Friday, August 16, 2024

JANGAN BIARKAN PAK DWI BERJUANG SENDIRI


 

IDBERBAGIKEBAIKAN.COM- Sosok langka. Rela berkorban harta di tengah keterbatasan finansial demi memajukan pendidikan generasi Muslim. Dialah Bapak Dwi Irianta. Perintis berdirinya Asrama Tahfiz Al Badar di Kampung Waibo, Distrik Salawati Tengah, Kabupaten Sorong, Papua Barat.

"Hasil bertani padi di sawah dan menanam sayur di ladang, saya gunakan untuk membantu mencukupi kebutuhan hidup para santri. Istri saya setiap hari bikin kerupuk, es, dan nasi kuning. Dijajakan di sekolah-sekolah dekat tempat tinggal. Hasilnya untuk menambah lauk-pauk bagi para santri," jelasnya. 

Suami istri tersebut berpayah-payah turut mendanai operasional asrama karena kemampuan ekonomi santri yang minim. Rata-rata mereka hanya mampu memberikan sumbangan pendidikan dan biaya hidup di asrama berkisar Rp 100.000 hingga Rp 200.000 per bulan. Bahkan belum tentu setiap bulan mereka mampu menunaikannya. Namun keterbatasan finansial dan sarana prasarana tersebut tak menyurutkan pria yang lahir di Pacitan, Jawa Timur, dan besar di Blora, Jawa Tengah ini.

Bapak Dwi Irianta, pimpinana Ponpes Al-Badar, Salawati Papua Barat. Foto : Indonesia Berbagi Kebaikan

Tantangan Dakwah

Menilik awal perjuangannya, Pak Dwi, sapaan akrabnya, menuturkan dia pergi ke Papua pada tanggal 19 Agustus 1993 karena diminta orang tuanya yang sejak tahun 1982 mengikuti Program Transmigrasi Pegawai di Sorong, Papua. Pada tahun 1994, Pak Dwi mendirikan SMP Islam Gupi di daerah Salawati Daratan. Pagi hingga siang mengajar sebagai guru SD, sementara sore di SMP Islam. Dia tergerak merintis SMP Islam karena kebutuhan dakwah Islam.

Seiring berjalannya waktu, tantangan dakwah kian berat. Pada tahun 1998, aktivitas dakwahnya dianggap melawan arus karena menyosialisasikan jilbab. Akhirnya dia dimutasi ke daerah yang lebih terpencil, di Kalobo, Salawati Tengah. 

Namun Pak Dwi tak berkecil hati. Dakwahnya tak lantas menjadi surut. Di tempat yang baru dia merintis tempat pendidikan Al-Qur'an (TPA). Pun memfasilitasi anak-anak Muslim untuk mendapatkan pendidikan Islam lebih baik. Mengirim mereka ke sekolah dan panti Islam Muhammadiyah di Kota Sorong, serta ke Hidayatullah di Balikpapan. Hingga saat ini, mereka telah meraih kesuksesan dan bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat.

Di sisi lain, Pak Dwi berpikir bila putra daerah terbaik sering dikirim ke luar daerah, maka tidak ada generasi Muslim yang layak melanjutkan estafet dakwah di Salawati. Lalu dia tergerak membangun madrasah aliyah di Salawati sejak tahun 2007.

Dengan berbagai tantangan, lembaga pendidikan tersebut tetap berjalan meski tertatih. Lalu tahun 2014 dia merintis pendirian madrasah tsanawiyah. Berbagai ancaman (intimidasi) dia alami selama mengawal pendidikan dan dakwah Islam di sana. 

Merelakan Rumah Sebagai Asrama

Adapun murid-murid madrasah tersebut kebanyakan dari pulau-pulau kecil di wilayah Distrik Salawati. Pada tahun 2015, Pak Dwi mendapat masukan dari para orang tua murid agar membangun asrama untuk menampung murid dari berbagai pulau. Lalu berdirilah asrama bernama Al Hidayah.

“Murid kami rata- rata berasal dari keluarga kurang mampu,” ujar Pak Dwi. Ini membuatnya berpikir untuk bisa membangun asrama meski dalam keterbatasan. Sebagai solusi, Pak Dwi mengikhlaskan rumahnya sebagai asrama putri. Lalu membeli gubuk kecil untuk asrama putra.

Asrama santri putra Ponpes Al-Badar, Salawati Papua Barat. Foto: Indonesia Berbagi Kebaikan

Agar lembaga pendidikan ini terus berjalan dan berkembang, dia menghimpun dukungan dari berbagai lembaga, salah satunya dengan lembaga tahfiz Al Badar yang berdomisili di Jakarta. Dengan kolaborasi tersebut, beliau mengadopsi nama Al Badar menjadi nama bagi asrama di Salawati.

Jadilah Asrama Tahfiz Al Badar di Kampung Waibo, Distrik Salawati Tengah, Kab. Sorong, Papua Barat. Disertai harapan agar asrama ini memiliki citra yang lebih baik dibandingkan sebelumnya yang terkesan sebagai panti. Tentunya dengan konsep pembelajaran yang lebih sistematis juga.

Upaya dan kerja keras Pak Dwi pun mulai membuahkan hasil. Saat ini beberapa santri melanjutkan pendidikan di kota-kota besar di Pulau Jawa. Ada yang melanjutkan hafalan Al-Qur’an di ma’had tahfiz sekaligus kuliah, bahkan menjadi imam di salah satu masjid di Surabaya. Selain itu, beberapa santri melanjutkan belajar di ma’had tahfiz di Sukoharjo, Boyolali, Bogor, serta di LIPIA. Di antara mereka direncanakan kembali ke Papua untuk membantu Pak Dwi mengembangkan pendidikan Islam di Salawati.

Asrama Jauh dari Layak

Namun saat ini kapasitas Asrama Tahfiz Al Badar masih sangat terbatas. Hanya mampu menampung lima belas santri asli Papua. Itu pun dengan kondisi bangunan yang masih jauh dari layak.

Kini Pak Dwi membutuhkan dukungan kita semua untuk menyediakan asrama yang layak bagi para santri. Demi mengoptimalkan proses pembinaan santri, gedung yang diperlukan meliputi; satu unit asrama putra, satu unit asrama putri, aula, toilet, dapur, tempat makan, rumah guru, dan kolam untuk budidaya ikan. Diharapkan asrama ini mampu menampung seratus santri.

Rancangan Ponpes Al-Badar Salawati Papua Barat. Foto : Indonesia Berbagi Kebaikan.

Maka, Indonesia Berbagi Kebaikan (IBK) mengajak kaum Muslimin untuk menyukseskan proyek ini. Wakaf Anda sangat berarti demi memajukan pendidikan generasi Islam khususnya di Tanah Papua. Insya Allah, para santri yang belajar, menghafal dan mengajar Al-Qur’an serta beribadah di asrama tahfiz ini akan menjadi amal jariyah bagi Anda. Aamiin...

 

Adapun nilai wakaf yang dibutuhkan:

Rp.2.947.469.850 (Pembangunan Ponpes Tahap Pertama)

Kirimkan Wakaf Terbaik ke https://linktr.ee/id.berbagikebaikan

Kontributor : Puspita Satyawati (Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Islam)