ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Heboh! Pekerja di Jakarta diimbau agar work from home (WFH) pada Kamis (5/9/2024). Ada apa? Ternyata pada hari itu bakal digelar dua agenda besar yang berpotensi menimbulkan kepadatan lalu lintas, yakni misa akbar di kawasan Gelora Bung Karno (GBK) dan Indonesia Sustainability Forum (ISF) di Jakarta Convention Center (JCC).
Misa Akbar akan dipimpin
secara langsung oleh Paus Fransiskus dan dihadiri sekitar 90 ribu umat Katolik.
Pun sebagai agenda utama dan penutup rangkaian kunjungan Pemimpin Vatikan
tersebut di Indonesia. Sementara ISF bakal dihadiri oleh Presiden Jokowi, para
pemangku kebijakan, pakar, dan investor dari seluruh dunia sebanyak lima ribuan
peserta (kompas.com, 28/8/2024).
Kunjungan Paus Fransiskus ke negeri dengan populasi Muslim terbesar di
dunia ini tentu bukan tanpa maksud. Selain untuk memperkuat hubungan bilateral
antara Vatikan dan Indonesia, juga demi meneguhkan semangat toleransi beragama
di negeri ini. Pun diharapkan menjadi katalisator untuk memperdalam pemahaman,
menghargai perbedaan, dan membangun jembatan perdamaian antarkomunitas agama di
Indonesia.
Adapun Lafadz Nusantara Center mengajak semua pemeluk agama di luar Gereja Katolik Indonesia untuk menyambut baik dan menyukseskan agenda kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia (mediaindonesia.com, 30/8/2024). Sesuatu yang agak menggelitik, mengapa semua seakan berkewajiban untuk menyukseskan agenda penguatan toleransi beragama ini? Hingga para pekerja di tanggal 5 September 2024 diimbau untuk rela WFH?
Toleransi Sejati
Lagi-lagi demi toleransi. Isu ini nyaris didengungkan tiap hari. Bahkan
pemerintah merasa penting untuk mengemasnya dalam program moderasi beragama.
Yang disosialisasikan dari sekolah tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD)
sampai perguruan tinggi. Hingga ke kampung, desa, dan seterusnya. Ada Sekolah
Moderasi Beragama, Kampung Moderasi Beragama, Desa Moderasi Beragama, dan
Masjid Moderasi Beragama. Dan toleransi merupakan "ruh" program ini.
Sementara realitasnya hubungan antarumat beragama selama ini baik-baik
saja. Lantas mengapa terkesan ada masalah, hingga isu toleransi jor-joran
disebarluaskan? Dan kesannya lagi, umat Islam sebagai mayoritas
"dituduh" kurang bersikap toleran terhadap minoritas selama ini.
Bahkan muncul istilah penindasan mayoritas terhadap minoritas. Gegara isu-isu
seperti penggunaan hijab di sekolah, nyaringnya suara azan lewat TOA, dan sebagainya.
Proyek moderasi beragama pun ditengarai menyasar umat Islam. Buktinya?
Yang dimoderasi adalah ajaran Islam, berdalih ayat Qur'an dan hadis yang telah
diinterpretasi ala mereka. Bukan ajaran agama lainnya.
Padahal Islam sebagai agama paripurna telah mengajarkan umatnya agar
bersikap toleran terhadap pemeluk agama lain. Pun menjelaskan batas-batas
toleransi beragama. Merujuk pada Kamus Al-Munawwir, halaman 702, toleransi
(tasamuh) adalah sikap membiarkan (menghargai), lapang dada.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, "Lakum
dinukum waliyadin (Bagiku agamaku dan bagimu agamamu)" (QS. Al
Kafirun: 6). Sehingga praktik toleransi antarumat beragama dalam pandangan
Islam adalah sebagai berikut;
Pertama, toleransi tidak boleh
mengurangi keyakinan Islam satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya jalan
keselamatan di akhirat. Kedua, toleransi
tidak boleh mengurangi keyakinan bahwa penerapan syariah secara kaffah
akan memberikan rahmat bagi seluruh alam. Selain syariah akan menimbulkan fasad
(kerusakan).
Ketiga, toleransi tidak boleh
mengurangi semangat dakwah mengajak mereka masuk Islam. Keempat, toleransi
dilakukan dengan membiarkan mereka memeluk agama yang mereka yakini,
melaksanakan ibadah mereka, tidak menghina Tuhan mereka, tidak merusak tempat
ibadah mereka.
Kelima, Islam membolehkan
bermuamalah dengan non-Muslim (jual-beli, sewa-menyewa, ajar-mengajar dalam
sainstek), berbuat baik dan berlaku adil terhadap mereka. Ibnu Jarir Ath Thabari
menafsirkan QS. Al Mumtahanah: 8, bahwa berbuat baik dan adil di sini berlaku
kepada setiap pemeluk agama. Tidak boleh berlaku zalim terhadap non-Muslim.
Dengan demikian, toleransi dalam Islam itu menghormati bukan
berpartisipasi. Membiarkan, tidak ikut-ikutan. Bukan toleransi lompat pagar ala
moderasi beragama. Kebablasan. Seperti yang dipraktikkan selama ini, misalnya doa
lintas agama, menghadiri perayaan hari besar agama lain, buka puasa dan azan di
gereja, pemeluk agama lain mengikuti kirab upacara peringatan Paskah, dan
sejenisnya.
Toleransi Islam terhadap umat non-Islam telah ditetapkan dalam syariat
Islam secara rinci. Ayat Al-Qur'an banyak berbicara tentang kaum Yahudi,
Nasrani, Persia, Romawi, yang menjadi pedoman kaum Muslim dalam berhubungan
dengan dunia di luar Islam. Islam melarang keras berbuat zalim dan merampas hak-hak
non-Muslim.
![]() |
Ilustrasi seorang muslim harus mengikuti ajaran Al-Quran dalam bertoleransi. Foto: ID.berbagikebaikan/Canvapro |
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, "Allah
tiada melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari
negeri kalian. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil" (QS.
Al Mumtahanah: 8).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di (Tafsir Karim Ar Rahman, hlm.
819) menafsirkan ayat ini bahwa Allah tidak melarang kaum Muslim untuk berbuat
baik, menyambung silaturahmi, membalas kebaikan, berbuat adil kepada
orang-orang musyrik, baik dari keluarga sendiri maupun orang lain. Selama
mereka tidak memerangi dan tidak mengusir kaum Muslim.
Syariat Islam dengan tegas melarang membunuh orang kafir kecuali jika
mereka memerangi kaum Muslim. Dalam Islam orang kafir yang boleh dibunuh
hanyalah kafir harbi, yakni orang kafir yang memerangi kaum Muslim. Adapun
orang kafir selain mereka, yaitu orang kafir yang mendapat suaka atau ada
perjanjian dengan kaum Muslim seperti kafir dzimmi, kafir musta’man
dan kafir mu’ahad, dilarang keras untuk dibunuh. Jika melanggar,
ancamannya sangat keras.
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Siapa
saja yang membunuh seorang kafir dzimmi tidak akan mencium bau surga. Padahal
sungguh bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun” (HR. An Nasa’i).
Intinya, kafir dzimmi diberi kebebasan untuk melaksanakan ajaran
agamanya, khususnya yang berada di wilayah privat seperti ibadah. Namun,
toleransi ini bukan berarti membenarkan ajaran mereka atau mencampuradukkannya
dengan ajaran Islam.
Toleransi ala Islam juga telah diterapkan dalam kehidupan nyata kaum Muslim.
Hal ini nampak dari kebijakan khilafah islamiyah yang berlangsung selama 14
abad. Sangat banyak ilmuwan dan sejarawan dunia yang menuliskan aspek toleransi
tersebut.
Seorang orientalis Inggris, T.W. Arnold, menyatakan, “The treatment
of their Christian subjects by the Ottoman emperors—at least for two centuries
after their conquest of Greece—exhibits a toleration such as was at that time
quite unknown in the rest of Europe (Perlakuan terhadap warga Kristen oleh
pemerintahan Khilafah Turki Utsmani—selama kurang lebih dua abad setelah
penaklukan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya
tidak dikenal di daratan Eropa).”
Ia pun mencatat, keadilan khilafah islamiyah membuat warga Kristen
penduduk Syam lebih memilih hidup di bawah kekuasaan khilafah dibandingkan
dipimpin oleh Kaisar Romawi. Padahal Kaisar Romawi beragama Kristen (Arnold,
The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, hlm.
134).
Demikianlah konsep dan praktik toleransi ala Islam. Bila masih ada
tuduhan bahwa Islam itu antitoleransi, hal ini tidak sekadar ahistoris namun
juga sebuah penyesatan politik. Maka mengajari umat Islam bagaimana menjalankan
toleransi, ibarat mengajari ikan cara berenang. []
Kontributor:
Puspita Satyawati
(Pemimpin
Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Islam)
Kirimkan Wakaf untuk Membantu Sesama ke https://linktr.ee/id.berbagikebaikan