Monday, September 9, 2024

Mukmin Sejati: Dipuji Tak Melayang, Dicaci Tak Tumbang

Berbuat baik dalam Islam

 

ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM-"Terima kasih orang baik." Kalimat ini sering kita jumpai di unggahan media sosial. Biasanya sebagai ungkapan syukur karena telah diberi sesuatu atau ditolong oleh orang lain. Di tengah kehidupan modern yang cenderung loe-loe gue-gue (individualis), menemukan orang baik yang peduli sesama seolah makhluk langka.

Terlebih dalam penerapan sistem sekularisme kapitalistik liberalistik saat ini yang menyeru manusia agar memisahkan agama dari kehidupan, hingga cenderung bebas sekehendak hati dan menghargai segala sesuatu hanya berdasarkan materi. Jika pun ada yang dianggap berbuat baik belum tentu baik secara hakikat. Karena standar baik-buruk bagi penganut sekuler adalah memberikan keuntungan (manfaat materiil) ataukah tidak? Kalau menghasilkan manfaat, itu baik. Pun sebaliknya.

Atas asas ini, selama terdapat manfaat (keuntungan) maka sesuatu itu layak dimiliki. Dikejar dengan berbagai cara. Seorang politisi yang memandang jabatan sebagai kebaikan karena menjadikannya sosok terpandang dan dihormati segala kalangan, rela bertransformasi menjadi sosok Machiavellis yang menghalalkan segala cara demi meraihnya. Tak peduli halal-haram. Yang utama kursi kuasa teraih. Selanjutnya, dia berusaha mempertahankan, meluaskannya atau menurunkan pada anak, menantu, dan cucu.

Sementara bila kembali pada ajaran Ilahi, standar baik-buruk tergantung pada cara pandang Allah Subhanahu Wa Ta'ala sebagai Sang Pencipta. Islam datang dan meletakkan standar yang tidak mungkin tersisipi kesalahan, baik dari depan atau belakang. Menjamin teraihnya kebahagiaan, inilah standar halal dan haram.

Standar tersebut memberi arti bahwa perbuatan yang diperintahkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala atau dibolehkan oleh-Nya merupakan perbuatan baik (hasan). Sedangkan perbuatan yang diharamkan oleh-Nya itu perbuatan jelek (qabih). Sehingga tidak ada perselisihan antarmanusia karena standarnya satu dan tetap untuk setiap tempat dan masa. Apa yang baik seribu tahun sebelumnya akan tetap baik pada hari ini. Bakal terus baik seribu tahun ke depan atau bahkan jutaan tahun mendatang. Hingga Allah Subhanahu Wa Ta'ala berkenan mengakhiri seluruh kehidupan dunia nanti.

 

Orang baik dalam persfektif Islam
Ilustrasi "orang baik" yang semakin langka dalam kehidupan sekuler. Foto: ASF/Canvapro

Amal Terbaik

Sungguh merugi orang yang merasa telah berbuat banyak dan menganggapnya sebagai kebaikan, namun ternyata tak bernilai atau sia-sia di hadapan-Nya. Lantas, bagaimana agar amal baik terwujud hingga Allah Subhanahu Wa Ta'ala berkenan membalasnya dengan pahala dan surga-Nya?

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, “(Allah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (QS. Al Mulk: 2).

Ketika menjelaskan makna “Siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya,” Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh (187 H) menyatakan, “Amal terbaik adalah yang paling ikhlas dan paling benar.” Lalu ditanyakan kepadanya, “Wahai Abu Ali, bagaimana yang paling ikhlas dan paling benar itu?”

Beliau menjawab, “Sesungguhnya suatu amal, jika benar tetapi tidak ikhlas, tidak akan diterima. Jika ikhlas tetapi tidak benar, tidak akan diterima pula, hingga amal itu menjadi ikhlas dan benar. Ikhlas adalah semata-mata amal tersebut dikerjakan untuk Allah. Benar adalah sesuai dengan sunah Rasulullah” (Fawzi Sinuqart, At Taqarrub Ila Allah, hlm 3).

Ikhlas itu amalan hati yang tidak terlihat oleh mata. Namun ikhlas dapat dideteksi dari ciri-ciri amalan lahiriah pelakunya. Di antara ciri keikhlasan adalah;

Pertama, menerima kebenaran walau datang dari orang yang lebih rendah tingkat keilmuannya. Kalau lebih rendah saja diterima, mestinya kebenaran dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Zat yang Maha Mengetahui lebih diterima lagi. Menolak kebenaran hukum Allah siapa pun yang menyampaikannya, menunjukkan tidak adanya keikhlasan. Bahkan inilah kesombongan.

Kedua, tidak cepat memberi fatwa. Ia tidak malu mengatakan, “Saya tidak tahu” ketika memang ia tidak tahu. Karena ia sadar bahwa menjawab sesuatu bukan untuk meningkatkan nilai dirinya, tetapi semata-mata demi menjelaskan hukum-Nya.

Ketiga, mempersembahkan kinerja terbaik untuk-Nya. Kepada majikan yang memberi gaji tidak seberapa saja berupaya kerja maksimal hingga lembur. Lalu pantaskah seorang hamba hanya memberi sisa-sisa kehidupan untuk Zat yang menguasai, memberi rezeki, dan menentukan hidup-mati? Sementara kehidupan ini adalah pemberian-Nya.

Walaupun ikhlas sangat penting, tetapi tidak cukup untuk membuat amal terbaik. Hal kedua yang harus dipenuhi adalah kesesuaian amal dengan syariat Allah Taala. Seorang ayah yang tulus, jujur, dan disiplin dalam bekerja, tidak ada nilainya jika pekerjaannya haram. Sikap lemah lembut, sederhana, berani, yang dimiliki seorang pemimpin tidaklah berguna kalau ia memimpin dengan aturan yang menyalahi hukum-Nya.

Dengan demikian, syarat ahsanu amalan (sebaik-baik perbuatan) adalah pertama, niatnya ikhlas. Ditujukan semata-mata demi meraih ridha-Nya. Kedua, cara melakukannya benar (shawab). Sesuai aturan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan titah Rasul-Nya. Keduanya harus terwujud dalam satu perbuatan. Tak bisa hanya niatnya ikhlas tapi caranya tidak benar. Pun bukanlah amal baik bila caranya sudah benar tapi niatnya tidak ikhlas.

 

Baik-buruk dalam Islam
Seorang mukmin menyandarkan semua perbuatannya pada aturan Allah Taala. Foto: ASF/Canvapro

Motivasi Tertinggi

Setelah kita memahami syarat amal terbaik adalah ikhlas dan benar, maka jadikan ridha ilahi sebagai motivasi tertinggi dalam setiap langkah. Alangkah indah bila amal yang kita tuju hanya pada Dia. Allah saja, Allah lagi, Allah terus. Allah, Allah, dan Allah.

Saat pandangan hanya tertuju pada Allah Ta'ala, kita tak butuh sanjungan manusia. Pun tak peduli celaan sesama insan. Dipuji tak bikin terbang melayang. Dicaci tak membuat tumbang.

Demikian pula, saat ridha ilahi yang dicari, kita juga akan terlepas dari bayang-bayang kecewa. Ketika hasil yang didapat tidak sesuai ekspetasi atau tak mendapat balasan seimbang dari manusia lainnya, ia tak kecewa atau frustasi. Yang utama tekad kuat demi meraih cinta-Nya dan menjalani sesuai titah Ilahi.

Realitasnya, banyak manusia kecewa, sakit hati, bahkan depresi karena terlalu berharap pada manusia. Sementara sebagai sesama hamba dan makhluk Allah, manusia diliputi kelemahan dan keburukan. Adakalanya tak mampu memenuhi keinginan dan harapan kita. Maka, gantungkan asa hanya pada-Nya. Satu-satunya Zat yang bakal mengabulkan semua permintaan kita. Yang tak pernah mengecewakan setiap pinta sang hamba.

Dan sejatinya, bukankah setiap kebaikan yang dilakukan akan kembali pada diri sendiri? Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, "Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu telah berbuat baik untuk dirimu sendiri. Jika kamu berbuat jahat, (kerugian dari kejahatan) itu kembali kepada dirimu sendiri" (QS. Al Isra: 7).

 

 

 

Kontributor: Puspita Satyawati

(Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Islam)


Terus berbuat baik untuk mereka yang membutuhkan bantuan kita ke  https://linktr.ee/id.berbagikebaikan