ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM-"Terima kasih orang baik." Kalimat ini sering kita jumpai di unggahan media sosial. Biasanya sebagai ungkapan syukur karena telah diberi sesuatu atau ditolong oleh orang lain. Di tengah kehidupan modern yang cenderung loe-loe gue-gue (individualis), menemukan orang baik yang peduli sesama seolah makhluk langka.
Terlebih dalam penerapan sistem sekularisme
kapitalistik liberalistik saat ini yang menyeru manusia agar memisahkan agama
dari kehidupan, hingga cenderung bebas sekehendak hati dan menghargai segala
sesuatu hanya berdasarkan materi. Jika pun ada yang dianggap berbuat baik belum
tentu baik secara hakikat. Karena standar baik-buruk bagi penganut sekuler
adalah memberikan keuntungan (manfaat materiil) ataukah tidak? Kalau
menghasilkan manfaat, itu baik. Pun sebaliknya.
Atas asas ini, selama terdapat manfaat (keuntungan)
maka sesuatu itu layak dimiliki. Dikejar dengan berbagai cara. Seorang politisi
yang memandang jabatan sebagai kebaikan karena menjadikannya sosok terpandang
dan dihormati segala kalangan, rela bertransformasi menjadi sosok Machiavellis
yang menghalalkan segala cara demi meraihnya. Tak peduli halal-haram. Yang
utama kursi kuasa teraih. Selanjutnya, dia berusaha mempertahankan, meluaskannya
atau menurunkan pada anak, menantu, dan cucu.
Sementara bila kembali pada ajaran Ilahi, standar
baik-buruk tergantung pada cara pandang Allah Subhanahu Wa
Ta'ala sebagai Sang Pencipta. Islam datang
dan meletakkan standar yang tidak mungkin tersisipi kesalahan, baik dari depan
atau belakang. Menjamin teraihnya kebahagiaan, inilah standar halal dan haram.
Standar tersebut memberi arti bahwa perbuatan yang
diperintahkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala atau
dibolehkan oleh-Nya merupakan perbuatan baik (hasan). Sedangkan
perbuatan yang diharamkan oleh-Nya itu perbuatan jelek (qabih). Sehingga
tidak ada perselisihan antarmanusia karena standarnya satu dan tetap untuk
setiap tempat dan masa. Apa yang baik seribu tahun sebelumnya akan tetap baik
pada hari ini. Bakal terus baik seribu tahun ke depan atau bahkan jutaan tahun
mendatang. Hingga Allah Subhanahu Wa
Ta'ala berkenan mengakhiri seluruh kehidupan
dunia nanti.
Ilustrasi "orang baik" yang semakin langka dalam kehidupan sekuler. Foto: ASF/Canvapro
Amal
Terbaik
Sungguh
merugi orang yang merasa telah berbuat banyak dan menganggapnya sebagai
kebaikan, namun ternyata tak bernilai atau sia-sia di hadapan-Nya. Lantas,
bagaimana agar amal baik terwujud hingga Allah Subhanahu Wa Ta'ala berkenan membalasnya dengan
pahala dan surga-Nya?
Allah
Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, “(Allah) yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya” (QS. Al Mulk: 2).
Ketika
menjelaskan makna “Siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya,” Imam Al
Fudhail bin ‘Iyadh (187 H) menyatakan, “Amal terbaik adalah yang paling ikhlas
dan paling benar.” Lalu ditanyakan kepadanya, “Wahai Abu Ali, bagaimana yang
paling ikhlas dan paling benar itu?”
Beliau
menjawab, “Sesungguhnya suatu amal, jika benar tetapi tidak ikhlas, tidak akan
diterima. Jika ikhlas tetapi tidak benar, tidak akan diterima pula, hingga amal
itu menjadi ikhlas dan benar. Ikhlas adalah semata-mata amal tersebut
dikerjakan untuk Allah. Benar adalah sesuai dengan sunah Rasulullah” (Fawzi
Sinuqart, At Taqarrub Ila Allah, hlm 3).
Ikhlas
itu amalan hati yang tidak terlihat oleh mata. Namun ikhlas dapat dideteksi
dari ciri-ciri amalan lahiriah pelakunya. Di antara ciri keikhlasan adalah;
Pertama,
menerima kebenaran walau datang dari orang yang lebih rendah tingkat keilmuannya.
Kalau lebih rendah saja diterima, mestinya kebenaran dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Zat yang Maha Mengetahui
lebih diterima lagi. Menolak kebenaran hukum Allah siapa pun yang
menyampaikannya, menunjukkan tidak adanya keikhlasan. Bahkan inilah kesombongan.
Kedua,
tidak cepat memberi fatwa. Ia tidak malu mengatakan, “Saya tidak tahu” ketika
memang ia tidak tahu. Karena ia sadar bahwa menjawab sesuatu bukan untuk
meningkatkan nilai dirinya, tetapi semata-mata demi menjelaskan hukum-Nya.
Ketiga,
mempersembahkan kinerja terbaik untuk-Nya. Kepada majikan yang memberi gaji
tidak seberapa saja berupaya kerja maksimal hingga lembur. Lalu pantaskah
seorang hamba hanya memberi sisa-sisa kehidupan untuk Zat yang menguasai,
memberi rezeki, dan menentukan hidup-mati? Sementara kehidupan ini adalah
pemberian-Nya.
Walaupun
ikhlas sangat penting, tetapi tidak cukup untuk membuat amal terbaik. Hal kedua
yang harus dipenuhi adalah kesesuaian amal dengan syariat Allah Taala.
Seorang ayah yang tulus, jujur, dan disiplin dalam bekerja, tidak ada nilainya
jika pekerjaannya haram. Sikap lemah lembut, sederhana, berani, yang dimiliki
seorang pemimpin tidaklah berguna kalau ia memimpin dengan aturan yang
menyalahi hukum-Nya.
Dengan
demikian, syarat ahsanu amalan (sebaik-baik perbuatan) adalah pertama,
niatnya ikhlas. Ditujukan semata-mata demi meraih ridha-Nya. Kedua, cara
melakukannya benar (shawab). Sesuai aturan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan titah Rasul-Nya. Keduanya
harus terwujud dalam satu perbuatan. Tak bisa hanya niatnya ikhlas tapi caranya
tidak benar. Pun bukanlah amal baik bila caranya sudah benar tapi niatnya tidak
ikhlas.
Seorang mukmin menyandarkan semua perbuatannya pada aturan Allah Taala. Foto: ASF/Canvapro
Motivasi
Tertinggi
Setelah
kita memahami syarat amal terbaik adalah ikhlas dan benar, maka jadikan ridha
ilahi sebagai motivasi tertinggi dalam setiap langkah. Alangkah indah bila amal
yang kita tuju hanya pada Dia. Allah saja, Allah lagi, Allah terus. Allah,
Allah, dan Allah.
Saat
pandangan hanya tertuju pada Allah Ta'ala, kita tak butuh sanjungan
manusia. Pun tak peduli celaan sesama insan. Dipuji tak bikin terbang melayang.
Dicaci tak membuat tumbang.
Demikian
pula, saat ridha ilahi yang dicari, kita juga akan terlepas dari bayang-bayang
kecewa. Ketika hasil yang didapat tidak sesuai ekspetasi atau tak mendapat
balasan seimbang dari manusia lainnya, ia tak kecewa atau frustasi. Yang utama tekad
kuat demi meraih cinta-Nya dan menjalani sesuai titah Ilahi.
Realitasnya,
banyak manusia kecewa, sakit hati, bahkan depresi karena terlalu berharap pada
manusia. Sementara sebagai sesama hamba dan makhluk Allah, manusia diliputi
kelemahan dan keburukan. Adakalanya tak mampu memenuhi keinginan dan harapan
kita. Maka, gantungkan asa hanya pada-Nya. Satu-satunya Zat yang bakal
mengabulkan semua permintaan kita. Yang tak pernah mengecewakan setiap pinta
sang hamba.
Dan
sejatinya, bukankah setiap kebaikan yang dilakukan akan kembali pada diri sendiri?
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,
"Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu telah berbuat baik
untuk dirimu sendiri. Jika kamu berbuat jahat, (kerugian dari kejahatan) itu
kembali kepada dirimu sendiri" (QS. Al Isra: 7).
Kontributor:
Puspita Satyawati
(Pemimpin
Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Islam)
Terus berbuat baik untuk mereka yang membutuhkan bantuan kita ke https://linktr.ee/id.berbagikebaikan