ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Ngopi sambil nongki-nongki. Ngobrol itu-ini dengan bestie. Wow, asyik sekali! Inilah aktivitas yang jamak terjadi di kedai kopi. Bisnis ini berkembang begitu pesat di negeri ini. Perubahan gaya hidup turut mendorong bisnis kedai kopi bertumbuh.
Hasil riset Toffin, perusahaan penyedia solusi bisnis berupa barang dan
jasa di industri Horeka (hotel, restoran, dan kafe), bersama Majalah Mix
MarComm mencatat jumlah kedai kopi di Indonesia pada Agustus 2019 mencapai
lebih dari 2.950 gerai. Angka itu meningkat hampir tiga kali lipat atau
bertambah sekitar 1.950 gerai dari 2016 yang hanya sekitar 1000. Angka riilnya
bisa lebih besar karena sensus tersebut hanya mencakup gerai berjaringan di
kota besar, tidak termasuk kedai kopi independen yang modern maupun tradisional
di berbagai daerah (detik.com, 17/12/2019).
Seiring peningkatan nilai pasar kopi, usaha kedai kopi juga semakin
berkembang. Asosiasi Pengusaha Kopi dan Cokelat Indonesia (APKCI)
memperkirakan, pada tahun 2023 jumlah kedai kopi di Indonesia mencapai 10 ribu
dengan perkiraan pendapatan mencapai Rp 80 triliun (kompas.com, 17/6/2024).
Ya, kedai kopi kini menjamur. Tak hanya di kota besar, tapi juga di
kota-kota satelit. Dinikmati tak hanya kalangan atas, juga menengah. Rentang
usia remaja hingga dewasa. Bahkan minum kopi di kedai seolah jadi ritual wajib
bagi sekelompok orang. Pun menciptakan gaya hidup "No coffe, no
workee." Terlebih bagi anak muda, ngopi di kafe menjadi alternatif healing
selepas pusing bikin tugas atau jenuh kuliah.
Padahal dulu orang minum kopi lebih karena khasiatnya. Selain menjaga
kesehatan organ tubuh, kopi bermanfaat untuk
mempertahankan berat badan ideal asal diminum tanpa gula. Itu pun
sekadar dinikmati di rumah. Berbeda dengan sekarang ketika ngopi serasa
tak asyik bila tidak dilakukan di kafe (kedai) bersama kawan, musik, dan
jaringan Wi-Fi.
Ulama dan Budaya Ngopi
Dilansir dari hidayatullah.com (2/5/2020), kopi dalam bahasa Arab
disebut qahwah. Al Qasimi, ulama dari Damaskus, menjelaskan qahwah
adalah sebutan untuk minuman yang biasa diminum dari biji kopi disangrai lalu
dihancurkan dan direbus dengan air (Risalah fi Asy Syai wa Al Qahwah wa Ad
Dukhan, hal. 14).
Al Qasimi pun membeberkan asal biji kopi dari tumbuhan yang biasa hidup
di wilayah panas. Di Jazirah Arab, kopi banyak tumbuh di Yaman, di pesisir Laut
Merah. Sedangkan jenis-jenis kopi mencapai 30 macamnya. Kopi pertama kali
populer di Arab terutama Yaman, kemudian menyebar ke India. Selanjutnya ke
Eropa lantas Amerika Selatan.
Sedangkan asal mula tumbuhan ini dari Habasyah atau Ethiopia. Banyaknya
tumbuhan ini di Yaman dan perhatian baik
terhadapnya, membuat kopi Yaman terbaik di dunia. Sultan Salim sendiri membawa
kopi ke Istanbul pada tahun 922 H, dan minuman kopi mulai marak dikonsumsi di
sana tahun 960 H (Risalah fi Asy Syai wa Al Qahwah wa Ad Dukhan, hal.15).
Para fuqaha dan ulama sejarah Islam menyatakan, orang yang pertama
mengkonsumsi biji kopi sebagai minuman adalah seorang ulama sufi bernama Abu
Bakr bin Abdillah Asy Syadzili. Ketika melakukan siyahah (perjalanan
spiritual), ia melewati sebuah pohon kopi lalu mengkonsumsinya. Ia mendapati
bahwa kopi menenangkan pikiran dan membuatnya terjaga dari tidur. Setelah itu,
Abu Bakr menasihati para pengikutnya untuk mengkonsumsi kopi (Hasyiyah Ibnu
Abidin, 6/ 461).
Kalangan sufi juga memiliki andil besar mempopulerkan minuman kopi.
Abdul Hayyi Ad Dimasyqi menyebut, Muhyiddin Abdul Qadir Al Bakrawi, ulama sufi
kurun 9 yang juga ulama mensyarah Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim ini mempopulerkan
minuman kopi di Damaskus, hingga di kota itu banyak berdiri kedai kopi
(Syadzrat Adz Dzahab, 8/330).
Tak hanya dikonsumsi para ulama dari kaum sufi, kopi pun banyak diminum
oleh para ulama pemikir. Al Qasimi berkata mengenai kopi, ”Ia minuman para
penulis, para guru, para penelaah kitab, para pengajar ilmu sastra dan ilmu
profesi serta para penyair…” (Risalah fi Asy Syai wa Al Qahwah wa Ad Dukhan,
hal. 17)
Dengan demikian, tradisi mengkonsumsi kopi dalam khazanah peradaban
Islam bukan hanya sebagai bagian gaya hidup, namun merupakan sarana bagi
kemajuan dunia dan akhirat.
Kedai Kopi dan Dakwah
Hari ini, kedai kopi tidak hanya untuk menikmati kopi tapi juga
berfungsi sosial. Sebagai tempat berinteraksi hingga mencari relasi. Pun tempat
berdiskusi dari soal politik, sastra, hingga isu-isu sosial kontemporer.
Menjadi tempat mencari ide, sumber infromasi dan inspirasi terhadap
keberlanjutan aktivitas manusia.
![]() |
Ilustrasi kedai kopi pada zaman dahulu. Foto: lukisan karya Imad Al-Taai |
Begitu pula yang terjadi di masa lampau. Bagi para ahli ibadah, kopi
menjadi salah satu sarana untuk menguatkan ibadah. Mereka pun membangun kedai
kopi sebagai tempat menjalin ukhuwah sekaligus berdakwah.
Al Muhibbi mengungkapkan mengenai seorang ulama besar sufi, Syeikh
Muhammad bin Abi Bakr Ash Shufi yang dikenal sebagai Syaikh Al Yatim dari
Damaskus. ”Di awal mulanya ia mencari nafkah sebagai penjual kopi dengan suwiqah
(roti gandum) yang dibakar, dan kedai kopinya merupakan tempat berkumpulnya
orang-orang shalih…”
Al Muhibbi juga menyatakan bahwa Syaikh Al Yatim menyewa tempat di
samping kedai kopinya untuk dijadikan tempat shalat berjamaah. Jika azan
berkumandang, Syeikh Al Yatim mengajak para pembeli untuk melaksanakan shalat
berjamaah (Khulashah Al Atsar, 2/316).
Lain lagi kisah di salah satu era pemerintahan Utsmani. Kedai kopi
menjadi tempat bagi orang-orang untuk berdiskusi soal pemerintahan. Termasuk
menguliti pejabat korupsi atau kebijakan sultan yang dinilai tidak kompeten.
Hingga Sultan Murad IV memerintahkan untuk membakar kedai kopi karena
disinyalir menjadi tempat sumber pemberontakan dan demi mencegah para komplotan
menggulingkan kesultanan.
Ternyata kedai kopi sebagai tempat bersuanya manusia, punya fungsi
strategis ya. Namun alangkah indahnya bila kedai kopi tak berhenti pada fungsi
sosial. Namun sebagaimana Syaikh Al Yatim, dioptimalkan sebagai sarana dakwah
Islam. Menjadi tempat untuk menyampaikan ajaran Allah Subhanahu Wa
Ta'ala, berdialog tentang ide-ide Islam, hingga
banyak manusia yang mendapat hidayah-Nya dan menemukan jalan hijrah. []
Kontributor:
Puspita Satyawati
(Pemimpin
Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Islam)