ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Whoosh! Tak hanya laju kereta apinya yang supercepat, megaproyek transportasi ini juga melesat jumlah utangnya. Total utang Indonesia dalam proyek kereta cepat yang diluncurkan pada 2 Oktober 2023 lalu, mencapai sekitar Rp 79 triliun. Artinya, dengan bunga utang 3,4%, Indonesia melalui Konsorsium Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) perlu mencicil utang sekitar Rp 226,9 miliar setiap bulannya kepada China Development Bank (CDB).
Jumlah
utang yang sangat besar untuk sebuah moda transportasi, bukan? Padahal
"hanya" menghubungkan Jakarta-Bandung sepanjang 142,3 km. Terlebih,
banyak pihak memperkirakan proyek Whoosh (Waktu Hemat, Operasi Optimal, dan
Sistem Hebat) akan sangat sulit, atau bahkan tidak mungkin untuk balik modal
dan memperoleh keuntungan di masa mendatang (detik.com, 11/10/2023).
Ya,
Whoosh akan menjadi utang warisan Jokowi bagi pemerintahan selanjutnya.
Setidaknya hingga 30 tahun ke depan. Satu hal yang cukup menggelitik adalah,
meskipun proyek ambisius ini memberikan manfaat bagi pengguna kereta api, namun
bila didanai dari utang berbunga (riba), bisakah rakyat berharap barokah
(kebaikan hakiki) di dalamnya? Pun, benarkah demi memenuhi kemaslahatan rakyat,
bukan karena prestise penguasa atau kepentingan ekonomis para oligark?
Wakaf
untuk Kereta Api Hijaz
Dari
realitas Whoosh yang banyak menuai sorotan warga karena dianggap buang-buang
uang negara, penulis mengajak untuk melihat sejarah pengadaan kereta api di
masa silam, khususnya pada masa kejayaan peradaban Islam.
![]() |
Kereta Api pada masa Abdul Hamid II. Foto: atlasobscura |
Kereta
Api Hijaz adalah bukti bahwa Kekhilafahan Utsmani memahami pentingnya kereta
api sebagai salah satu moda transportasi.
Adalah Sultan Abdul Hamid II yang menetapkan pembangunan
rel kereta api yang menghubungkan Istanbul ke Hijaz setelah mengambil pendapat
negarawan terkemuka. Dengan proyek tersebut, diharapkan akan memudahkan berbagai
urusan umat.
Pertama,
perjalanan haji menjadi lebih mudah. Jalur kereta api akan meringankan
perjalanan jamaah haji. Saat itu, jamaah tiba di Madinah dari Istanbul hanya
dengan karavan. Perjalanan memakan waktu dua bulan dengan banyak masalah.
Kedua,
keamanan wilayah Utsmaniyah hingga Yaman akan terjamin dan pengangkutan pasukan
jauh lebih mudah. Nyatanya, rel kereta api di Rumelia berguna dalam beberapa
pertempuran. Juga memungkinkan untuk
mengambil tindakan pencegahan terhadap Inggris yang telah menginvasi
Mesir.
Ketiga,
sebagai sarana mewujudkan persatuan umat di berbagai wilayah. Sebagai institusi
pemersatu umat, Khilafah Utsmaniyah sangat menekankan persatuan Islam. Pengaruh
kekhalifahan juga dianggap sebagai suatu keharusan. Keberadaan jalur kereta api
memudahkan kaum Muslimin bepergian, berjumpa, dan mengeratkan ukhuwah
islamiyah.
Maka
Sultan Abdul Hamid II memutuskan membangun rel kereta api dari Istanbul ke
Hijaz, meski sulit dan mahal. Keputusan ini diterima dunia Islam dengan
sukacita. Sebaliknya, orang Eropa menganggapnya sebagai proyek yang tidak
mungkin terwujud.
Lantas, bagaimana cara memperoleh dana pembangunan rel kereta sementara
kekhilafahan sedang mengalami masa sulit? Total biaya proyek Kereta Api Hijaz diperkirakan
4 juta lira Utsmani (sekitar 570 kg emas). Jumlah ini setara dengan hampir 20
persen dari seluruh anggaran saat itu. Luka finansial dari Perang Rusia-Turki pada
tahun 1877-1878 belum sembuh dan masih membayar kompensasi perang kepada Rusia.
Kekhilafahan mengalami defisit anggaran dan gaji para pejabat negara tidak
dapat dibayar tepat waktu.
Di sisi lain, pembangunan Kereta Api Baghdad yang dikontrakkan
ke Jerman sedang berlangsung. Kampanye donasi pun diluncurkan. Masyarakat dari
berbagai kalangan, ulama, pejabat, dan negarawan memberikan wakaf dalam jumlah
besar. Namun sumbangan itu belum cukup untuk pembangunan rel kereta api.
Hingga bantuan datang dari saudara seiman. Umat Muslim dari
berbagai wilayah memberikan sumbangan besar. Dari Maroko, hingga Mesir, India,
Afrika Selatan, dan Kazan, yang dijajah oleh Eropa. Semua wilayah Islam
berlomba untuk berkontribusi. Khedive Mesir, Shah Iran, dan Nizam Hyderabad
berwakaf untuk tujuan tersebut.
Kampanye donasi berubah menjadi megaproyek persatuan Islam dan
kesetiaan kepada kekhilafahan. Non-Muslim yang tinggal di Kekhilafahan Utsmani
juga berpartisipasi menyumbang. Sumbangan bahkan datang dari Eropa. Setiap
donatur diberi medali Kereta Api Hijaz.
Penguasa Melayani, Umat Memercayai
Dari proyek Kereta Api Hijaz kita bisa belajar setidaknya dua
hal. Pertama, kesungguhan khalifah dalam membangun jalur kereta api sebagai
wujud pengaturan urusan umat. Politik dalam Islam ialah ri'ayatusy syu'unil
ummah dakhiliyan wa kharajiyan bil mabda' Islam (pengaturan urusan umat di
dalam dan di luar negeri berdasarkan ideologi Islam).
![]() |
Ilustrasi Sultan Hamid II yang didukung dan dicintai rakyatnya. Foto: Komunitas Lietrasi Islam |
Sementara penguasa adalah ra'in (pengurus). Dalam
memelihara urusan rakyat, penguasa hendaklah seperti pelayan terhadap tuannya.
Sebabnya, “Sayyidu al qawmi khadimuhum (Pemimpin kaum itu laksana pelayan
mereka)” (HR. Abu Nu’aim).
Kedua, loyalitas umat pada kekhilafahan. Warga
kekhilafahan Utsmani rela memberikan wakaf terbaik demi menyukseskan program
khalifah membangun jalur Kereta Api Hijaz. Mengapa? Karena umat percaya bahwa
penguasa membuatnya untuk mereka. Bukan untuk gagah-gagahan. Atau sekedar cari cuan.
Trust (kepercayaan) umat ini tumbuh seiring keseriusan kinerja para
pemimpin hingga masyarakat bisa merasakannya. Tanpa pembohongan. Tanpa
pencitraan.
Dengan demikian, kunci kesuksesan program
pembangunan suatu negeri adalah pada sinergitas penguasa dan rakyat. Penguasa
bersungguh-sungguh melayani kemaslahatan umat sebagai kewajiban yang kelak
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sementara
rakyat memberikan kontribusi terbaik untuk menyukseskannya, sebagai bagian
ketaatan pada pemimpin. Yang kelak juga dipertanggungjawabkan pada-Nya.
Sehingga terkait dana pembangunan (infrastruktur),
negara tidak perlu mencari pinjaman atau berutang pada pihak lain. Apalagi jika
itu utang riba yang jelas diharamkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan
Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. Bila penguasa suatu negeri menetapkan
atau menrima utang riba, apakah siap berperang melawan Allah Subhanahu Wa
Ta'ala dan Rasul-Nya?
Selain itu, berharap dana pembangunan dari
pihak (negara/lembaga keuangan) lain, akan menurunkan marwah serta independensi
negeri. Karena pihak pendonor akan leluasa menyetir pihak penerima bantuan. Terlebih
bila hal tersebut dilakukan oleh penguasa di negeri Muslim. Sungguh tak patut
bukan? []
Kontributor:
Puspita Satyawati
Kirim Wakaf Terbaik untuk yang membutuhkan ke https://linktr.ee/id.berbagikebaikan