Sunday, September 1, 2024

Toleransi ala Islam: Menghormati, Bukan Berpartisipasi

Toleransi dalam Islam

 

ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Heboh! Pekerja di Jakarta diimbau agar work from home (WFH) pada Kamis (5/9/2024). Ada apa? Ternyata pada hari itu bakal digelar dua agenda besar yang berpotensi menimbulkan kepadatan lalu lintas, yakni misa akbar di kawasan Gelora Bung Karno (GBK) dan Indonesia Sustainability Forum (ISF) di Jakarta Convention Center (JCC).

Misa Akbar akan dipimpin secara langsung oleh Paus Fransiskus dan dihadiri sekitar 90 ribu umat Katolik. Pun sebagai agenda utama dan penutup rangkaian kunjungan Pemimpin Vatikan tersebut di Indonesia. Sementara ISF bakal dihadiri oleh Presiden Jokowi, para pemangku kebijakan, pakar, dan investor dari seluruh dunia sebanyak lima ribuan peserta (kompas.com, 28/8/2024).

Kunjungan Paus Fransiskus ke negeri dengan populasi Muslim terbesar di dunia ini tentu bukan tanpa maksud. Selain untuk memperkuat hubungan bilateral antara Vatikan dan Indonesia, juga demi meneguhkan semangat toleransi beragama di negeri ini. Pun diharapkan menjadi katalisator untuk memperdalam pemahaman, menghargai perbedaan, dan membangun jembatan perdamaian antarkomunitas agama di Indonesia.

Pas Fransiskus


Adapun Lafadz Nusantara Center mengajak semua pemeluk agama di luar Gereja Katolik Indonesia untuk menyambut baik dan menyukseskan agenda kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia (mediaindonesia.com, 30/8/2024). Sesuatu yang agak menggelitik, mengapa semua seakan berkewajiban untuk menyukseskan agenda penguatan toleransi beragama ini? Hingga para pekerja di tanggal 5 September 2024 diimbau untuk rela WFH?

Toleransi Sejati

Lagi-lagi demi toleransi. Isu ini nyaris didengungkan tiap hari. Bahkan pemerintah merasa penting untuk mengemasnya dalam program moderasi beragama. Yang disosialisasikan dari sekolah tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai perguruan tinggi. Hingga ke kampung, desa, dan seterusnya. Ada Sekolah Moderasi Beragama, Kampung Moderasi Beragama, Desa Moderasi Beragama, dan Masjid Moderasi Beragama. Dan toleransi merupakan "ruh" program ini.

Sementara realitasnya hubungan antarumat beragama selama ini baik-baik saja. Lantas mengapa terkesan ada masalah, hingga isu toleransi jor-joran disebarluaskan? Dan kesannya lagi, umat Islam sebagai mayoritas "dituduh" kurang bersikap toleran terhadap minoritas selama ini. Bahkan muncul istilah penindasan mayoritas terhadap minoritas. Gegara isu-isu seperti penggunaan hijab di sekolah, nyaringnya suara azan lewat TOA, dan sebagainya.

Proyek moderasi beragama pun ditengarai menyasar umat Islam. Buktinya? Yang dimoderasi adalah ajaran Islam, berdalih ayat Qur'an dan hadis yang telah diinterpretasi ala mereka. Bukan ajaran agama lainnya.

Padahal Islam sebagai agama paripurna telah mengajarkan umatnya agar bersikap toleran terhadap pemeluk agama lain. Pun menjelaskan batas-batas toleransi beragama. Merujuk pada Kamus Al-Munawwir, halaman 702, toleransi (tasamuh) adalah sikap membiarkan (menghargai), lapang dada.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, "Lakum dinukum waliyadin (Bagiku agamaku dan bagimu agamamu)" (QS. Al Kafirun: 6). Sehingga praktik toleransi antarumat beragama dalam pandangan Islam adalah sebagai berikut;

Pertama, toleransi tidak boleh mengurangi keyakinan Islam satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya jalan keselamatan di akhirat. Kedua, toleransi  tidak boleh mengurangi keyakinan bahwa penerapan syariah secara kaffah akan memberikan rahmat bagi seluruh alam. Selain syariah akan menimbulkan fasad (kerusakan).

Ketiga, toleransi tidak boleh mengurangi semangat dakwah mengajak mereka masuk Islam. Keempat, toleransi dilakukan dengan membiarkan mereka memeluk agama yang mereka yakini, melaksanakan ibadah mereka, tidak menghina Tuhan mereka, tidak merusak tempat ibadah mereka.

Kelima, Islam membolehkan bermuamalah dengan non-Muslim (jual-beli, sewa-menyewa, ajar-mengajar dalam sainstek), berbuat baik dan berlaku adil terhadap mereka. Ibnu Jarir Ath Thabari menafsirkan QS. Al Mumtahanah: 8, bahwa berbuat baik dan adil di sini berlaku kepada setiap pemeluk agama. Tidak boleh berlaku zalim terhadap non-Muslim.

Dengan demikian, toleransi dalam Islam itu menghormati bukan berpartisipasi. Membiarkan, tidak ikut-ikutan. Bukan toleransi lompat pagar ala moderasi beragama. Kebablasan. Seperti yang dipraktikkan selama ini, misalnya doa lintas agama, menghadiri perayaan hari besar agama lain, buka puasa dan azan di gereja, pemeluk agama lain mengikuti kirab upacara peringatan Paskah, dan sejenisnya.

 Sikap terhadap Kafir

Toleransi Islam terhadap umat non-Islam telah ditetapkan dalam syariat Islam secara rinci. Ayat Al-Qur'an banyak berbicara tentang kaum Yahudi, Nasrani, Persia, Romawi, yang menjadi pedoman kaum Muslim dalam berhubungan dengan dunia di luar Islam. Islam melarang keras berbuat zalim dan merampas hak-hak non-Muslim.

Ajaran toleransi dalam Al-Qur'an
Ilustrasi seorang muslim harus mengikuti ajaran Al-Quran dalam bertoleransi. Foto: ID.berbagikebaikan/Canvapro

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, "Allah tiada melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil" (QS. Al Mumtahanah: 8).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di (Tafsir Karim Ar Rahman, hlm. 819) menafsirkan ayat ini bahwa Allah tidak melarang kaum Muslim untuk berbuat baik, menyambung silaturahmi, membalas kebaikan, berbuat adil kepada orang-orang musyrik, baik dari keluarga sendiri maupun orang lain. Selama mereka tidak memerangi dan tidak mengusir kaum Muslim.

Syariat Islam dengan tegas melarang membunuh orang kafir kecuali jika mereka memerangi kaum Muslim. Dalam Islam orang kafir yang boleh dibunuh hanyalah kafir harbi, yakni orang kafir yang memerangi kaum Muslim. Adapun orang kafir selain mereka, yaitu orang kafir yang mendapat suaka atau ada perjanjian dengan kaum Muslim seperti kafir dzimmi, kafir musta’man dan kafir mu’ahad, dilarang keras untuk dibunuh. Jika melanggar, ancamannya sangat keras.

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Siapa saja yang membunuh seorang kafir dzimmi tidak akan mencium bau surga. Padahal sungguh bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun” (HR. An Nasa’i).

Intinya, kafir dzimmi diberi kebebasan untuk melaksanakan ajaran agamanya, khususnya yang berada di wilayah privat seperti ibadah. Namun, toleransi ini bukan berarti membenarkan ajaran mereka atau mencampuradukkannya dengan ajaran Islam.

Toleransi ala Islam juga telah diterapkan dalam kehidupan nyata kaum Muslim. Hal ini nampak dari kebijakan khilafah islamiyah yang berlangsung selama 14 abad. Sangat banyak ilmuwan dan sejarawan dunia yang menuliskan aspek toleransi tersebut.

Seorang orientalis Inggris, T.W. Arnold, menyatakan, “The treatment of their Christian subjects by the Ottoman emperors—at least for two centuries after their conquest of Greece—exhibits a toleration such as was at that time quite unknown in the rest of Europe (Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani—selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa).”

Ia pun mencatat, keadilan khilafah islamiyah membuat warga Kristen penduduk Syam lebih memilih hidup di bawah kekuasaan khilafah dibandingkan dipimpin oleh Kaisar Romawi. Padahal Kaisar Romawi beragama Kristen (Arnold, The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, hlm. 134).

Demikianlah konsep dan praktik toleransi ala Islam. Bila masih ada tuduhan bahwa Islam itu antitoleransi, hal ini tidak sekadar ahistoris namun juga sebuah penyesatan politik. Maka mengajari umat Islam bagaimana menjalankan toleransi, ibarat mengajari ikan cara berenang. []

 

 

Kontributor: Puspita Satyawati

(Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Islam)


Kirimkan Wakaf untuk Membantu Sesama ke https://linktr.ee/id.berbagikebaikan