ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Hari-hari ini jagat Nusantara sungguh riuh. Gaduh. Salah satunya yang cukup menyedot atensi warganet adalah kisah Ki Lurah yang melakukan segala intrik agar anak dan menantunya lolos meraih kursi kuasa. Tak peduli meski gencet sana-sini, tabrak kanan-kiri, hingga melanggar konstitusi. Masalah agama? Itu soal nanti.
Tak cukup sang bapak memimpin negara selama satu dasawarsa, Ki Lurah merasa perlu menyertakan keluarga. Agar kelak saat lengsernya, anak-anaknya tetap jaya. Jadilah politik dinasti dibangun. Tak cukup putra tertua jadi walikota, dibuatlah jalan mulus menuju kursi orang nomer dua di negara.
Pun
dengan anak menantu yang masih jadi walikota. Kini bersiap melaju ke kursi
orang nomer satu di provinsi. Untuk anak bungsu? Tentu tak ketinggalan. Bukan kader,
bukan anggota partai, tapi langsung dinisbatkan jadi ketua. Sebagai jalan mulus
menuju kursi kuasa berikutnya.
![]() |
Ilustrasi 'pembagian' kekuasaan dalam politik oligharki. Foto: Indonesia Berbagi Kebaikan/Canvapro |
Mereka
"anak-anak ajaib." Tanpa proses berpayah-payah, bisa langsung duduk
di tampuk kuasa. Tak peduli kompetensi. Yang penting tebal muka saat rakyat
mem-bully. Tak masalah minim prestasi. Yang utama mendapat jabatan bergengsi.
Bila regenerasi kepemimpinan menganut pola asal bapak berkuasa (ABB) atau
suka-suka kita (SSK) seperti ini, bagaimana nasib negeri mayoritas Muslim ini
ke depan?
Belajar
dari Orang Tua Al Fatih
Dari
realitas yang mengusik akal sehat di atas, penulis ajak untuk mengambil
pelajaran dari kisah salafus shalih tentang kesungguhan orang tua menyiapkan
pemimpin yang shalih nan tangguh. Siapa tak kenal Muhammad Al Fatih? Sosok
legendaris yang tetap menjadi inspirasi hingga kini.
Muhammad
Al-Fatih, dialah sang penakluk Konstantinopel. Ketika Al Fatih lahir, orang
tuanya melihat isyarat bahwa sang buah hati akan menjadi pemimpin besar. Jelang
kelahirannya, sang ayah, Sultan Murad II sedang mempersiapkan diri untuk
menggempur imperium Bizantium yang berbasis di Konstantinopel.
Sang
ayah pun mencarikannya guru yang paling cakap untuk membentuk karakter. Sultan
Murad II menugaskan kepada Syekh Ahmad bin Ismail Al-Qurani, ulama faqih serta
masyhur dengan berbagai keutamaan. Pada awalnya, mendidik sang anak sultan yang
terbiasa hidup mewah memang sangat berat bagi kebanyakan guru. Namun sang guru
ini memiliki kesabaran dan strategi ampuh hingga berhasil membentuk jiwanya. Hasil
didikannya membuat Al Fatih menjadi anak yang shalih. Hafiz Qur'an di usia 8
tahun.
Sesuai
kebiasaan dalam Turki Utsmani kala itu, Al Fatih dikirim untuk mencari pengalaman di Desa Manisa. Di sanalah ia
mendapatkan guru baru bernama Syekh Aaq Syamsuddin. Seorang dokter kekhalifahan
yang sangat fasih dalam ilmu fikih dan hukum Islam. Dari sang guru, Al Fatih mempelajari
banyak ilmu. Pada tahun 1451 M, Al Fatih yang baru berumur 20 tahun naik tahta
menggantikan sang ayah yang wafat setelah mengalami sakit. Ia pun menjadikan
Syekh Aaq Syamsudin sebagai penasihatnya.
Guru
yang cerdas, pelajaran mahal yang dipendamnya baru dipahami setelah sekian tahun.
Karenanya Sultan Muhammad Al Fatih berkata setelah berhasil menaklukkan benteng
Konstantinopel, "Yang menjadi penakluk sesungguhnya bukan saya, tetapi
penakluk sejati adalah guru saya, Syekh Aaq Syamsuddin."
Berkat
pendidikan karakter nan islami dari kedua guru pilihan sang ayah, Syekh Ahmad
bin Ismail Al Qurani dan Syekh Aaq Syamsuddin, jadilah Al Fatih mampu
menaklukkan benteng paling kuat dalam sejarah. 1000 tahun lebih tak tergoyahkan
dan selama 825 tahun penantian atas kebenaran Sabda Nabi akan takluknya benteng.
Tak
hanya sang ayah, bunda Al Fatih juga menyumbang kehebatan ananda. Huma Hatun
adalah ibu shalihah dan fokus dalam mendidik anaknya menjadi pemimpin besar. Setiap
selesai shalat subuh, ibunya membawa Al Fatih kecil dan menunjukkan dari
kejauhan benteng Konstantinopel yang megah itu.
Sang
ibu berkata, "Namamu adalah nama Nabi kita Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam. Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam pernah mengatakan
bahwa benteng itu pasti akan ditaklukkan. Dan kaulah yang akan
menaklukkannya". Ibu yang sudah menggambarkan kebesaran di kepala anaknya
dan dilakukan setiap hari, di waktu yang barokah pada pagi hari.
Al
Fatih pun percaya terhadap kabar gembira Nabi Shalallahu
Alaihi Wasallam, "Kota Konstantinopel akan jatuh ke
tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin, dan
pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baiknya pasukan" (HR.
Ahmad bin Hanbal).
Dari
kisah Muhammad Al Fatih, kita bisa belajar membentuk karakter generasi Islam
yang kokoh di masa depan. Sejak kecil ia dididik untuk mendalami Al-Qur'an dan
menyelesaikannya. Pun dibekali cara mengamalkan apa yang telah difirmankan
Allah Subhanahu Wa Ta'ala di
dalam kitab suci tersebut.
Yuk
Siapkan Anak Jadi Pemimpin
Dalam
Islam, keluarga tak hanya sebagai
madrasah pertama. Tapi sekaligus tempat kaderisasi generasi. Agar
tongkat estafet kepemimpinan umat Islam tidak pernah mati. Dan ini menjadi
salah satu tugas orang tua mewujudkannya. Bagaimana kiat orang tua menyiapkan
ananda menjadi pemimpin shalih nan tangguh?
Pertama,
tanamkan keimanan yang kokoh. Sejak dini, jadikan kecintaan kepada Allah dan
Rasul-Nya di atas segalanya. Penanaman keimanan ini akan menjadikan anak kita
mengenal Allah Ta'ala, Al Khaliq Al Mudabbir dan Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam, penyampai risalah
Islam. Hingga tumbuh kecintaan yang mendorongnya beramal yang dicintai Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan dicontohkan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam.
Kedua, membiasakan
dalam ketakwaan. Anak-anak harus dibiasakan bertakwa di keluarga, sekolah, dan
lingkungannya. Mereka harus berteman dengan teman-teman yang shalih-shalihah,
pun saat mengakses media dan berteman di media sosial. Orang bertakwa akan
selalu menjaga agar Allah tidak melihat dirinya di tempat yang dilarang-Nya. Sebaliknya,
selalu ada di tempat yang diperintah-Nya.
Ketiga, kenalkan
syariat Islam sejak dini. Orang tua menjelaskan hukum yang lima (ahkamul
khamsah), adab, dan akhlak. Pun mengajak ananda ke majelis ilmu untuk
memperkaya pemahaman tentang syariat Islam, berdiskusi bersama, dan sebagainya.
Seiring waktu, mereka akan rindu penerapan syariat Islam di muka bumi hingga
terdorong menyebarkan dan membela ajaran-Nya.
Ketiga,
mengasah akal anak untuk berpikir benar. Orang tua harus memberikan informasi
benar bersumber dari Al-Qur’an dan As Sunnah sebagai pijakan menilai berbagai
informasi. Pacu anak agar menggunakan akalnya untuk berpikir benar sehingga
tidak terbujuk pemikiran non-Islam. Mereka akan tahu bahwa pemikiran Islamlah
yang harus disebarkan di tengah umat.
Keempat,
memahamkan agar anak menjadikan dakwah sebagai poros kehidupan. Orang tua harus
menanamkan kepada anak sejak dini agar menjadi pembela Islam terpercaya. Maka rintangan,
tantangan, dan hambatan di jalan dakwah akan disikapi sebagai konsekuensi perjuangan.
Kelima,
melatih jiwa kepemimpinan. Anak perlu ditumbuhkan dan dilatih jiwa
kepemimpinannya. Orang tua hendaknya membuka ruang dialog yang memungkinkan
ananda mengutarakan pendapat. Atau beri kesempatan untuk memutuskan sesuatu
terkait problem dirinya. Bila dia anak sulung, beri amanah memimpin
adik-adiknya dalam melakukan banyak hal. Pun memberikan ilmu praktis terkait
kepemimpinan.
Demikian beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua dalam melahirkan pemimpin Islam di masa depan. Semoga umat Islam kembali terangkat derajatnya sebagai sebaik-baiknya umat yang dilahirkan untuk memimpin manusia, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,“Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, melakukan amar makruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah” (QS. Ali ‘Imran: 110).
Kontributor: