ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Shin Tae-yong (STY) dipecat, warganet sibuk berdebat. Setelah PSSI resmi mendepak STY sebagai pelatih Timnas Indonesia pada 6 Januari 2025, warganet melontarkan pro kontra. Kubu pro pemecatan STY berpendapat, perubahan pelatih perlu untuk meningkatkan dinamika tim dan menyelaraskan visi antara pelatih dan pemain. Adapun penggemar STY merasa kecewa, mengingat kontraknya masih tersisa hingga 2027 dan ada harapan lebih besar terhadap kinerja tim. "Terima kasih STY" dan "Coach Shin" pun sempat menjadi trending topic.
STY dipecat setelah gagal membawa Garuda ke semifinal
Piala AFF 2024 usai dikalahkan Filipina di matchday terakhir Grup B. Namun ini
bukanlah alasan tunggal pemecatan. PSSI sebelumnya mengevaluasi kinerja sang
pelatih di kualifikasi Piala Dunia 2026, khususnya di pertandingan China vs
Indonesia pada Oktober 2024. Diduga, pemecatan STY karena dinilai tak mampu
membawa Timnas Indonesia pada Piala Dunia 2026, sementara menurut Ketua Umum
PSSI, Erick Thohir, Timnas berpeluang lolos ke Piala Dunia 2026 (detik.com,
6/1/2025).
Terlepas dari pro kontra pemecatan STY, satu hal yang
perlu disorot adalah besaran gaji pelatih timnas. STY dikabarkan menerima gaji
lebih besar pada periode kedua kontraknya (2024-2027), yaitu sekitar Rp 1,9
miliar per bulan atau Rp 23,6 miliar per tahun. Sementara penggantinya, Patrick
Kluivert diperkirakan akan menerima gaji sekitar Rp 1,3 miliar-Rp 1,5 miliar
per bulan (kompas.com, 16/1/2025).
Angka yang fantastis bukan? Bandingkan dengan gaji buruh dengan standar UMR
sekitar 2-5 jutaan rupiah. Apalagi gaji guru honorer. Di beberapa daerah, gaji
para pendidik generasi ini di bawah standar UMR, yaitu sekitar Rp300.000 hingga
Rp1.000.000 setiap bulannya. Sungguh kesenjangan pendapatan yang luar biasa. Benarkah
demi negara meraih prestise, pelatih Timnas harus dapat gaji fantastis?
Pelatih timnas Shin Tae-yong dipecat. Foto: suara.com/canva
Dana untuk Rakyat
Ketua Umum PSSI, Erick Thohir mengemukakan, dukungan
pendanaan dari pemerintah sebesar Rp227 miliar untuk penyelenggaraan program
PSSI mulai disalurkan pada Januari 2025. Pemerintah menambah alokasi dana untuk
PSSI dari Rp150 miliar per tahun menjadi Rp227 miliar per tahun. Ia
menjelaskan, untuk membiayai seluruh program PSSI, dengan mengikutsertakan
program Timnas pada semua kategori, dibutuhkan dana berkisar Rp500-Rp600
miliar. Selain dana dari pemerintah, PSSI menjalin kemitraan dengan 25 partner
dari sektor swasta dan sudah terkumpul dana sekitar Rp400 miliar
(antaranews.com, 10/12/2024).
Lantas dengan pengeluaran sebanyak itu, adakah pengaruh
yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi rakyat? Pada industri sepak bola
global, liga-liga top Eropa seperti Premier League dan La Liga Spanyol memang menghasilkan
miliaran dolar per tahun dari hak siar televisi, sponsorship, penjualan
tiket, dan merchandise.
Kemenangan sebuah tim
sepakbola dalam Piala Dunia juga biasa disambut euforia yang berdampak
pada peningkatan konsumsi domestik. Orang banyak membeli jersey dan
pernak-pernik sepakbola. Perusahaan besar juga tak segan mengeluarkan dana
besar untuk beriklan, ujungnya menciptakan efek ganda bagi perekonomian.
Hanya saja, kondisi di atas tidak terjadi di Indonesia.
Selain itu, kalaupun tim sepakbola Indonesia jaya hingga berdampak secara
ekonomi sebagaimana yang terjadi di Eropa, yang menuai keuntungan tetaplah
hanya segelintir orang. Tidak berdampak secara umum untuk mendongkrak kesejahteraan
rakyat.
Ironis. Pemerintah mengeluarkan dana banyak guna membiayai
sepakbola dan membayar gaji pelatihnya, sementara masih banyak warga negara
menahan lapar akibat tak bisa makan. Secara data, Indonesia berada pada posisi kedua negara dengan indeks kelaparan tertinggi
di ASEAN. Adapun Singapura dan Brunei Darussalam tidak tercatat di dalam GHI.
GHI adalah alat untuk mengukur dan melacak kelaparan
secara komprehensif pada tingkat global, regional, dan nasional. Skor indeks
kelaparan global ini mengacu pada empat indikator komponen yaitu: kekurangan
gizi (undernourishment), pemborosan anak (child wasting),
pertumbuhan terhambat anak (child stunting), dan kematian anak (child
mortality). Keempat indikator ini dirumuskan ke dalam skor berskala 1-100.
Semakin tinggi skornya maka kondisi kelaparan di sebuah negara semakin buruk.
Terlebih di tengah derita rakyat dengan situasi ekonomi
terpuruk saat ini. PHK di sana-sini, lapangan kerja tak memadai, harga
kebutuhan pokok yang meninggi. Bukankah lebih bermaslahat, bila dana selangit
diprioritaskan demi memperbaiki kondisi perekonomian dan memerikan
kesejahteraan pada rakyat? Jangan sekadar mengejar prestise di mata dunia, tapi
melalaikan hakikat keberadaan negara sebagai pengatur urusan rakyat yang salah
satunya memenuhi kebutuhan asasiyah mereka.
Olahraga dalam Islam
Dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini, pandangan
hidup manusia berlandaskan pada asas manfaat. Mereka bukan hidup untuk Islam
dan umatnya, apalagi persiapan bagi kehidupan akhirat. Namun, hidup untuk
kesenangan duniawi dan materi. Dunia olahraga pun disulap menjadi industri
untuk mewujudkan ambisi materi, duniawi, dan popularitas.
Para olahragawan dan atlet pun telah menjelma menjadi
selebritis yang diburu oleh media dan penggemar, kemudian diikuti dengan iklan
dan pendapatan yang melimpah. Mereka juga sebagai alat meraih prestise atau
keharuman nama bangsa. Tak jarang, negara jor-joran membiayai tim yang berlaga
di kontestasi olahraga tingkat internasional. Bahkan bonus miliaran tak segan
diberikan bagi atlet pemenang lomba. Lalu bagaimana Islam memandang tentang
olahraga?
Pada prinsipnya, semua urusan kehidupan termasuk kegiatan
olahraga karena harus diatur, baik dengan Al-Qur’an maupun Sunah Rasulullah.
Pengaturan itu bukan karena tradisi, budaya, atau karena populer dan digandrungi.
Bila ternyata bertentangan dengan syariat Allah harus dilarang. Syariatlah yang
menjadi pemutus atas individu, jemaah, dan negara. Syariat pulalah penentu perasaan
dan perilaku manusia.
![]() |
Olahraga dalam Islam untuk menjaga kebugaran tubuh dan kesiapan pada panggilan jihad. Foto: FoToArtis/canva |
Ketika hukum Islam diterapkan dalam seluruh aspek
kehidupan di bawah naungan khilafah, kehidupan kaum Muslimin dipenuhi dengan cita-cita
Islam yang agung dan mulia, yaitu i’la’i kalimatillah (menjunjung tinggi
kalimah Allah) dengan dakwah dan jihad, guna mengemban dan menyebarkan risalah
Islam ke seluruh dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pun bersabda, “Sesungguhnya
melancong dan rekreasi umatku adalah berjihad di jalan Allah” (HR. Abu
Dawud, Hakim, Baihaqi, dan Ath-Thabrani).
Ini menjadi bukti bahwa kehidupan umat Islam tidak
dipenuhi dengan senda-gurau, main-main, dan santai, tetapi kehidupan yang
serius. Meski tidak berarti, tidak boleh diselingi sesekali dengan santai dan
senda-gurau. Namun, selingan tetap selingan. Bukan justru selingan ini
mendominasi waktu dan hari-hari seorang Muslim.
Maka ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan agar
kita mengajarkan renang, berkuda, dan memanah kepada anak-anak, konteks
perintah tersebut ada dua. Pertama, menjaga kebugaran tubuh agar tetap sehat. Kedua,
melatih kekuatan fisik untuk persiapan berjihad di jalan Allah. Tidak lebih
dari itu.
Oleh karena itu, olahraga diperlukan dalam dua konteks
ini. Bukan untuk olahraga itu sendiri, juga bukan untuk mendapatkan dan
mengumpulkan harta. Bukan pula untuk mendapatkan popularitas dan ketenaran,
yang diikuti dengan arogansi, kesombongan, serta sikap destruktif lainnya,
sebagaimana yang banyak ditunjukkan oleh olahragawan dan atlet saat ini.
Dengan kata lain, olahraga ini di-set up sedemikian rupa
sebagai bagian dari aktivitas politik dan ideologis. Inilah tujuan dan konteks
olahraga, yang pada era permulaan Islam dikenal dengan istilah furusiyyah (latihan
berkuda untuk menjadi ksatria), yaitu untuk memberikan, membela, dan
mengembalikan hak-hak yang dirampas dari pemiliknya.
Dalam konteks inilah, olahraga ini disyariatkan. Allah
ta'ala berfirman, “Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang
mampu kalian upayakan” (QS. Al-Anfal: 60). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang mukmin yang kuat
lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah, daripada orang mukmin yang lemah.”
Jihad sebagai ujung tombak Islam dan syariat Allah untuk
meraih kemuliaan di dunia dan akhirat, jelas membutuhkan kebugaran badan. Dalam
hal ini, olahraga dan latihan fisik tentu berperan. Sebagai contoh, keahlian
memanah, melempar lembing, dan menembak, sangat dibutuhkan dalam berjihad.
Pun kebugaran fisik merupakan prasyarat berjihad. Ini
membutuhkan latihan dan olahraga, seperti jalan kaki, lari, berenang membantu
kesehatan serta pernafasan. Selain itu, olahraga seperti karate, taekwondo,
kungfu, dan bela diri lainnya berguna untuk mempertahankan diri dan menyerang
lawan.
Hanya saja, olahraga tersebut bukan untuk olahraga itu
sendiri sehingga tidak untuk diperlombakan, sekaligus menjadi ajang pertunjukan,
tontonan, dan bisnis. Karena tradisi perlombaan tidak ada dalam budaya Islam.
Ini merupakan budaya Yunani dengan gimnasiumnya, dan ada sebelum Islam. Ketika
Islam berkuasa, budaya dan tradisi seperti ini tidak pernah ditemukan dalam
kehidupan Islam. Dengan demikian, apa yang kini berlangsung di tengah kaum
Muslimin, sesungguhnya bukan warisan budaya Islam dan bertentangan dengan
cita-cita Islam. []
Kontributor: Puspita Satyawati (Pemimpin Redaksi Muslimah
Inspiratif, Narasumber Kajian Keislaman)