hal yang menjadi identitas ibadah mereka. Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menyerupai suatu
kaum, maka termasuk bagian dari mereka” (HR. Abu Daud).
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengemukakan alasan pelarangan kaum Muslimin untuk meniru dan menyerupai orang-orang kafir, “Keserupaan dalam perkara lahiriah (sesuatu yang nampak) akan berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang menyerupai orang-orang kafir” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 154).
Meskipun bermeditasi awalnya hanya
diniatkan sebagai penenang pikiran dan keseimbangan hidup, seiring berjalannya
waktu pasti akan mempengaruhi akidah, keyakinan, dan sikap kita. Minimal kita
akan terbiasa bersinggungan dengan pemikiran-pemikiran orang-orang yang
mendalami meditasi ini, yaitu orang-orang Hindu dan Buddha.
Jauh-jauh hari,
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah
mewanti-wanti umatnya dari kebiasaan buruk yaitu mudah terbawa arus dan
bersikap latah, “Sungguh, kalian benar-benar
akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal
dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang dhab
pun, kalian pasti kalian akan mengikuti mereka. Kami bertanya, 'Wahai
Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani?' Beliau menjawab, 'Siapa lagi
kalau bukan mereka'” (HR. Bukhari Muslim).
Oleh karena itu, sungguh tak layak bila seorang Muslim melakukan tasyabbuh lil kuffar. Terlebih hal itu dilakukan oleh seorang ustaz yang dikenal publik sebagai orang berilmu tinggi. Bagaimana mungkin, tokoh panutan umat justru menyelisihi ajaran agama yang ia sampaikan pada mereka? Mudah-mudahan nasihat dari saudara sesama Muslim kepada UAM menjadi wasilah pembuka hati dan pikiran, berkenan untuk muhasabah diri, hingga kembali pada jalan Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang hakiki. Aamiin yaa Allah. []
Kontributor: Puspita Satyawati (Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Islam)
Wakaf Bakal Indukan Domba untuk Santri, Yatim, dan Dhuafa bisa ke https://indonesiaberbagikebaikan.com/