Tuesday, September 3, 2024

Kedai Kopi: Tak Sekadar untuk Nongki-Nongki

Kopi, Ulama, dan Peradaban

 

ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Ngopi sambil nongki-nongki. Ngobrol itu-ini dengan bestie. Wow, asyik sekali! Inilah aktivitas yang jamak terjadi di kedai kopi. Bisnis ini berkembang begitu pesat di negeri ini. Perubahan gaya hidup turut mendorong bisnis kedai kopi bertumbuh.

Hasil riset Toffin, perusahaan penyedia solusi bisnis berupa barang dan jasa di industri Horeka (hotel, restoran, dan kafe), bersama Majalah Mix MarComm mencatat jumlah kedai kopi di Indonesia pada Agustus 2019 mencapai lebih dari 2.950 gerai. Angka itu meningkat hampir tiga kali lipat atau bertambah sekitar 1.950 gerai dari 2016 yang hanya sekitar 1000. Angka riilnya bisa lebih besar karena sensus tersebut hanya mencakup gerai berjaringan di kota besar, tidak termasuk kedai kopi independen yang modern maupun tradisional di berbagai daerah (detik.com, 17/12/2019).

Seiring peningkatan nilai pasar kopi, usaha kedai kopi juga semakin berkembang. Asosiasi Pengusaha Kopi dan Cokelat Indonesia (APKCI) memperkirakan, pada tahun 2023 jumlah kedai kopi di Indonesia mencapai 10 ribu dengan perkiraan pendapatan mencapai Rp 80 triliun (kompas.com, 17/6/2024).

Ya, kedai kopi kini menjamur. Tak hanya di kota besar, tapi juga di kota-kota satelit. Dinikmati tak hanya kalangan atas, juga menengah. Rentang usia remaja hingga dewasa. Bahkan minum kopi di kedai seolah jadi ritual wajib bagi sekelompok orang. Pun menciptakan gaya hidup "No coffe, no workee." Terlebih bagi anak muda, ngopi di kafe menjadi alternatif healing selepas pusing bikin tugas atau jenuh kuliah.

Padahal dulu orang minum kopi lebih karena khasiatnya. Selain menjaga kesehatan organ tubuh, kopi bermanfaat untuk  mempertahankan berat badan ideal asal diminum tanpa gula. Itu pun sekadar dinikmati di rumah. Berbeda dengan sekarang ketika ngopi serasa tak asyik bila tidak dilakukan di kafe (kedai) bersama kawan, musik, dan jaringan Wi-Fi.

 

Ulama dan Budaya Ngopi

Dilansir dari hidayatullah.com (2/5/2020), kopi dalam bahasa Arab disebut qahwah. Al Qasimi, ulama dari Damaskus, menjelaskan qahwah adalah sebutan untuk minuman yang biasa diminum dari biji kopi disangrai lalu dihancurkan dan direbus dengan air (Risalah fi Asy Syai wa Al Qahwah wa Ad Dukhan, hal. 14).

Al Qasimi pun membeberkan asal biji kopi dari tumbuhan yang biasa hidup di wilayah panas. Di Jazirah Arab, kopi banyak tumbuh di Yaman, di pesisir Laut Merah. Sedangkan jenis-jenis kopi mencapai 30 macamnya. Kopi pertama kali populer di Arab terutama Yaman, kemudian menyebar ke India. Selanjutnya ke Eropa lantas Amerika Selatan.

Penemu biji kopi

Sedangkan asal mula tumbuhan ini dari Habasyah atau Ethiopia. Banyaknya tumbuhan ini di Yaman dan perhatian  baik terhadapnya, membuat kopi Yaman terbaik di dunia. Sultan Salim sendiri membawa kopi ke Istanbul pada tahun 922 H, dan minuman kopi mulai marak dikonsumsi di sana tahun 960 H (Risalah fi Asy Syai wa Al Qahwah wa Ad Dukhan, hal.15).

Para fuqaha dan ulama sejarah Islam menyatakan, orang yang pertama mengkonsumsi biji kopi sebagai minuman adalah seorang ulama sufi bernama Abu Bakr bin Abdillah Asy Syadzili. Ketika melakukan siyahah (perjalanan spiritual), ia melewati sebuah pohon kopi lalu mengkonsumsinya. Ia mendapati bahwa kopi menenangkan pikiran dan membuatnya terjaga dari tidur. Setelah itu, Abu Bakr menasihati para pengikutnya untuk mengkonsumsi kopi (Hasyiyah Ibnu Abidin, 6/ 461).

Kalangan sufi juga memiliki andil besar mempopulerkan minuman kopi. Abdul Hayyi Ad Dimasyqi menyebut, Muhyiddin Abdul Qadir Al Bakrawi, ulama sufi kurun 9 yang juga ulama mensyarah Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim ini mempopulerkan minuman kopi di Damaskus, hingga di kota itu banyak berdiri kedai kopi (Syadzrat Adz Dzahab, 8/330).

Tak hanya dikonsumsi para ulama dari kaum sufi, kopi pun banyak diminum oleh para ulama pemikir. Al Qasimi berkata mengenai kopi, ”Ia minuman para penulis, para guru, para penelaah kitab, para pengajar ilmu sastra dan ilmu profesi serta para penyair…” (Risalah fi Asy Syai wa Al Qahwah wa Ad Dukhan, hal. 17)

Dengan demikian, tradisi mengkonsumsi kopi dalam khazanah peradaban Islam bukan hanya sebagai bagian gaya hidup, namun merupakan sarana bagi kemajuan dunia dan akhirat.

 

Kedai Kopi dan Dakwah

Hari ini, kedai kopi tidak hanya untuk menikmati kopi tapi juga berfungsi sosial. Sebagai tempat berinteraksi hingga mencari relasi. Pun tempat berdiskusi dari soal politik, sastra, hingga isu-isu sosial kontemporer. Menjadi tempat mencari ide, sumber infromasi dan inspirasi terhadap keberlanjutan aktivitas manusia.

kedai kopi
Ilustrasi kedai kopi pada zaman dahulu. Foto: lukisan karya Imad Al-Taai

Begitu pula yang terjadi di masa lampau. Bagi para ahli ibadah, kopi menjadi salah satu sarana untuk menguatkan ibadah. Mereka pun membangun kedai kopi sebagai tempat menjalin ukhuwah sekaligus berdakwah.

Al Muhibbi mengungkapkan mengenai seorang ulama besar sufi, Syeikh Muhammad bin Abi Bakr Ash Shufi yang dikenal sebagai Syaikh Al Yatim dari Damaskus. ”Di awal mulanya ia mencari nafkah sebagai penjual kopi dengan suwiqah (roti gandum) yang dibakar, dan kedai kopinya merupakan tempat berkumpulnya orang-orang shalih…”

Al Muhibbi juga menyatakan bahwa Syaikh Al Yatim menyewa tempat di samping kedai kopinya untuk dijadikan tempat shalat berjamaah. Jika azan berkumandang, Syeikh Al Yatim mengajak para pembeli untuk melaksanakan shalat berjamaah (Khulashah Al Atsar, 2/316).

Lain lagi kisah di salah satu era pemerintahan Utsmani. Kedai kopi menjadi tempat bagi orang-orang untuk berdiskusi soal pemerintahan. Termasuk menguliti pejabat korupsi atau kebijakan sultan yang dinilai tidak kompeten. Hingga Sultan Murad IV memerintahkan untuk membakar kedai kopi karena disinyalir menjadi tempat sumber pemberontakan dan demi mencegah para komplotan menggulingkan kesultanan.

Ternyata kedai kopi sebagai tempat bersuanya manusia, punya fungsi strategis ya. Namun alangkah indahnya bila kedai kopi tak berhenti pada fungsi sosial. Namun sebagaimana Syaikh Al Yatim, dioptimalkan sebagai sarana dakwah Islam. Menjadi tempat untuk menyampaikan ajaran Allah Subhanahu Wa Ta'ala, berdialog tentang ide-ide Islam, hingga banyak manusia yang mendapat hidayah-Nya dan menemukan jalan hijrah. []

 

 

 

Kontributor: Puspita Satyawati

(Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Islam)