ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Indonesia darurat kerja! Bagaimana
tidak? Beberapa waktu lalu, viral video 220 orang antre melamar kerja di sebuah
warung seblak di Sindangkasih, Ciamis, Jawa Barat. Padahal warung itu hanya
butuh 20 karyawan baru (tribunnews.com, 24/5/2024).
Kini, persaingan kerja kian sengit. Terlebih ledakan pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di mana-mana. Di Jakarta, PHK meningkat hingga hampir 10 kali lipat (1.000 persen). Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat, selama periode Januari-Juni 2024, 7.469 tenaga kerja terkena PHK di Jakarta. Total PHK di Indonesia sampai Juni 2024 mencapai lebih dari 32 ribu orang (asumsi.co, 1/8/2024).
Sulitnya lapangan kerja turut memicu
orang menempuh cara haram demi meraih rezeki. Meski tahu haram, judi online
(judol) tetap digemari sebab dianggap cara termudah mendapat cuan secara
instan. Pinjaman online (pinjol) dengan riba pun laris manis. Bahkan
beberapa perempuan rela menjual diri serta mengiklankannya melalui aplikasi
open booking out (BO).
![]() |
Sulitnya lapangan pekerjaan membuat sebagian orang mengambil jalan haram. Foto: Amazing Sedekah/Canvapro |
"Yang haram saja susah didapat,
apalagi yang halal," kilahnya. Mereka lupa bahwa bila dia Muslim, maka
yang dicari tak sekedar rezeki (baca: harta, materi). Tapi juga keberkahan dari
apa yang didapat. Bukan hanya untuk nikmat di dunia, tapi perhitungannya hingga
surga atau neraka.
Rezeki: Hanya dari-Nya
Rezeki itu pemberian. Dalam bahasa Arab,
razaqa bermakna a'tha, yaitu memberikan sesuatu. Namun banyak manusia
menduga bahwa mereka yang memberikan rezeki bagi diri sendiri. Seorang pegawai
yang gajinya naik, menyangka bahwa kerja kerasnyalah penyebab pencapaian tersebut.
Pun seorang pedagang. Saat dagangan laku keras hingga laba berlimpah, ia merasa
karena usaha terbaiknya.
Mereka lupa bahwa kerja keras, upaya
terbaik, hanyalah sarana untuk menjemput rezeki-Nya. Bila kerja dan upaya
manusia adalah sebab rezeki, maka semua orang yang banting tulang, peras
keringat, pasti akan mendapat rezeki banyak. Nyatanya, pedagang yang sama-sama
berjualan di tempat dan waktu sama, bahkan barang dagangan sama, belum tentu
dapat hasil sama. Ada yang laris manis, ada yang kurang laku, bahkan ada yang
nol pembeli.
Maka upaya atau kerja sekeras apa pun,
itu hanyalah keadaan yang (biasanya) mengantarkan pada datangnya rezeki. Tapi
bukan sebab penurun rezeki itu sendiri. Lalu, siapakah pemberi rezeki hakiki?
Dialah Allah Azza wa Jalla. Banyak ayat Al-Qur'an menyebutkan bahwa
Allah-lah Dzat yang mampu dan berhak memberikan rezeki.
"Dan makanlah dari apa yang telah
diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah
kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya"
(QS. Al Ma'idah: 88).
"Allah yang menciptakan kamu,
kemudian memberimu rezeki" (QS. Ar Ruum: 40).
"Sesungguhnya Allah memberi rezeki
kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan"
(QS. Ali Imran: 37).
Keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya Sang Pemberi Rezeki, akan berdampak positif bagi Muslim. Pertama, ikhtiar dan tawakal menjadi kunci aktivitas. Seorang Muslim memahami bahwa tugas hamba adalah berusaha, sementara Allah yang memberikan hasilnya. Dan biasanya Allah akan memberi sesuatu sesuai kadar usaha sang hamba.
![]() |
Burung pun dijamin rezekinya oleh Allah Taala. Foto : Amazing Sedekah/Canvapro |
Kedua, menjadi pribadi
rendah hati. Dia tidak merasa gede kepala (jumawa) saat mendapat rezeki
berlimpah karena semata-mata itu pemberian-Nya.
Ketiga,
tidak mudah bersedih dan putus asa. Saat hasil tidak sesuai ekspektasi
sementara ia merasa telah mati-matian mengusahakan, ini tidak akan membuatnya
terpuruk. Ia berprasangka baik pada Allah, memang 'segitu' rezeki yang
diberikan padanya saat itu.
Carilah Rezeki Halal
Rezeki Allah itu teramat luas. Rezeki
tak selalu identik dengan harta kekayaan.
Prinsip ini kerap luput dari pemahaman umat. Mereka mengira Allah hanya
memberi rezeki berupa uang, emas, perak, atau jenis kekayaan lainnya.
Padahal segala sesuatu yang diberikan
oleh Allah; kesehatan, kelapangan, kesempatan untuk beramal shalih seperti
mengaji Islam, berdakwah, ini juga rezeki. Segala sesuatu yang bisa
dimanfaatkan oleh manusia dalam kehidupan, juga bagian rezeki. Misalnya; ilmu,
akhlak, dan seterusnya.
Di satu sisi, yang bisa menurunkan
rezeki memang hanya Allah Subhanahu Wa
Ta'ala. Namun di sisi lain, Dia pun
memerintahkan manusia agar menjemputnya dengan cara halal.
Meski sama-sama datang dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala, namun rezeki ada
yang halal dan haram. Rezeki halal berasal dari upaya (cara) yang diperbolehkan
oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala
untuk dilakukan. Misalnya; bekerja, berburu hewan, bertani, berdagang,
melakukan syirkah, dan seterusnya.
Adapun rezeki yang haram diperoleh dari
kerja yang dilarang oleh Allah Subhanahu Wa
Ta'ala. Contoh; mencuri, menjual miras, berjudi,
melacurkan diri, korupsi, menyuap, dan lain-lain.
Allah Subhanahu
Wa Ta'ala berfirman, “Wahai
orang-orang yang beriman janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali
dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu”
(Q.S. An Nisa: 29).
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala melarang mencari
rezeki dengan cara menzalimi orang lain atau cara-cara yang dilarang oleh
syariat Islam. Maka, seorang Muslim yang shalih (shalihah) akan
menjemput rezeki-Nya hanya dengan cara yang diridhai Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Meski sedikit
rezekinya atau bahkan tanpa hasil, selama niat bekerja demi meraih ridha-Nya
serta caranya benar (sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya), insya Allah Dia
tetap mencatatnya sebagai amal shalih dan layak mendapat pahala. []
Kontributor: Puspita Satyawati (Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Islam)
Kirim Wakaf Terbaik untuk Sesama ke https://linktr.ee/id.berbagikebaikan