Monday, October 14, 2024

Miras Marak! Awas Generasi Rusak!

Miras tambah marak

 

ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- "Beli miras di Jogja semudah beli es teh di angkringan." Statement ini terlisan dari Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Machasin, saat membacakan pernyataan sikap tiga ormas Islam (Muhammadiyah, NU, MUI) menolak berdirinya toko minuman keras (miras) di DIY yang makin tak terkendali. Hal ini menyebabkan miras sangat mudah diakses, termasuk oleh para pelajar di bawah umur (kumparan.com, 21/9/2024).

Tak hanya di Jogja, miras juga merajalela di berbagai kota. Sebut saja Outlet 23, salah satu badan usaha penjual minuman beralkohol (minol). Ia mengklaim memiliki 60 cabang di beberapa kota. Belum lagi toko miras lainnya. Atau tempat hiburan (klub) malam yang juga menyajikan miras. Pun layanan penjualan online dan delivery yang memudahkan konsumen memperoleh miras tanpa pergi dari rumah. Keberadaan toko miras sungguh bak jamur di musim hujan. Mengepung kota berikut anak muda di dalamnya dengan minuman laknat tersebut. 

Miras membuat hidup suram
Ilustrasi kecanduan miras membuat kehidupan bertambah suram. Foto: ASF/Canvapro


Padahal dari sisi agama, miras jelas haramnya (QS. Al Maidah: 90). Pun dampak buruknya tak terelakkan. Bikin akal tak waras akibat rusaknya sel otak. Juga merusak organ tubuh; jantung, hati, pencernaan, reproduksi, hingga meningkatkan risiko kanker. Pantas bila miras disebut dalam agama Islam sebagai ummul khabaits (induk dari segala kejahatan). Realitasnya, banyak aksi kriminalitas yang didahului dari menenggak miras. Bila sedemikan rusak, mengapa miras tetap marak?

 

Antara Regulasi dan Tontonan

Bila ditelisik, ada beberapa faktor penyebab maraknya miras. Miras menggurita salah satunya karena pemerintah tidak melarang peredarannya. Regulasi yang ada hanya bersifat mengatur dan mengontrol. Misalnya membatasi usia konsumen 21 tahun ke atas serta mengenakan cukai agar harga miras tinggi hingga hanya kalangan mampu yang bisa membeli. Selain itu, miras hanya boleh dijual dan minum di tempat seperti restoran bintang tiga, hotel bintang tiga hingga lima, dan seterusnya. Namun faktanya, aturan tinggal aturan. Miras tetap mudah ditemukan di mana pun dan dinikmati oleh siapa pun.

UU Cipta Kerja (UU CK) pun mengakibatkan menjamurnya outlet miras. UU yang spirit utamanya kemudahan investasi ini memiliki turunan yaitu PP No. 5 Tahun 2021 tentang perizinan usaha berbasis risiko melalui mekanisme online single submission (OSS)-risk based approach (RBA). Mekanisme ini menjadi celah bagi pelaku bisnis miras untuk mengurus pelegalan usahanya karena UU CK menginstruksikan kepada daerah melalui PP No. 6 Tahun 2021 agar menyesuaikan regulasinya dengan UU CK ketika ada pertentangan aturan dengan daerah. Maka pemerintah daerah tak berkutik dengan beroperasinya outlet-outlet miras karena sudah mengantongi izin sesuai mekanisme OSS-RBA meski melanggar perda sekalipun.

Selain longgarnya regulasi, pengaruh gaya hidup liberal turut menyuburkan peredaran miras khususnya di kalangan anak muda. Hal ini dipicu oleh salah satunya film (drama) Korea series yang sering menampilkan scene tokoh sedang minum soju. Soju adalah minuman beralkohol khas Korea Selatan dengan kadar bervariasi dari 20% hingga 45%. Minuman ini memiliki rasa lembut, ringan, dengan aroma alkohol yang kuat. Juga memiliki rasa buah dan susu yang khas, sehingga populer di kalangan peminum muda.

Sering ditayangkannya adegan minum soju (minuman beralkohol berwarna bening hasil distilasi asal Korea.) di drakor (drama Korea) apalagi oleh artis favorit mereka, sedikit banyak melambungkan fantasi para penggila drakor untuk membebek perilaku oppa-oppa itu. Muncul rasa bangga karena mampu menyamai tingkah polah sang idola. Pun merasa keren bisa bergaya hidup moderen ala artis. Jadilah tontonan sebagai tuntunan. Artis idola jadi panutan. Tak peduli soju halal ataukah haram. Yang penting adalah mengimitasi kelakuan sang panutan. Inilah salah satu bahaya menonton tayangan secara membabi-buta serta mengidolakan artis yang gaya hidupnya cenderung hedon dan dekat dengan keharaman.

Demikianlah, miras marak karena akumulasi penyebab. Lemahnya iman pelaku, kurangnya didikan keluarga berbasis akidah (agama), masyarakat menganggap minum miras sebagai hal biasa, hingga diperparah dengan tontonan yang menyuguhkan adegan minum miras ala oppa Korea. Tak ketinggalan, pemerintah pun tak melarang peredarannya. Miris bukan?  

 

Sinergi Keluarga dan Pemerintah

Dengan melihat dampak negatif tontonan bagi kehidupan generasi, penting kiranya orang tua memberikan pendampingan. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua dalam mendampingi anak menonton tayangan, terutama film-film asing;

Cara mencegah miras
Untuk mewujudkan generasi emas yang jauh dari miras, butuh kesungguhan dari pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Foto: ASF/Canvapro


Pertama, bekali ananda dengan iman dan takwa. Iman berfungsi sebagai filter dan membantu anak untuk membedakan mana tayangan baik atau buruk, mana yang boleh dilihat atau tidak. Kedua, jelaskan peta perkembangan zaman kepada anak. Era globalisasi meniscayakan aliran informasi yang sangat cepat. Di balik kemudahan mengaksesnya, ananda harus menyadari adanya pengaruh buruk yang mengarah pada perang pemikiran (ghazwul fikri).   

Ketiga, pastikan tayangan yang ditonton aman untuk anak. Banyak tayangan yang belum sesuai dengan usia anak, seperti adegan kekerasan, kata kasar, dan adegan dewasa. Keempat, pilih tayangan yang edukatif dan memiliki nilai positif. Tayangan yang edukatif dapat menghibur sekaligus mengajarkan anak-anak tentang berbagai hal.

Kelima, batasi waktu menonton anak. Jika tidak dibatasi, anak bisa menjadi ketergantungan dengan tontonan tersebut. Keenam, buka ruang dialog dengan anak. Ajak anak berbincang tentang beberapa tayangan dan minta pendapatnya. Hal ini akan melatih daya kritis mereka.

Tak cukup pendampingan keluarga, negara mesti berperan menjaga warganya dari bahaya tayangan asing yang tak bermoral. Apalagi negara berfungsi sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan negara;

Pertama, membuat regulasi untuk mengatur serta tayangan media. Jangan hanya berpikir soal keuntungan atau pajak yang didapat dari penyiaran. Tapi pertimbangkan dampak-dampak tayangan (konten) bagi masyarakat khususnya generasi.

Kedua, memberikan sanksi bagi media yang melanggar ketentuan. Negara lewat lembaga berwenang, harus tegas memberikan sanksi bila ada yang melanggar. Sanksi berupa penghapusan tayangan, penghentian aktivitas media, hingga sanksi hukum bila diperlukan sesuai jenis kelalaian.

Ketiga, mengedukasi masyarakat agar kritis dan selektif menyikapi tayangan media. Seringkali media menayangkan sesuatu karena masyarakat memang menggemarinya. Selama selera pasar menghendaki, media akan terus memproduksi. Di sini pentingnya masyarakat bersikap kritis dan tak asal menyukai tayangan hiburan atau sejenisnya. Dan sebaik-baik edukasi tentu berbasis pada akidah Islam. Sejatinya imanlah CCTV terbaik yang mengendalikan pola pikir dan tingkah laku manusia.

Dengan demikian, sinergi positif antara pendampingan keluarga dan peran media mengendalikan media ini akan memunculkan masyarakat kritis dan cerdas media. Hanya saja, mampukah idealitas ini terjadi dalam penerapan sistem hidup ala sekularisme kapitalistik nan liberal saat ini?  []

 

 

 

Kontributor: Puspita Satyawati (Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Islam)

 

Kirimkan Wakaf untuk Pengadaan dan Perawatan Sarana Air Bersih saudara kita di Nusa Tenggara Timur :  https://linktr.ee/id.berbagikebaikan