ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Ada
uang, ada barang. Enggak punya uang, ya enggak bisa beli barang.
Kalau uangnya sedikit, ya dapat barangnya "gitu doang." Ini era
kapitalisme, Bung! Yang semua hal diukur dengan duit, cuan, uang. Bila Anda
bukan kaum beruang, jangan kebanyakan gaya. Atau bergaul dengan bangsa
sosialita. Ini bakalan bikin Anda sengsara.
Ada harga, ada rupa. Pendidikan pun tak ada bedanya dengan barang. Bahkan disinyalir telah terjadi kapitalisasi pendidikan. Pendidikan jadi komoditas layaknya benda. Layak untuk diperjualbelikan sesuai kemampuan finansial konsumen.
Siapa
yang berduit, dia mampu "membeli" sekolah mahal yang biasanya lebih
berkualitas. Di Jogja misalnya. Biaya masuk sekolah dasar Islam favorit di Kota
Pelajar ini berkisar 20-30 juta. SPP perbulan 1,5-2 juta. Uang tahunan 6-10
juta. Biaya pendaftaran 200-an ribu, dan masih ada sekolah yang menarik biaya
untuk tes dan wawancara. Bagi kalangan elit (ekonomi sulit), cukup berpuas diri
sekolah di SD negeri.
Padahal
pendidikan adalah kebutuhan pokok secara komunal. Semestinya, baik yang kaya
maupun kaum papa, sama-sama berkesempatan menikmati pendidikan berkualitas.
Sama-sama berpeluang meningkatkan derajat kualitas hidup. Namun realitasnya,
bak jauh panggang dari api. Tetaplah pendidikan hanya milik yang kaya. Bagi
kaum papa, sekolah berkualitas hanya impian. Jauh dari jangkauan.
Tanggung
Jawab Negara
Pernah
mendengar komentar begini? "Mau menjadikan anak shalih kok susah
ya. Biayanya mahal. Coba lihat, sekolah-sekolah Islam terpadu harganya sudah
berkejut-kejut. Jutaan. Enggak ada beda dengan sekolah lainnya, terkesan matre
juga."
Kenapa
pendidikan semakin berkualitas, kian mahal pula harganya? Hingga memunculkan
kesenjangan di tengah masyarakat. Faktanya, sekolah yang dianggap berkualitas
itu kebanyakan swasta. Meski negeri juga ada sebenarnya.
Ketika
swasta mengelola pendidikan, bisa dipastikan bahwa sumber utama pendanaan
berasal dari orang tua siswa. Sementara biaya operasional sekolah itu sangat
tinggi. Pos terbesar untuk gaji guru, lalu sarana prasarana, dan lain
sebagainya. Dan untuk meraih kualitas,
butuh dana tak sedikit.
Apalagi
di era kapitalis saat ini. Apa-apa butuh duit. Jadilah biaya sekolah di swasta
lebih mahal. Ada sih yang harganya lebih murah atau terjangkau di kantong. Tapi
fasilitasnya tentu berbeda dengan yang membayar lebih mahal.
![]() |
Ilustrasi besarnya biaya yang harus dikeluarkan jika ingin kualitas pendidikan bagus. Foto: Indonesia Berbagi Kebaikan/Canvapro |
Maka
kalau dalam sistem Islam, pendidikan menjadi tanggung jawab negara untuk
menyelenggarakan. Sebagaimana kesehatan dan keamanan yang merupakan kebutuhan
pokok secara komunal, maka negaralah yang menjamin pemenuhannya.
Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda, "Imam
(khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas
pengurusan rakyatnya” (HR. Al Bukhari).
Jaminan ini diwujudkan dengan menyediakan
pendidikan gratis bagi rakyat. Pun wajib menyediakan fasilitas dan
infrastruktur pendidikan yang memadai seperti gedung sekolah, laboratorium,
balai penelitian, buku pelajaran, dan lain sebagainya. Negara juga wajib menyediakan
guru yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan
pegawai yang bekerja di kantor pendidikan.
Para Sahabat bersepakat mengenai kewajiban
memberikan ujrah (gaji) kepada tenaga pengajar di instansi pendidikan
negara khilafah di seluruh strata pendidikan. Khalifah Umar bin Khaththab ra.
pernah menggaji guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah sebanyak 15 dinar
setiap bulan. Gaji ini beliau ambil dari Baitul Mal.
Operasional
pendidikan butuh biaya sangat tinggi. Namun hal itu tidak jadi masalah. Seluruh
pembiayaan pendidikan di dalam negara khilafah diambil dari Baitul Mal, yakni
dari pos fai’ dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah. Jika
pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi maka negara tidak akan menarik
pungutan apa pun dari rakyat.
Demikianlah
pengelolaan pendidikan dalam pandangan Islam. Sebagai pelayan umat, penguasa memiliki
dua bentuk pertanggungjawaban. Secara horizontal, pada rakyat yang dilayani.
Secara vertikal, pada Allah Subhanahu Wa Ta'ala sebagai
Rabb yang memerintahkan untuk mengatur urusan rakyat dan memenuhi
kebutuhannya. Maka penguasa dalam Islam akan bertugas dengan sepenuh jiwa.
Masa
Keemasan Andalusia
Andalusia, di sinilah puncak peradaban Islam
pernah berada. Saat bangsa Eropa-Kristen masih buta huruf, umat Islam di
Andalusia justru telah menjadi kaum terdidik dan terpelajar. Bahkan tidak
sedikit yang menjadi ilmuwan prolifik dengan karya-karya besar dan bermutu
tinggi.
Ketika umat Islam di Andalusia mendirikan
Universitas Cordova, bangsa Eropa-Kristen baru terbuka mata akan pentingnya
ilmu pengetahuan. Mereka berdatangan ke universitas tersebut untuk menimba ilmu
pengetahuan dari ilmuwan dan intelektual Muslim. Mereka juga menerjemahkan
ilmu-ilmu pengetahuan Islam ke dalam bahasa Eropa.
Semangat keilmuan Eropa-Kristen inilah yang
kemudian melahirkan renaissance, kebangkitan intelektual dan
kultural Eropa-Kristen. Era renaissance menjadi tonggak
penting dan babak baru kemajuan peradaban modern di Eropa sekaligus menandai
berakhirnya periode klasik Islam.
Kemajuan paling
menonjol di Andalusia terlihat pada masa pemerintahan Abdurrahman I,
Abdurrahman III, dan Al Hakam II. Ketiganya memberikan kontribusi besar dalam
menata gerak kebangkitan kebudayaan Islam di Andalusia. Masa pemerintahan Abdurrahman
I sangat fenomenal ditandai dengan pembangunan besar-besaran di segala bidang.
Pembangunan istana dan Masjid Agung Al Hamra di Cordova adalah di antara proyek
besarnya. Selain itu, ia juga mendirikan gedung-gedung perguruan tinggi, institusi-institusi
pendidikan tingkat sekolah dasar dan menengah, serta membentuk lembaga-lembaga
kajian ilmiah.
Adapun Khalifah Al Hakam
II dikenal sebagai khalifah pecinta ilmu pengetahuan. Ia memperluas
perpustakaan di ibukota Cordova sehingga menjadi perpustakaan terbesar di Eropa
pada masanya dan abad berikutnya. Cara unik Al Hakam II untuk menambah koleksi
buku adalah dengan membeli naskah dan manuskrip dari para ilmuwan dan pengarang
dengan harga/imbalan yang sangat besar. Lebih unik lagi, di antara naskah yang
ia beli justru karangan penulis dari Baghdad, yaitu al-Aghani (20
jilid) karya Abu al-Faraj al-Ashfahani (897-966 M). Dia membeli naskah itu
seharga 1.000 dinar emas.
Selain itu, Khalifah Al Hakam memajukan
intelektual dengan mengundang para sarjana, cendekiawan, dan penulis
professional datang ke istana. Atas ilmu yang mereka berikan, Al Hakam
memberikan insentif, hadiah, atau imbalan lebih dari selayaknya. Ia pun
mencurahkan perhatian kepada dunia pendidikan dengan membangun puluhan sekolah
baru dan meningkatkan kualitas Universitas Cordova.
Demikian upaya penguasa Andalusia di masa kejayaan Islam dalam memajukan peradaban. Sesuatu yang hilang di era sekarang. Ketka pendidikan diabaikan. Kalah oleh pertunjukan hiburan. Atau ego orang yang duduk di kursi kekuasaan. Semoga masa kejayaan kaum Muslimin itu segera tiba. Aamiin.
Kontributor:
Puspita Satyawati
(Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Islam)
Kirimkan Wakaf Terbaik untuk Membantu Sesama ke https://linktr.ee/id.berbagikebaikan