Thursday, January 16, 2025

STY Dipecat, Netizen Berdebat

Pro Kontra Shin Tae-yong Dipecat

 

ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Shin Tae-yong (STY) dipecat, warganet sibuk berdebat. Setelah PSSI resmi mendepak STY sebagai pelatih Timnas Indonesia pada 6 Januari 2025, warganet melontarkan pro kontra. Kubu pro pemecatan STY berpendapat, perubahan pelatih perlu untuk meningkatkan dinamika tim dan menyelaraskan visi antara pelatih dan pemain. Adapun penggemar STY merasa kecewa, mengingat kontraknya masih tersisa hingga 2027 dan ada harapan lebih besar terhadap kinerja tim. "Terima kasih STY" dan "Coach Shin" pun sempat menjadi trending topic.

STY dipecat setelah gagal membawa Garuda ke semifinal Piala AFF 2024 usai dikalahkan Filipina di matchday terakhir Grup B. Namun ini bukanlah alasan tunggal pemecatan. PSSI sebelumnya mengevaluasi kinerja sang pelatih di kualifikasi Piala Dunia 2026, khususnya di pertandingan China vs Indonesia pada Oktober 2024. Diduga, pemecatan STY karena dinilai tak mampu membawa Timnas Indonesia pada Piala Dunia 2026, sementara menurut Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, Timnas berpeluang lolos ke Piala Dunia 2026 (detik.com, 6/1/2025).

Terlepas dari pro kontra pemecatan STY, satu hal yang perlu disorot adalah besaran gaji pelatih timnas. STY dikabarkan menerima gaji lebih besar pada periode kedua kontraknya (2024-2027), yaitu sekitar Rp 1,9 miliar per bulan atau Rp 23,6 miliar per tahun. Sementara penggantinya, Patrick Kluivert diperkirakan akan menerima gaji sekitar Rp 1,3 miliar-Rp 1,5 miliar per bulan (kompas.com, 16/1/2025).

Angka yang fantastis bukan? Bandingkan dengan gaji buruh dengan standar UMR sekitar 2-5 jutaan rupiah. Apalagi gaji guru honorer. Di beberapa daerah, gaji para pendidik generasi ini di bawah standar UMR, yaitu sekitar Rp300.000 hingga Rp1.000.000 setiap bulannya. Sungguh kesenjangan pendapatan yang luar biasa. Benarkah demi negara meraih prestise, pelatih Timnas harus dapat gaji fantastis?

 

Shin Tae-Yong
Pelatih timnas Shin Tae-yong dipecat. Foto: suara.com/canva

Dana untuk Rakyat

Ketua Umum PSSI, Erick Thohir mengemukakan, dukungan pendanaan dari pemerintah sebesar Rp227 miliar untuk penyelenggaraan program PSSI mulai disalurkan pada Januari 2025. Pemerintah menambah alokasi dana untuk PSSI dari Rp150 miliar per tahun menjadi Rp227 miliar per tahun. Ia menjelaskan, untuk membiayai seluruh program PSSI, dengan mengikutsertakan program Timnas pada semua kategori, dibutuhkan dana berkisar Rp500-Rp600 miliar. Selain dana dari pemerintah, PSSI menjalin kemitraan dengan 25 partner dari sektor swasta dan sudah terkumpul dana sekitar Rp400 miliar (antaranews.com, 10/12/2024).

Lantas dengan pengeluaran sebanyak itu, adakah pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi rakyat? Pada industri sepak bola global, liga-liga top Eropa seperti Premier League dan La Liga Spanyol memang menghasilkan miliaran dolar per tahun dari hak siar televisi, sponsorship, penjualan tiket, dan merchandise.

Kemenangan sebuah tim  sepakbola dalam Piala Dunia juga biasa disambut euforia yang berdampak pada peningkatan konsumsi domestik. Orang banyak membeli jersey dan pernak-pernik sepakbola. Perusahaan besar juga tak segan mengeluarkan dana besar untuk beriklan, ujungnya menciptakan efek ganda bagi perekonomian.

Hanya saja, kondisi di atas tidak terjadi di Indonesia. Selain itu, kalaupun tim sepakbola Indonesia jaya hingga berdampak secara ekonomi sebagaimana yang terjadi di Eropa, yang menuai keuntungan tetaplah hanya segelintir orang. Tidak berdampak secara umum untuk mendongkrak kesejahteraan rakyat.

Ironis. Pemerintah mengeluarkan dana banyak guna membiayai sepakbola dan membayar gaji pelatihnya, sementara masih banyak warga negara menahan lapar akibat tak bisa makan. Secara data, Indonesia berada pada posisi kedua negara dengan indeks kelaparan tertinggi di ASEAN. Adapun Singapura dan Brunei Darussalam tidak tercatat di dalam GHI.

GHI adalah alat untuk mengukur dan melacak kelaparan secara komprehensif pada tingkat global, regional, dan nasional. Skor indeks kelaparan global ini mengacu pada empat indikator komponen yaitu: kekurangan gizi (undernourishment), pemborosan anak (child wasting), pertumbuhan terhambat anak (child stunting), dan kematian anak (child mortality). Keempat indikator ini dirumuskan ke dalam skor berskala 1-100. Semakin tinggi skornya maka kondisi kelaparan di sebuah negara semakin buruk.  

Terlebih di tengah derita rakyat dengan situasi ekonomi terpuruk saat ini. PHK di sana-sini, lapangan kerja tak memadai, harga kebutuhan pokok yang meninggi. Bukankah lebih bermaslahat, bila dana selangit diprioritaskan demi memperbaiki kondisi perekonomian dan memerikan kesejahteraan pada rakyat? Jangan sekadar mengejar prestise di mata dunia, tapi melalaikan hakikat keberadaan negara sebagai pengatur urusan rakyat yang salah satunya memenuhi kebutuhan asasiyah mereka.

 

Olahraga dalam Islam

Dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini, pandangan hidup manusia berlandaskan pada asas manfaat. Mereka bukan hidup untuk Islam dan umatnya, apalagi persiapan bagi kehidupan akhirat. Namun, hidup untuk kesenangan duniawi dan materi. Dunia olahraga pun disulap menjadi industri untuk mewujudkan ambisi materi, duniawi, dan popularitas.

Para olahragawan dan atlet pun telah menjelma menjadi selebritis yang diburu oleh media dan penggemar, kemudian diikuti dengan iklan dan pendapatan yang melimpah. Mereka juga sebagai alat meraih prestise atau keharuman nama bangsa. Tak jarang, negara jor-joran membiayai tim yang berlaga di kontestasi olahraga tingkat internasional. Bahkan bonus miliaran tak segan diberikan bagi atlet pemenang lomba. Lalu bagaimana Islam memandang tentang olahraga?

Pada prinsipnya, semua urusan kehidupan termasuk kegiatan olahraga karena harus diatur, baik dengan Al-Qur’an maupun Sunah Rasulullah. Pengaturan itu bukan karena tradisi, budaya, atau karena populer dan digandrungi. Bila ternyata bertentangan dengan syariat Allah harus dilarang. Syariatlah yang menjadi pemutus atas individu, jemaah, dan negara. Syariat pulalah penentu perasaan dan perilaku manusia.

Hukum olahraga dalam Islam
Olahraga dalam Islam untuk menjaga kebugaran tubuh dan kesiapan pada panggilan jihad. Foto: FoToArtis/canva

Ketika hukum Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan di bawah naungan khilafah, kehidupan kaum Muslimin dipenuhi dengan cita-cita Islam yang agung dan mulia, yaitu i’la’i kalimatillah (menjunjung tinggi kalimah Allah) dengan dakwah dan jihad, guna mengemban dan menyebarkan risalah Islam ke seluruh dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Sesungguhnya melancong dan rekreasi umatku adalah berjihad di jalan Allah” (HR. Abu Dawud, Hakim, Baihaqi, dan Ath-Thabrani).

Ini menjadi bukti bahwa kehidupan umat Islam tidak dipenuhi dengan senda-gurau, main-main, dan santai, tetapi kehidupan yang serius. Meski tidak berarti, tidak boleh diselingi sesekali dengan santai dan senda-gurau. Namun, selingan tetap selingan. Bukan justru selingan ini mendominasi waktu dan hari-hari seorang Muslim.

Maka ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kita mengajarkan renang, berkuda, dan memanah kepada anak-anak, konteks perintah tersebut ada dua. Pertama, menjaga kebugaran tubuh agar tetap sehat. Kedua, melatih kekuatan fisik untuk persiapan berjihad di jalan Allah. Tidak lebih dari itu.

Oleh karena itu, olahraga diperlukan dalam dua konteks ini. Bukan untuk olahraga itu sendiri, juga bukan untuk mendapatkan dan mengumpulkan harta. Bukan pula untuk mendapatkan popularitas dan ketenaran, yang diikuti dengan arogansi, kesombongan, serta sikap destruktif lainnya, sebagaimana yang banyak ditunjukkan oleh olahragawan dan atlet saat ini.

Dengan kata lain, olahraga ini di-set up sedemikian rupa sebagai bagian dari aktivitas politik dan ideologis. Inilah tujuan dan konteks olahraga, yang pada era permulaan Islam dikenal dengan istilah furusiyyah (latihan berkuda untuk menjadi ksatria), yaitu untuk memberikan, membela, dan mengembalikan hak-hak yang dirampas dari pemiliknya.

Dalam konteks inilah, olahraga ini disyariatkan. Allah ta'ala berfirman, “Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang mampu kalian upayakan” (QS. Al-Anfal: 60). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah, daripada orang mukmin yang lemah.”

Jihad sebagai ujung tombak Islam dan syariat Allah untuk meraih kemuliaan di dunia dan akhirat, jelas membutuhkan kebugaran badan. Dalam hal ini, olahraga dan latihan fisik tentu berperan. Sebagai contoh, keahlian memanah, melempar lembing, dan menembak, sangat dibutuhkan dalam berjihad.

Pun kebugaran fisik merupakan prasyarat berjihad. Ini membutuhkan latihan dan olahraga, seperti jalan kaki, lari, berenang membantu kesehatan serta pernafasan. Selain itu, olahraga seperti karate, taekwondo, kungfu, dan bela diri lainnya berguna untuk mempertahankan diri dan menyerang lawan.

Hanya saja, olahraga tersebut bukan untuk olahraga itu sendiri sehingga tidak untuk diperlombakan, sekaligus menjadi ajang pertunjukan, tontonan, dan bisnis. Karena tradisi perlombaan tidak ada dalam budaya Islam. Ini merupakan budaya Yunani dengan gimnasiumnya, dan ada sebelum Islam. Ketika Islam berkuasa, budaya dan tradisi seperti ini tidak pernah ditemukan dalam kehidupan Islam. Dengan demikian, apa yang kini berlangsung di tengah kaum Muslimin, sesungguhnya bukan warisan budaya Islam dan bertentangan dengan cita-cita Islam. []

 

Kontributor: Puspita Satyawati (Pemimpin Redaksi Muslimah Inspiratif, Narasumber Kajian Keislaman)