ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- "Beli miras di Jogja semudah beli es teh di angkringan." Statement ini terlisan dari Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Machasin, saat membacakan pernyataan sikap tiga ormas Islam (Muhammadiyah, NU, MUI) menolak berdirinya toko minuman keras (miras) di DIY yang makin tak terkendali. Hal ini menyebabkan miras sangat mudah diakses, termasuk oleh para pelajar di bawah umur (kumparan.com, 21/9/2024).
Tak hanya di Jogja, miras juga merajalela
di berbagai kota. Sebut saja Outlet 23, salah satu badan usaha penjual minuman
beralkohol (minol). Ia mengklaim memiliki 60 cabang di beberapa kota. Belum
lagi toko miras lainnya. Atau tempat hiburan (klub) malam yang juga menyajikan
miras. Pun layanan penjualan online dan delivery yang memudahkan konsumen
memperoleh miras tanpa pergi dari rumah. Keberadaan toko miras sungguh bak
jamur di musim hujan. Mengepung kota berikut anak muda di dalamnya dengan
minuman laknat tersebut.
Ilustrasi kecanduan miras membuat kehidupan bertambah suram. Foto: ASF/Canvapro
Padahal dari sisi agama, miras jelas
haramnya (QS. Al Maidah: 90). Pun dampak buruknya tak terelakkan. Bikin akal
tak waras akibat rusaknya sel otak. Juga merusak organ tubuh; jantung, hati,
pencernaan, reproduksi, hingga meningkatkan risiko kanker. Pantas bila miras
disebut dalam agama Islam sebagai ummul khabaits (induk dari segala
kejahatan). Realitasnya, banyak aksi kriminalitas yang didahului dari menenggak
miras. Bila sedemikan rusak, mengapa miras tetap marak?
Antara Regulasi dan Tontonan
Bila ditelisik, ada beberapa faktor
penyebab maraknya miras. Miras menggurita salah satunya karena pemerintah tidak
melarang peredarannya. Regulasi yang ada hanya bersifat mengatur dan
mengontrol. Misalnya membatasi usia konsumen 21 tahun ke atas serta mengenakan
cukai agar harga miras tinggi hingga hanya kalangan mampu yang bisa membeli.
Selain itu, miras hanya boleh dijual dan minum di tempat seperti restoran
bintang tiga, hotel bintang tiga hingga lima, dan seterusnya. Namun faktanya,
aturan tinggal aturan. Miras tetap mudah ditemukan di mana pun dan dinikmati
oleh siapa pun.
UU Cipta Kerja (UU CK) pun mengakibatkan
menjamurnya outlet miras. UU yang spirit utamanya kemudahan investasi ini
memiliki turunan yaitu PP No. 5 Tahun 2021 tentang perizinan usaha berbasis
risiko melalui mekanisme online single submission (OSS)-risk based approach
(RBA). Mekanisme ini menjadi celah bagi pelaku bisnis miras untuk mengurus
pelegalan usahanya karena UU CK menginstruksikan kepada daerah melalui PP No. 6
Tahun 2021 agar menyesuaikan regulasinya dengan UU CK ketika ada pertentangan
aturan dengan daerah. Maka pemerintah daerah tak berkutik dengan beroperasinya
outlet-outlet miras karena sudah mengantongi izin sesuai mekanisme OSS-RBA
meski melanggar perda sekalipun.
Selain longgarnya regulasi, pengaruh gaya
hidup liberal turut menyuburkan peredaran miras khususnya di kalangan anak
muda. Hal ini dipicu oleh salah satunya film (drama) Korea series yang
sering menampilkan scene tokoh sedang minum soju. Soju adalah minuman
beralkohol khas Korea Selatan dengan kadar bervariasi dari 20% hingga 45%.
Minuman ini memiliki rasa lembut, ringan, dengan aroma alkohol yang kuat. Juga
memiliki rasa buah dan susu yang khas, sehingga populer di kalangan peminum
muda.
Sering ditayangkannya adegan minum soju
(minuman beralkohol berwarna bening hasil distilasi
asal Korea.) di drakor (drama Korea) apalagi oleh
artis favorit mereka, sedikit banyak melambungkan fantasi para penggila drakor
untuk membebek perilaku oppa-oppa itu. Muncul rasa bangga karena mampu
menyamai tingkah polah sang idola. Pun merasa keren bisa bergaya hidup moderen
ala artis. Jadilah tontonan sebagai tuntunan. Artis idola jadi panutan. Tak
peduli soju halal ataukah haram. Yang penting adalah mengimitasi
kelakuan sang panutan. Inilah salah satu bahaya menonton tayangan secara
membabi-buta serta mengidolakan artis yang gaya hidupnya cenderung hedon dan
dekat dengan keharaman.
Demikianlah, miras marak karena akumulasi
penyebab. Lemahnya iman pelaku, kurangnya didikan keluarga berbasis akidah
(agama), masyarakat menganggap minum miras sebagai hal biasa, hingga diperparah
dengan tontonan yang menyuguhkan adegan minum miras ala oppa Korea. Tak
ketinggalan, pemerintah pun tak melarang peredarannya. Miris bukan?
Sinergi Keluarga dan Pemerintah
Dengan melihat dampak negatif tontonan bagi
kehidupan generasi, penting kiranya orang tua memberikan pendampingan. Berikut
beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua dalam mendampingi anak menonton
tayangan, terutama film-film asing;
![]() |
Untuk mewujudkan generasi emas yang jauh dari miras, butuh kesungguhan dari pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Foto: ASF/Canvapro |
Pertama, bekali
ananda dengan iman dan takwa. Iman berfungsi sebagai filter dan membantu anak
untuk membedakan mana tayangan baik atau buruk, mana yang boleh dilihat atau
tidak. Kedua, jelaskan peta perkembangan zaman kepada anak. Era globalisasi
meniscayakan aliran informasi yang sangat cepat. Di balik kemudahan
mengaksesnya, ananda harus menyadari adanya pengaruh buruk yang mengarah pada
perang pemikiran (ghazwul fikri).
Ketiga,
pastikan tayangan yang ditonton aman untuk anak. Banyak tayangan yang belum
sesuai dengan usia anak, seperti adegan kekerasan, kata kasar, dan adegan
dewasa. Keempat, pilih tayangan yang edukatif dan memiliki nilai
positif. Tayangan yang edukatif dapat menghibur sekaligus mengajarkan anak-anak
tentang berbagai hal.
Kelima, batasi
waktu menonton anak. Jika tidak dibatasi, anak bisa menjadi ketergantungan
dengan tontonan tersebut. Keenam, buka ruang dialog dengan anak. Ajak
anak berbincang tentang beberapa tayangan dan minta pendapatnya. Hal ini akan
melatih daya kritis mereka.
Tak cukup pendampingan keluarga, negara mesti
berperan menjaga warganya dari bahaya tayangan asing yang tak bermoral. Apalagi
negara berfungsi sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Berikut beberapa hal
yang bisa dilakukan negara;
Pertama,
membuat regulasi untuk mengatur serta tayangan media. Jangan hanya berpikir
soal keuntungan atau pajak yang didapat dari penyiaran. Tapi pertimbangkan
dampak-dampak tayangan (konten) bagi masyarakat khususnya generasi.
Kedua,
memberikan sanksi bagi media yang melanggar ketentuan. Negara lewat lembaga
berwenang, harus tegas memberikan sanksi bila ada yang melanggar. Sanksi berupa
penghapusan tayangan, penghentian aktivitas media, hingga sanksi hukum bila
diperlukan sesuai jenis kelalaian.
Ketiga,
mengedukasi masyarakat agar kritis dan selektif menyikapi tayangan media.
Seringkali media menayangkan sesuatu karena masyarakat memang menggemarinya.
Selama selera pasar menghendaki, media akan terus memproduksi. Di sini
pentingnya masyarakat bersikap kritis dan tak asal menyukai tayangan hiburan
atau sejenisnya. Dan sebaik-baik edukasi tentu berbasis pada akidah Islam.
Sejatinya imanlah CCTV terbaik yang mengendalikan pola pikir dan tingkah laku
manusia.
Dengan demikian, sinergi positif antara
pendampingan keluarga dan peran media mengendalikan media ini akan memunculkan
masyarakat kritis dan cerdas media. Hanya saja, mampukah idealitas ini terjadi
dalam penerapan sistem hidup ala sekularisme kapitalistik nan liberal saat ini?
[]
Kontributor:
Puspita Satyawati (Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian
Islam)
Kirimkan Wakaf untuk Pengadaan
dan Perawatan Sarana Air Bersih saudara kita di Nusa Tenggara Timur : https://linktr.ee/id.berbagikebaikan