ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Apa kabar hari ini? Sudahkah Anda meluangkan waktu sekian detik atau menit untuk memandangi alam sekitar dan men-tadabburi-nya? Merasakan betapa indahnya bunga bermekaran di halaman, kokoh menjulangnya gunung di kejauhan, sinar sang surya yang cerah berkilauan. Seiringnya, lukisan alam itu akan mencerahkan pikiran dan perasaan. Karena mengingatkan pada keagungan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Sang Maha Pencipta Alam Semesta dan kehidupan. Masya Allah. Allahu Akbar!
Muslim dan astronomi (alam semesta). Sebenarnya
relasi keduanya bukan hal asing. Mengapa? Karena banyak ayat Al-Qur'an yang
membahas tentang alam semesta (astronomi). Astronomi merupakan bidang yang luas dan
terbagi menjadi beberapa cabang ilmu mencakup berbagai aspek alam
semesta. Secara spesifik, astronomi adalah ilmu alam yang mempelajari benda langit dan fenomena alam yang
terjadi di luar bumi, termasuk
fenomena di atmosfer atas bumi yang berasal dari luar angkasa seperti meteor dan aurora (wikipedia.org).
Banyak sekali ayat Al-Qur'an yang
memerintahkan manusia untuk memikirkan alam semesta. Misalnya firman Allah
Ta'ala, "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal" (QS. Ali Imran: 190).
Hal ini menunjukkan apresiasi besar
dari Al-Qur'an terhadap pengkajian alam semesta. Secara teologis, kajian
astronomi merupakan salah satu pintu untuk mengetahui tujuan Allah menciptakan
alam semesta. Pun sebagai salah satu cara mendekatkan diri kepada-Nya. Menurut
Seyyed Hossein Nasr, alam semesta sejatinya merupakan Al-Qur'an at takwini,
sementara firman Allah Subhanahu Wa
Ta'ala merupakan
Al-Qur'an at tadwini.
Dalam Al-Qur'an ada beberapa ayat yang menyebutkan lanit, bintang, dan alam semesta. Foto: ASF/Canvapro
Peradaban Islam Lahirkan Astronom
Besar
Dikutip dari artikel Astronomi Islam
Tak Sekadar Hisab dan Rukyat karya Prof. Fahmi Amhar, peradaban Islam telah melahirkan
ratusan astronom besar yang menciptakan ratusan teknik pengamatan berikut
alat-alatnya, ratusan rumus dan metode perhitungan, ratusan jenis tabel almanak
astronomi dan kepada dunia mewariskan ribuan bintang-bintang yang hingga kini
masih diberi nama dengan nama-nama Arab (bahasa yang sangat dominan dalam dunia
astronomi).
Pada awalnya, umat Islam mewarisi
astronomi dari bangsa-bangsa taklukannya, yaitu Mesir kuno, Yunani, Persia dan
India. Namun umat Islam telah memurnikan
astronomi dari “saudara tirinya” yaitu astrologi (ilmu meramal nasib dengan
perbintangan). Dalam literatur Arab
awal, ilm-al-Nujum (ilmu bintang)
digunakan baik untuk astronomi maupun astrologi. Pemisahan yang tegas dilakukan oleh Abu Al
Rayhan Al Biruni pada abad 11. Kajian
astrologi ditolak oleh para ilmuwan Muslim, termasuk Al Farabi, Ibn Al Haytham,
Ibnu Sina, dan Ibnu Ruysd. Alasannya,
astrologi terpengaruh pandangan hidup, bukan sesuatu yang empiris (diamati
secara sistematis dari fakta alam).
Astronomi berkembang karena kaum Muslim butuh menjelajah dunia demi perburuan
ilmu ke negeri jauh seperti Tiongkok, maupun menjawab tantangan jihad fi
sabilillah. Saat itu, rival utama adalah Kekaisaran Romawi pemilik angkatan
laut terkuat di Laut Tengah. Angkatan laut dilawan dengan angkatan laut. Untuk
menentukan posisi dan arah di tengah lautan diperlukan navigasi dengan astronomi.
Semakin teliti navigator menentukan posisinya di tengah laut dengan pengamatan
matahari, bulan atau bintang, maka kian akurat menghitung waktu yang diperlukan
menuju sasaran, dan jumlah logistik yang dibawa tanpa memberati kapal.
Dalam astronomi, karya astronom
Mesir/Yunani kuno Ptolomeus, terutama dalam kitab Almagest, dan karya astronom
India kuno Brahmagupta, telah dikaji dan direvisi secara signifikan oleh
astronom Muslim. Tabel astronomi dari Al
Khawarizmi dan Maslamah bin Ahmad Al Majriti merupakan sumber informasi penting
bagi para pemikir Eropa, ketika astrologi telah dicemooh.
Kontribusi lain dari astronom Muslim
seperti Al Biruni adalah teori bahwa galaksi Bimasakti merupakan kumpulan gugusan
bintang yang berdiri sendiri dan pergerakannya lepas dari bumi atau matahari.
Astronom Muslim juga mengembangkan berbagai alat pengamatan. Yang besar dipasang
di observatorium bintang, yang kecil dibawa perjalanan seperti astrolabium.
Ja’far Muhammad bin Musa bin Syakir
menemukan fakta bahwa benda-benda langit terkena hukum fisika yang sama dengan
bumi. Ibn Al Haytsam mendapati bahwa
“lapisan langit” tidaklah padat seperti kepercayaan orang hingga saat itu, dan
bahkan langit lebih tipis dari udara.
Penemuan-penemuan inilah yang beberapa abad kemudian dielaborasi oleh
Isaac Newton.
Pada masa keemasan Islam, banyak orang
kaya atau penguasa yang berwakaf dengan mensponsori pembangunan observatorium,
lengkap astronom untuk melakukan riset. Hasilnya adalah tabel almanak astronomi
yang paling mutakhir dan akurat di zamannya. Tabel itulah yang dibawa pelaut
dan mujahidin menembus batas cakrawala dunia Islam, menemukan tempat baru bagi
dakwah Islam. Pun selangkah lebih maju dari para pelaut penjajah yang selalu
mengintai kelengahan kaum Muslim. Demikianlah astronomi dalam lintasan sejarah
peradaban Islam. Tak hanya untuk pengembangan ilmu pengetahuan, tapi juga demi
kepentingan dakwah Islam dan jihad fi sabilillah.
Motivasi Ruhiyah
Perkembangan astronomi pada peradaban
Islam didorong oleh motivasi yang saling berkaitan. Bila ditelaah setidaknya
ada empat sumber motivasi yaitu;
Pertama, motivasi praktis. Terkait kebutuhan
sipil administratif, sosial, dan ritual keagamaan. Berangkat dari kebutuhan
praktis keseharian seperti menentukan arah perjalanan dan perdagangan terutama
di malam hari, serta menentukan musim bercocok tanam dan memanen. Sementara terkait
ritual ibadah umat Islam misalnya penentuan waktu shalat berdasar posisi dan
gerak harian matahari dalam sehari semalam, penentuan arah kiblat terkait jarak
sudut dan posisi (antara lokasi Ka'bah, titik kutub utara, dan lokasi seseorang
berada), penentuan awal puasa dan hari raya terkait hilal, dan lain-lain.
![]() |
Ilmu astronomi dibutuhkan dalam beberapa ibadah harian bagi umat Islam. Foto: ASF/Canvapro |
Kedua, motivasi ilmiah. Perkembangan
astronomi menyebabkan lahirnya penelaahan, dialog, diskursus, dan dialektika
dinamis di kalangan astronom Muslim yang melahirkan karya tulis astronomi. Secara
literasi dan keilmuan, problem astronomis yang banyak muncul terdapat dalam
teks “Almagest” karya Ptolemeus yang menjadi sumber motivasi ilmiah terbesar
berkembangnya astronomi dalam Islam. Dari sini lahir banyak temuan terkini yang
secara substansial berbeda dengan konstruksi astronomi Yunani, teks astronomi
India, Persia, China, dan lainnya.
Ketiga, motivasi filosofis. Ini terkait
pandangan kosmologis bahwa astronomi adalah induk ilmu pengetahuan alam.
Penguasaan astronomi merupakan pintu masuk memahami prinsip kerja alam raya yang
begitu eksak dan teratur. Para astronom Muslim memiliki rasa ingin tahu yang
tinggi untuk menyingkap keteraturan dan keunikan alam semesta yang merupakan
tanda (ayat) keagungan Allah.
Keempat,
motivasi teologis. Inilah motivasi terbesar berkembangnya astronomi di
peradaban Islam. Berangkat dari banyaknya ayat Al-Qur’an yang menggambarkan
fenomena astronomi, sekaligus memerintahkan manusia untuk merenungkan,
mempelajari, meneliti, dan mengambil hikmah di baliknya. Adnan asy-Syarif (2004)
dalam karyanya “Min ‘Ilm Al Falak Al Qur’any” (Di antara Sains Astronomi Al-Qur’an),
menyebutkan ada ratusan ayat Al-Qur’an yang menyinggung tentang alam semesta
(astronomi).
Demikianlah motivasi kaum Muslimin dalam mempelajari
astronomi. Aspek teologis (ruhiyah) menjadi motivasi terbesar
mengembangkan astronomi dalam peradaban Islam. Astronomi menjadi sarana
menguatkan keimanan pada Allah Subhanahu Wa
Ta'ala.
Kontributor:
Puspita
Satyawati
(Pemimpin
Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Islam)
Pilih Program Kebaikan sesuai kesukaanmu ke https://linktr.ee/id.berbagikebaikan