Tuesday, August 6, 2024

Belajar dari Abdul Hamid II: Proyek Kereta Tanpa 'Whoos' Utangnya

 


ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Whoosh! Tak hanya laju kereta apinya yang supercepat, megaproyek transportasi ini juga melesat jumlah utangnya. Total utang Indonesia dalam proyek kereta cepat yang diluncurkan pada 2 Oktober 2023 lalu, mencapai sekitar Rp 79 triliun. Artinya, dengan bunga utang 3,4%, Indonesia melalui Konsorsium Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) perlu mencicil utang sekitar Rp 226,9 miliar setiap bulannya kepada China Development Bank (CDB).

Jumlah utang yang sangat besar untuk sebuah moda transportasi, bukan? Padahal "hanya" menghubungkan Jakarta-Bandung sepanjang 142,3 km. Terlebih, banyak pihak memperkirakan proyek Whoosh (Waktu Hemat, Operasi Optimal, dan Sistem Hebat) akan sangat sulit, atau bahkan tidak mungkin untuk balik modal dan memperoleh keuntungan di masa mendatang (detik.com, 11/10/2023).

Ya, Whoosh akan menjadi utang warisan Jokowi bagi pemerintahan selanjutnya. Setidaknya hingga 30 tahun ke depan. Satu hal yang cukup menggelitik adalah, meskipun proyek ambisius ini memberikan manfaat bagi pengguna kereta api, namun bila didanai dari utang berbunga (riba), bisakah rakyat berharap barokah (kebaikan hakiki) di dalamnya? Pun, benarkah demi memenuhi kemaslahatan rakyat, bukan karena prestise penguasa atau kepentingan ekonomis para oligark?

Wakaf untuk Kereta Api Hijaz

Dari realitas Whoosh yang banyak menuai sorotan warga karena dianggap buang-buang uang negara, penulis mengajak untuk melihat sejarah pengadaan kereta api di masa silam, khususnya pada masa kejayaan peradaban Islam.

Kereta Api pada masa Abdul Hamid II. Foto: atlasobscura

Kereta Api Hijaz adalah bukti bahwa Kekhilafahan Utsmani memahami pentingnya kereta api sebagai salah satu moda transportasi. Adalah Sultan Abdul Hamid II yang menetapkan pembangunan rel kereta api yang menghubungkan Istanbul ke Hijaz setelah mengambil pendapat negarawan terkemuka. Dengan proyek tersebut, diharapkan akan memudahkan berbagai urusan umat.

Pertama, perjalanan haji menjadi lebih mudah. Jalur kereta api akan meringankan perjalanan jamaah haji. Saat itu, jamaah tiba di Madinah dari Istanbul hanya dengan karavan. Perjalanan memakan waktu dua bulan dengan banyak masalah.

Kedua, keamanan wilayah Utsmaniyah hingga Yaman akan terjamin dan pengangkutan pasukan jauh lebih mudah. Nyatanya, rel kereta api di Rumelia berguna dalam beberapa pertempuran. Juga memungkinkan untuk  mengambil tindakan pencegahan terhadap Inggris yang telah menginvasi Mesir.

Ketiga, sebagai sarana mewujudkan persatuan umat di berbagai wilayah. Sebagai institusi pemersatu umat, Khilafah Utsmaniyah sangat menekankan persatuan Islam. Pengaruh kekhalifahan juga dianggap sebagai suatu keharusan. Keberadaan jalur kereta api memudahkan kaum Muslimin bepergian, berjumpa, dan mengeratkan ukhuwah islamiyah.

Maka Sultan Abdul Hamid II memutuskan membangun rel kereta api dari Istanbul ke Hijaz, meski sulit dan mahal. Keputusan ini diterima dunia Islam dengan sukacita. Sebaliknya, orang Eropa menganggapnya sebagai proyek yang tidak mungkin terwujud.

Lantas, bagaimana cara memperoleh dana pembangunan rel kereta sementara kekhilafahan sedang mengalami masa sulit? Total biaya proyek Kereta Api Hijaz diperkirakan 4 juta lira Utsmani (sekitar 570 kg emas). Jumlah ini setara dengan hampir 20 persen dari seluruh anggaran saat itu. Luka finansial dari Perang Rusia-Turki pada tahun 1877-1878 belum sembuh dan masih membayar kompensasi perang kepada Rusia. Kekhilafahan mengalami defisit anggaran dan gaji para pejabat negara tidak dapat dibayar tepat waktu.

 

Di sisi lain, pembangunan Kereta Api Baghdad yang dikontrakkan ke Jerman sedang berlangsung. Kampanye donasi pun diluncurkan. Masyarakat dari berbagai kalangan, ulama, pejabat, dan negarawan memberikan wakaf dalam jumlah besar. Namun sumbangan itu belum cukup untuk pembangunan rel kereta api.

 

Hingga bantuan datang dari saudara seiman. Umat Muslim dari berbagai wilayah memberikan sumbangan besar. Dari Maroko, hingga Mesir, India, Afrika Selatan, dan Kazan, yang dijajah oleh Eropa. Semua wilayah Islam berlomba untuk berkontribusi. Khedive Mesir, Shah Iran, dan Nizam Hyderabad berwakaf untuk tujuan tersebut.

 

Kampanye donasi berubah menjadi megaproyek persatuan Islam dan kesetiaan kepada kekhilafahan. Non-Muslim yang tinggal di Kekhilafahan Utsmani juga berpartisipasi menyumbang. Sumbangan bahkan datang dari Eropa. Setiap donatur diberi medali Kereta Api Hijaz.

 

Penguasa Melayani, Umat Memercayai

 

Dari proyek Kereta Api Hijaz kita bisa belajar setidaknya dua hal. Pertama, kesungguhan khalifah dalam membangun jalur kereta api sebagai wujud pengaturan urusan umat. Politik dalam Islam ialah ri'ayatusy syu'unil ummah dakhiliyan wa kharajiyan bil mabda' Islam (pengaturan urusan umat di dalam dan di luar negeri berdasarkan ideologi Islam).

Ilustrasi Sultan Hamid II yang didukung dan dicintai rakyatnya. Foto: Komunitas Lietrasi Islam
 

Sementara penguasa adalah ra'in (pengurus). Dalam memelihara urusan rakyat, penguasa hendaklah seperti pelayan terhadap tuannya. Sebabnya, “Sayyidu al qawmi khadimuhum (Pemimpin kaum itu laksana pelayan mereka)” (HR. Abu Nu’aim).

 

Kedua, loyalitas umat pada kekhilafahan. Warga kekhilafahan Utsmani rela memberikan wakaf terbaik demi menyukseskan program khalifah membangun jalur Kereta Api Hijaz. Mengapa? Karena umat percaya bahwa penguasa membuatnya untuk mereka. Bukan untuk gagah-gagahan. Atau sekedar cari cuan. Trust (kepercayaan) umat ini tumbuh seiring keseriusan kinerja para pemimpin hingga masyarakat bisa merasakannya. Tanpa pembohongan. Tanpa pencitraan.

 

Dengan demikian, kunci kesuksesan program pembangunan suatu negeri adalah pada sinergitas penguasa dan rakyat. Penguasa bersungguh-sungguh melayani kemaslahatan umat sebagai kewajiban yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sementara rakyat memberikan kontribusi terbaik untuk menyukseskannya, sebagai bagian ketaatan pada pemimpin. Yang kelak juga dipertanggungjawabkan pada-Nya.

 

Sehingga terkait dana pembangunan (infrastruktur), negara tidak perlu mencari pinjaman atau berutang pada pihak lain. Apalagi jika itu utang riba yang jelas diharamkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. Bila penguasa suatu negeri menetapkan atau menrima utang riba, apakah siap berperang melawan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan Rasul-Nya?

 

Selain itu, berharap dana pembangunan dari pihak (negara/lembaga keuangan) lain, akan menurunkan marwah serta independensi negeri. Karena pihak pendonor akan leluasa menyetir pihak penerima bantuan. Terlebih bila hal tersebut dilakukan oleh penguasa di negeri Muslim. Sungguh tak patut bukan? []

 

Kontributor: Puspita Satyawati


Kirim Wakaf Terbaik untuk yang membutuhkan ke https://linktr.ee/id.berbagikebaikan