Tuesday, September 10, 2024

Mata Uang dari Masa Jahiliyah, Kenabian, hingga Kekhilafahan

Sejarah mata uang dari masa jahiliyah, kenabian, hingga kekhilafahan

 ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- "Uang selalu datang ke rekeningku. Puluhan, ratusan juta selalu. Kaya raya, sehat, bahagia diriku. Hati penuh rasa syukur." Demikian penggalan lirik lagu terbaru Aviwkila berjudul “Mantra Uang.” Siapa, sih, yang enggak senang uang? Berfungsi sebagai alat tukar barang, dengan uang manusia bisa membeli banyak hal demi memenuhi kebutuhannya.

Meski demikian, bagi seorang Muslim uang bukanlah tujuan hidup, tapi hanyalah salah satu sarana kehidupan. Bila tujuan hidup adalah demi beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, maka uang adalah sarana dalam rangka beribadah. Menjalankan kewajiban dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala atau demi mendapatkan keutamaan dari-Nya. Yaitu untuk menafkahi keluarga, membayar zakat, sedekah, infak, menolong orang yang membutuhkan, dan sebagainya.

Seiring kemajuan teknologi, kini cara penggunaan uang juga berkembang. Bila dulu orang biasa membayar dengan uang tunai. Sekarang manusia modern lebih memilih cashless. Bayangkan, hanya dari smartphone kita bisa melakukan banyak hal seperti membayar ojek online, belanja online, hingga mengirim uang tanpa repot ke bank.

Terjadi perubahan kebiasaan masyarakat pada proses transaksi dari tunai menjadi nontunai atau dalam bentuk digital. Inilah cashless society (masyarakat tanpa uang tunai). Cashless society kian populer beberapa tahun terakhir dan begitu diminati masyarakat karena lebih efisien, praktis, cepat, serta mudah. Tak hanya itu. Banyaknya e-money, dompet digital dengan penawaran menarik membuat masyarakat tidak perlu repot lagi membawa uang tunai dalam jumlah banyak ketika berpergian.

Trend cashless
Ilustrasi pembayaran menggunakan e-money. Foto: ASF/Canvapro

Mata Uang di Masa Jahiliyah hingga Islam Datang

Dari fenomena cashless di waktu sekarang, penulis akan mengajak untuk melihat keberadaan mata uang di masa lampau. Pada masa Arab jahiliyah, orang bertransaksi menggunakan beberapa macam timbangan selain Dirham Baghli dan Dirham Thabari yaitu Rithl, Uqiyah, Nishsh (Nasysy), Nuwah, Daniq, Qirath, dan Habbah.

Masyarakat Arab menggunakan uang dinar dan dirham berdasarkan timbangannya, bukan bilangannya. Karena uang-uang tersebut tidak sama timbangannya. Pun mereka tidak membedakan antara uang dicetak (madhrub), dicap (masbuk), maupun dengan yang masih butiran (tibr). Semua itu digunakan sebagai uang karena merupakan emas atau perak, dan tidak harus membuatnya dalam bentuk khusus sebagai uang (resmi).

Ketika Islam datang, Rasulullah Subhanahu Wa Ta'ala mengakui sah uang yang berlaku sebelumnya. Pun membiarkan sistem barter dan pertukaran dengan barang komoditas tertentu yang diperlakukan sebagai uang (nuqud sil’iyah) seperti gandum, kacang sya’ir dan kurma seperti sebelumnya. Nabi Subhanahu Wa Ta'ala bersabda, “(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam yang (dilakukan antara) satu jenis (disyaratkan harus) sama (beratnya, dan dengan cara) tangan ke tangan. Apabila (yang diperjualbelikan itu) berbeda jenis, lakukanlah jual beli itu sekehendakmu bila dengan cara tangan ke tangan” (HR. Muslim dari ‘Ubadah bin Al Shamit).

Dengan demikian, uang yang digunakan oleh umat Islam pada masa Nabi Subhanahu Wa Ta'ala adalah Dirham Perak Persia dan Dinar Emas Romawi dalam bentuk aslinya, tanpa pengubahan atau pemberian tanda tertentu. Menurut Ibnul Qayyim (I’lamul Muwaqqi’in Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, vol.2/hal144), Nabi Subhanahu Wa Ta'ala tidak pernah membuat uang khusus untuk umat Islam. Belum ada apa yang disebut dengan “uang Islam.” Dan baru dibuat pada masa berikutnya.

Menurut para sejarawan, penerbit Dirham dan Dinar pertama kali untuk diberlakukan di negara Islam adalah Khalifah Bani Umayah Abdul Malik bin Marwan (74 H). Sebelum tahun itu, tidak pernah didapatkan baik dalam buku hadis maupun sirah nabawiyah keterangan tentang Dinar Islam.

Koin uang pertama masa Umayyah
Koin uang pertama masa Daulah Umayyah. Foto : Via Middle East Eye

Kebijakan Nabi Subhanahu Wa Ta'ala tidak menerbitkan mata uang tertentu, diduga karena sibuk dakwah dan jihad, juga merupakan siyasah syar’iyah (politik hukum Islam). Sebab, andai Nabi memerintahkan agar mata uang sebelumnya tidak dipakai dan menggantinya dengan mata uang Islam, tentu mata uang Islam tersebut tidak akan diterima oleh masyarakat di luar wilayah Islam sehingga umat Islam akan mengalami kesulitan. Orang yang pergi ke Syria atau ke Yaman misalnya, tidak bisa mempertukarkan mata uang Islam dan boleh jadi tidak ada pelaku transaksi menggunakannya.

Meskipun Nabi Subhanahu Wa Ta'ala tidak pernah membuat uang tertentu untuk umat Islam, mayoritas ulama berpendapat bahwa emas dan perak adalah mata uang islami (naqd syar’i) bagi negara Islam. Keduanya adalah nilai atau harga (tsaman) suatu barang. Bahkan pada masa lalu, bila disebutkan kata nuqud (jamak dari naqd, yakni mata uang) atau atsman (jamak dari tsaman, yakni nilai atau harga) maka yang dimaksud adalah emas dan perak, sekalipun belum dicetak.

 

Mata Uang di Masa Kekhilafahan

Pada masa Khalifah Abu Bakar, uang yang berlaku pada masa Nabi Subhanahu Wa Ta'ala tetap diberlakukan. Karena perhatian khalifah terfokus pada penataan sendi-sendi pemerintahan dan memerangi orang murtad. Selai karena masa pemerintahannya yang sangat singkat.

Khalifah Umar bin Khattab pada masa awal pemerintahannya tetap memberlakukan sistem sebagaimana masa Abu Bakar. Barulah pada tahun 18 H (tahun keenam dari pemerintahannya), ia memasukkan beberapa kata Arab pada uang Persia dan Romawi yang beredar. Ia membubuhkan namanya pada Dirham dan menuliskan kata islami seperti “Bismillah,” “Alhamdulillah,” “Bismi Rabbi,” Muhammad Rasulullah,” dan sebagainya.

Namun bentuk uang masih sama dengan bentuk aslinya sebagai uang asing yang memuat simbol non-Islam. Sebelum itu, Umar terpikir untuk membuat dirham dari kulit unta namun dibatalkan karena ada masukan bisa menyebabkan unta habis. Tindakan Khalifah Umar tersebut merupakan langkah pertama dalam pembuatan uang khusus bagi negara Islam.

Pada masa Khalifah Utsman dan ‘Ali, kebijakan pembuatan uang masih sama dengan Umar. Namun Utsman membubuhkan kata “Allahu Akbar” pada uang yang berlaku.

Adapun pada era Kekhilafahan Bani Umayyah, pembuatan uang tetap mengikuti jejak para pendahulu yaitu memberlakukan mata uang Sasani dan Byzantin dengan membubuhi beberapa simbol Islam seperti nama khalifah, dan membiarkan simbol non-Islam pada uang tersebut. Selain khalifah, para gubernur dan pimpinan di daerah pun membuat uang khusus bagi wilayah masing-masing.

Abdul Malik bin Marwan (74-75 H) membuat dinar emas dalam jumlah terbatas. Al Hajjaj pada akhir tahun 75 H membuat dirham sendiri yaitu Dirham Baghli. Abdullah bin Zubair juga membuat dirham sendiri dan membubuhkan namanya (Abdullah Amir Al Mu’minin). Pun saudaranya Mush’ab bin Zubair ketika menjadi Gubernur Irak membuat dirham khusus (Lihat Ibnu Khaldun, 463 dan Al Maqrizi, 16-19).

Akhirnya Abdul Malik bin Marwan melakukan unifikasi mata uang di seluruh wilayah. Selain itu, melarang penggunaan mata uang non-Islam dan memerintahkan pembuatan uang Islam oleh institusi pemerintah. Abdul Malik membuat Dirham perak islami. Salah satu sisinya ditulis surah Al Ikhlas dan pada sisi lainnya ditulis simbol tauhid. Beratnya enam Daniq. Ia juga membuat dinar perak islami yang timbangannya satu mitsqal.

Uang kertas masa Usmani
Uang kertas pada masa Usmaniyah. Foto : Trt.com

Dengan kebijakan tersebut umat Islam memiliki uang sendiri, yaitu uang yang dibubuhi tulisan islami dan meninggalkan mata uang asing; Dinar Byzantin dan Dirham Persia. Kebijakan ini dilanjutkan oleh pemerintah Islam sesudahnya. Walau terdapat perbedaan dari sisi kualitas bahan, timbangan, bentuk, dan tulisan. Kondisi demikian terus berlangsung hingga wilayah-wilayah terlepas dari Daulah Utsmaniyah dan menjadi wilayah kekuasaan koloni. Pada saat itu mulailah uang kertas berlaku di hampir semua wilayah Islam. []

 

 

Kontributor:

Puspita Satyawati

(Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Islam)