Sunday, August 25, 2024

JADI PEMIMPIN, KOK, INSTAN? JANGAN, YA DEK, JANGAN

 


ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Hari-hari ini jagat Nusantara sungguh riuh. Gaduh. Salah satunya yang cukup menyedot atensi warganet adalah kisah Ki Lurah yang melakukan segala intrik agar anak dan menantunya lolos  meraih kursi kuasa. Tak peduli meski gencet sana-sini, tabrak kanan-kiri, hingga melanggar konstitusi. Masalah agama? Itu soal nanti.

Tak cukup sang bapak memimpin negara selama satu dasawarsa, Ki Lurah merasa perlu menyertakan keluarga. Agar kelak saat lengsernya, anak-anaknya tetap jaya. Jadilah politik dinasti dibangun. Tak cukup putra tertua jadi walikota, dibuatlah jalan mulus menuju kursi orang nomer dua di negara.

Pun dengan anak menantu yang masih jadi walikota. Kini bersiap melaju ke kursi orang nomer satu di provinsi. Untuk anak bungsu? Tentu tak ketinggalan. Bukan kader, bukan anggota partai, tapi langsung dinisbatkan jadi ketua. Sebagai jalan mulus menuju kursi kuasa berikutnya.

Ilustrasi 'pembagian' kekuasaan dalam politik oligharki. Foto: Indonesia Berbagi Kebaikan/Canvapro

Mereka "anak-anak ajaib." Tanpa proses berpayah-payah, bisa langsung duduk di tampuk kuasa. Tak peduli kompetensi. Yang penting tebal muka saat rakyat mem-bully. Tak masalah minim prestasi. Yang utama mendapat jabatan bergengsi. Bila regenerasi kepemimpinan menganut pola asal bapak berkuasa (ABB) atau suka-suka kita (SSK) seperti ini, bagaimana nasib negeri mayoritas Muslim ini ke depan?

 

Belajar dari Orang Tua Al Fatih

Dari realitas yang mengusik akal sehat di atas, penulis ajak untuk mengambil pelajaran dari kisah salafus shalih tentang kesungguhan orang tua menyiapkan pemimpin yang shalih nan tangguh. Siapa tak kenal Muhammad Al Fatih? Sosok legendaris yang tetap menjadi inspirasi hingga kini.

Muhammad Al-Fatih, dialah sang penakluk Konstantinopel. Ketika Al Fatih lahir, orang tuanya melihat isyarat bahwa sang buah hati akan menjadi pemimpin besar. Jelang kelahirannya, sang ayah, Sultan Murad II sedang mempersiapkan diri untuk menggempur imperium Bizantium yang berbasis di Konstantinopel.

Sang ayah pun mencarikannya guru yang paling cakap untuk membentuk karakter. Sultan Murad II menugaskan kepada Syekh Ahmad bin Ismail Al-Qurani, ulama faqih serta masyhur dengan berbagai keutamaan. Pada awalnya, mendidik sang anak sultan yang terbiasa hidup mewah memang sangat berat bagi kebanyakan guru. Namun sang guru ini memiliki kesabaran dan strategi ampuh hingga berhasil membentuk jiwanya. Hasil didikannya membuat Al Fatih menjadi anak yang shalih. Hafiz Qur'an di usia 8 tahun.



Sesuai kebiasaan dalam Turki Utsmani kala itu, Al Fatih dikirim untuk  mencari pengalaman di Desa Manisa. Di sanalah ia mendapatkan guru baru bernama Syekh Aaq Syamsuddin. Seorang dokter kekhalifahan yang sangat fasih dalam ilmu fikih dan hukum Islam. Dari sang guru, Al Fatih mempelajari banyak ilmu. Pada tahun 1451 M, Al Fatih yang baru berumur 20 tahun naik tahta menggantikan sang ayah yang wafat setelah mengalami sakit. Ia pun menjadikan Syekh Aaq Syamsudin sebagai penasihatnya.

Guru yang cerdas, pelajaran mahal yang dipendamnya baru dipahami setelah sekian tahun. Karenanya Sultan Muhammad Al Fatih berkata setelah berhasil menaklukkan benteng Konstantinopel, "Yang menjadi penakluk sesungguhnya bukan saya, tetapi penakluk sejati adalah guru saya, Syekh Aaq Syamsuddin."

Berkat pendidikan karakter nan islami dari kedua guru pilihan sang ayah, Syekh Ahmad bin Ismail Al Qurani dan Syekh Aaq Syamsuddin, jadilah Al Fatih mampu menaklukkan benteng paling kuat dalam sejarah. 1000 tahun lebih tak tergoyahkan dan selama 825 tahun penantian atas kebenaran Sabda Nabi akan takluknya benteng.

Tak hanya sang ayah, bunda Al Fatih juga menyumbang kehebatan ananda. Huma Hatun adalah ibu shalihah dan fokus dalam mendidik anaknya menjadi pemimpin besar. Setiap selesai shalat subuh, ibunya membawa Al Fatih kecil dan menunjukkan dari kejauhan benteng Konstantinopel yang megah itu.

Sang ibu berkata, "Namamu adalah nama Nabi kita Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam. Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam pernah mengatakan bahwa benteng itu pasti akan ditaklukkan. Dan kaulah yang akan menaklukkannya". Ibu yang sudah menggambarkan kebesaran di kepala anaknya dan dilakukan setiap hari, di waktu yang barokah pada pagi hari.

Al Fatih pun percaya terhadap kabar gembira Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam, "Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin, dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baiknya pasukan" (HR. Ahmad bin Hanbal).

Dari kisah Muhammad Al Fatih, kita bisa belajar membentuk karakter generasi Islam yang kokoh di masa depan. Sejak kecil ia dididik untuk mendalami Al-Qur'an dan menyelesaikannya. Pun dibekali cara mengamalkan apa yang telah difirmankan Allah Subhanahu Wa Ta'ala di dalam kitab suci tersebut.

 

Yuk Siapkan Anak Jadi Pemimpin

Dalam Islam, keluarga tak hanya sebagai  madrasah pertama. Tapi sekaligus tempat kaderisasi generasi. Agar tongkat estafet kepemimpinan umat Islam tidak pernah mati. Dan ini menjadi salah satu tugas orang tua mewujudkannya. Bagaimana kiat orang tua menyiapkan ananda menjadi pemimpin shalih nan tangguh?

Pertama, tanamkan keimanan yang kokoh. Sejak dini, jadikan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segalanya. Penanaman keimanan ini akan menjadikan anak kita mengenal Allah Ta'ala, Al Khaliq Al Mudabbir dan Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam, penyampai risalah Islam. Hingga  tumbuh kecintaan yang  mendorongnya beramal yang dicintai Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan dicontohkan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam.

Kedua, membiasakan dalam ketakwaan. Anak-anak harus dibiasakan bertakwa di keluarga, sekolah, dan lingkungannya. Mereka harus berteman dengan teman-teman yang shalih-shalihah, pun saat mengakses media dan berteman di media sosial. Orang bertakwa akan selalu menjaga agar Allah tidak melihat dirinya di tempat yang dilarang-Nya. Sebaliknya, selalu ada di tempat yang diperintah-Nya.

Ketiga, kenalkan syariat Islam sejak dini. Orang tua menjelaskan hukum yang lima (ahkamul khamsah), adab, dan akhlak. Pun mengajak ananda ke majelis ilmu untuk memperkaya pemahaman tentang syariat Islam, berdiskusi bersama, dan sebagainya. Seiring waktu, mereka akan rindu penerapan syariat Islam di muka bumi hingga terdorong menyebarkan dan membela ajaran-Nya.

Ketiga, mengasah akal anak untuk berpikir benar. Orang tua harus memberikan informasi benar bersumber dari Al-Qur’an dan As Sunnah sebagai pijakan menilai berbagai informasi. Pacu anak agar menggunakan akalnya untuk berpikir benar sehingga tidak terbujuk pemikiran non-Islam. Mereka akan tahu bahwa pemikiran Islamlah yang harus disebarkan di tengah umat.

Keempat, memahamkan agar anak menjadikan dakwah sebagai poros kehidupan. Orang tua harus menanamkan kepada anak sejak dini agar menjadi pembela Islam terpercaya. Maka rintangan, tantangan, dan hambatan di jalan dakwah akan disikapi sebagai konsekuensi perjuangan.

Kelima, melatih jiwa kepemimpinan. Anak perlu ditumbuhkan dan dilatih jiwa kepemimpinannya. Orang tua hendaknya membuka ruang dialog yang memungkinkan ananda mengutarakan pendapat. Atau beri kesempatan untuk memutuskan sesuatu terkait problem dirinya. Bila dia anak sulung, beri amanah memimpin adik-adiknya dalam melakukan banyak hal. Pun memberikan ilmu praktis terkait kepemimpinan.

Demikian beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua dalam melahirkan pemimpin Islam di masa depan. Semoga umat Islam kembali terangkat derajatnya sebagai sebaik-baiknya umat yang dilahirkan untuk memimpin manusia, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,“Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, melakukan amar makruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah” (QS. Ali ‘Imran: 110).

Kontributor:

Puspita Satyawati (Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Islam)

Kirimkan Wakaf untuk Membantu Sesama ke https://linktr.ee/id.berbagikebaikan