ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- "Uang selalu datang ke rekeningku. Puluhan, ratusan juta selalu. Kaya raya, sehat, bahagia diriku. Hati penuh rasa syukur." Demikian penggalan lirik lagu terbaru Aviwkila berjudul “Mantra Uang.” Siapa, sih, yang enggak senang uang? Berfungsi sebagai alat tukar barang, dengan uang manusia bisa membeli banyak hal demi memenuhi kebutuhannya.
Meski
demikian, bagi seorang Muslim uang bukanlah tujuan hidup, tapi hanyalah salah
satu sarana kehidupan. Bila tujuan hidup adalah demi beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, maka uang adalah sarana
dalam rangka beribadah. Menjalankan kewajiban dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala atau
demi mendapatkan keutamaan dari-Nya. Yaitu untuk menafkahi keluarga, membayar
zakat, sedekah, infak, menolong orang yang membutuhkan, dan sebagainya.
Seiring
kemajuan teknologi, kini cara penggunaan uang juga berkembang. Bila dulu orang
biasa membayar dengan uang tunai. Sekarang manusia modern lebih memilih cashless.
Bayangkan, hanya dari smartphone kita bisa melakukan banyak hal seperti
membayar ojek online, belanja online, hingga mengirim uang tanpa
repot ke bank.
Terjadi
perubahan kebiasaan masyarakat pada proses transaksi dari tunai menjadi
nontunai atau dalam bentuk digital. Inilah cashless society (masyarakat
tanpa uang tunai). Cashless society kian populer beberapa tahun terakhir
dan begitu diminati masyarakat karena lebih efisien, praktis, cepat, serta
mudah. Tak hanya itu. Banyaknya e-money, dompet digital dengan penawaran
menarik membuat masyarakat tidak perlu repot lagi membawa uang tunai dalam
jumlah banyak ketika berpergian.Ilustrasi pembayaran menggunakan e-money. Foto: ASF/Canvapro
Mata
Uang di Masa Jahiliyah hingga Islam Datang
Dari
fenomena cashless di waktu sekarang, penulis akan mengajak untuk melihat
keberadaan mata uang di masa lampau. Pada masa Arab jahiliyah, orang bertransaksi menggunakan
beberapa macam timbangan selain Dirham Baghli dan Dirham Thabari yaitu Rithl,
Uqiyah, Nishsh (Nasysy), Nuwah, Daniq, Qirath, dan Habbah.
Masyarakat Arab menggunakan uang
dinar dan dirham berdasarkan timbangannya, bukan bilangannya. Karena uang-uang
tersebut tidak sama timbangannya. Pun mereka tidak membedakan antara uang dicetak
(madhrub),
dicap (masbuk), maupun dengan yang masih butiran (tibr).
Semua itu digunakan sebagai uang karena merupakan emas atau perak, dan tidak
harus membuatnya dalam bentuk khusus sebagai uang (resmi).
Ketika Islam datang, Rasulullah Subhanahu Wa
Ta'ala mengakui sah uang yang berlaku
sebelumnya. Pun membiarkan sistem barter dan pertukaran dengan barang komoditas
tertentu yang diperlakukan sebagai uang (nuqud sil’iyah) seperti gandum, kacang
sya’ir dan kurma seperti sebelumnya. Nabi Subhanahu Wa
Ta'ala bersabda, “(Jual beli) emas
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir,
kurma dengan kurma, dan garam dengan garam yang (dilakukan antara) satu jenis
(disyaratkan harus) sama (beratnya, dan dengan cara) tangan ke tangan. Apabila
(yang diperjualbelikan itu) berbeda jenis, lakukanlah jual beli itu
sekehendakmu bila dengan cara tangan ke tangan” (HR. Muslim dari ‘Ubadah
bin Al Shamit).
Dengan demikian, uang yang digunakan oleh umat Islam pada masa
Nabi Subhanahu Wa Ta'ala
adalah Dirham Perak Persia dan Dinar Emas Romawi dalam bentuk aslinya, tanpa pengubahan
atau pemberian tanda tertentu. Menurut Ibnul Qayyim (I’lamul Muwaqqi’in Ibn
al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, vol.2/hal144), Nabi Subhanahu Wa
Ta'ala tidak pernah membuat uang khusus
untuk umat Islam. Belum ada apa yang disebut dengan “uang Islam.” Dan baru
dibuat pada masa berikutnya.
Menurut para sejarawan, penerbit Dirham dan Dinar pertama kali untuk
diberlakukan di negara Islam adalah Khalifah Bani Umayah Abdul Malik bin Marwan
(74 H). Sebelum tahun itu, tidak pernah didapatkan baik dalam buku hadis maupun
sirah
nabawiyah keterangan tentang Dinar Islam.
![]() |
Koin uang pertama masa Daulah Umayyah. Foto : Via Middle East Eye |
Kebijakan Nabi Subhanahu Wa Ta'ala
tidak menerbitkan mata uang tertentu, diduga karena sibuk dakwah dan jihad,
juga merupakan siyasah syar’iyah (politik hukum
Islam). Sebab, andai Nabi memerintahkan agar mata uang sebelumnya tidak dipakai
dan menggantinya dengan mata uang Islam, tentu mata uang Islam tersebut tidak
akan diterima oleh masyarakat di luar wilayah Islam sehingga umat Islam akan mengalami
kesulitan. Orang yang pergi ke Syria atau ke Yaman misalnya, tidak bisa mempertukarkan
mata uang Islam dan boleh jadi tidak ada pelaku transaksi menggunakannya.
Meskipun Nabi Subhanahu Wa Ta'ala
tidak pernah membuat uang tertentu untuk umat Islam, mayoritas ulama
berpendapat bahwa emas dan perak adalah mata uang islami (naqd syar’i)
bagi negara Islam. Keduanya adalah nilai atau harga (tsaman)
suatu barang. Bahkan pada masa lalu, bila disebutkan kata nuqud (jamak
dari naqd, yakni mata uang) atau atsman (jamak
dari tsaman, yakni nilai atau harga) maka yang dimaksud adalah
emas dan perak, sekalipun belum dicetak.
Mata Uang di Masa Kekhilafahan
Pada masa Khalifah Abu Bakar, uang yang berlaku pada masa Nabi Subhanahu Wa
Ta'ala tetap diberlakukan. Karena perhatian
khalifah terfokus pada penataan sendi-sendi pemerintahan dan memerangi orang
murtad. Selai karena masa pemerintahannya yang sangat singkat.
Khalifah Umar bin Khattab pada masa awal pemerintahannya tetap
memberlakukan sistem sebagaimana masa Abu Bakar. Barulah pada tahun 18 H (tahun
keenam dari pemerintahannya), ia memasukkan beberapa kata Arab pada uang Persia
dan Romawi yang beredar. Ia membubuhkan namanya pada Dirham dan menuliskan kata
islami seperti “Bismillah,” “Alhamdulillah,” “Bismi Rabbi,” Muhammad Rasulullah,”
dan sebagainya.
Namun bentuk uang masih sama dengan bentuk aslinya sebagai uang
asing yang memuat simbol non-Islam. Sebelum itu, Umar terpikir untuk membuat
dirham dari kulit unta namun dibatalkan karena ada masukan bisa menyebabkan
unta habis. Tindakan Khalifah Umar tersebut merupakan langkah pertama dalam pembuatan
uang khusus bagi negara Islam.
Pada masa Khalifah Utsman dan ‘Ali, kebijakan pembuatan uang
masih sama dengan Umar. Namun Utsman membubuhkan kata “Allahu Akbar” pada uang
yang berlaku.
Adapun pada era Kekhilafahan Bani Umayyah, pembuatan uang tetap
mengikuti jejak para pendahulu yaitu memberlakukan mata uang Sasani dan
Byzantin dengan membubuhi beberapa simbol Islam seperti nama khalifah, dan
membiarkan simbol non-Islam pada uang tersebut. Selain khalifah, para gubernur
dan pimpinan di daerah pun membuat uang khusus bagi wilayah masing-masing.
Abdul Malik bin Marwan (74-75 H) membuat dinar emas dalam jumlah
terbatas. Al Hajjaj pada akhir tahun 75 H membuat dirham sendiri yaitu Dirham
Baghli. Abdullah bin Zubair juga membuat dirham sendiri dan membubuhkan namanya
(Abdullah Amir Al Mu’minin). Pun saudaranya Mush’ab bin Zubair ketika menjadi Gubernur
Irak membuat dirham khusus (Lihat Ibnu Khaldun, 463 dan Al Maqrizi, 16-19).
Akhirnya Abdul Malik bin Marwan melakukan unifikasi mata uang di
seluruh wilayah. Selain itu, melarang penggunaan mata uang non-Islam dan memerintahkan
pembuatan uang Islam oleh institusi pemerintah. Abdul Malik membuat Dirham
perak islami. Salah satu sisinya ditulis surah Al Ikhlas dan pada sisi lainnya
ditulis simbol tauhid. Beratnya enam Daniq. Ia juga membuat dinar perak islami
yang timbangannya satu mitsqal.
![]() |
Uang kertas pada masa Usmaniyah. Foto : Trt.com |
Dengan kebijakan tersebut umat Islam memiliki uang sendiri,
yaitu uang yang dibubuhi tulisan islami dan meninggalkan mata uang asing; Dinar
Byzantin dan Dirham Persia. Kebijakan ini dilanjutkan oleh pemerintah Islam
sesudahnya. Walau terdapat perbedaan dari sisi kualitas bahan, timbangan,
bentuk, dan tulisan. Kondisi demikian terus berlangsung hingga wilayah-wilayah
terlepas dari Daulah Utsmaniyah dan menjadi wilayah kekuasaan koloni. Pada saat
itu mulailah uang kertas berlaku di hampir semua wilayah Islam. []
Kontributor:
Puspita Satyawati
(Pemimpin Redaksi Muslimah
Inspiratif, Narasumber Kajian Islam)