ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Queen of Trad Wife (Ratunya Istri Tradisional). Julukan sarkastik ini viral disematkan oleh warganet kepada Hannah "Ballerina Farm". Dia seorang konten kreator sekaligus ibu delapan anak yang mengerjakan aktivitas rumah tangga secara mandiri. Tanpa asisten rumah tangga. Dari membuat roti, mencuci baju, hingga memasak sambil menggendong bayi.
Sebelumnya Hannah dikenal sebagai penari balet bertalenta. Pun sempat meraih Miss New York City. Namun dengan segala potensinya, dia rela mengikuti suaminya yang milyader dan hidup sederhana di sebuah peternakan (beautynesia.id, 1/8/2024).
Kisah
unik Hannah kini memicu pro kontra. Kaum feminis menilainya terjebak dalam
budaya patriarki pasca pernikahan. Sebuah bentuk dominasi lelaki sekaligus menempatkan
perempuan pada posisi subordinasi. Bagi mereka, saat dunia istri (ibu) hanya di
rumah dan sibuk mengerjakan aktivitas domestik (kerumahtanggaan), inilah wujud
penindasan terhadap kaum hawa. Padahal Hannah mengaku bahagia dengan pilihan hidupnya
saat ini dan tengah mengejar impian mewujudkan Ballerina Farm.
![]() |
Dapur menjadi spot favorit dari konten Hannah Ballerina Farm. Foto: Facebook/Ballerina Farm |
Perempuan
Berharga karena Harta?
"Sekolah
tinggi-tinggi kok hanya jadi ibu rumah tangga (IRT)." Pasti Anda sering
mendengar komentar begini ‘kan? Menjadi seorang IRT nyatanya bukan
status idaman nan menawan. Khususnya bagi kebanyakan orang di masa sekarang.
IRT
identik dengan sosok perempuan yang hanya tinggal di rumah, hidup seputar
dapur, sumur, kasur, dan pupur (bedak).
Bahkan ada yang julid mengatakan, "Udah enggak menghasilkan uang, suka
ngabisin duit suami lagi!"
Mengapa
IRT dianggap sebagai status rendahan? Karena sudut pandangnya memakai kaca mata
kapitalisme (materialisme). Sebuah paham hidup yang menghargai segala sesuatu
berdasarkan materi (harta). Bagi kapitalis, time is money. Pertama
adalah uang. Kedua duit. Ketiga cuan. Uang seolah jadi Tuhan.
Pun
soal menghargai sesama manusia. Bagi mereka, standar sukses ialah saat orang
memiliki jabatan tinggi, gaji fantastis, rumah mewah, harta melimpah rauh, dan
seabrek peraihan materiil lainnya. Tak peduli upaya meraihnya apakah dengan
cara halal atau haram. Jadilah kelompok manusia berkantong tebal ini menjadi
entitas yang biasa dipuja-puji.
Berdasarkan
pandangan tersebut, ‘wajar’ bila peran rumahan IRT dinilai murahan. Tak
berguna. Tidak produktif. Karena tidak menghasilkan uang. Meski telah
mengucurkan keringat dan banting tulang untuk mencuci, memasak, beberes rumah, mengasuh
anak, dan lain-lain. Dari bangun tidur hingga mau tidur lagi. Sejak terbit
matahari hingga terlelap mata suami. Bagi manusia matre, aktivitas
domestik enggak berharga sama sekali.
Para
pemuja kapitalisme menempatkan perempuan berharga kala dia mampu
mengaktualisasikan potensi dan menunjukkan eksistensi diri di hadapan publik.
Dan yang utama, bisa memproduksi pundi-pundi uang. Kini atas nama pemberdayaan
perempuan, kaum hawa didorong untuk bekerja. Setara dengan lelaki. Bahkan kalau
bisa, melebihi peran kaum Adam. Terlebih di masa krisis ekonomi seperti
sekarang, pandangan ini seolah mendapat pembenaran.
Sayangnya,
banyak Muslimah terjerat pesona cara pandang kapitalisme ini. Berdalih
pemberdayaan, optimalisasi potensi, serta aktualisasi, mereka berlomba-lomba
keluar rumah. Untuk bekerja atau beraktivitas lainnya hingga terkadang mengambil
peran yang mestinya dimainkan oleh kaum laki-laki. Ujung-ujungnya, bagi yang
tak mampu menyelaraskan dengan kewajibannya, urusan domestik akan terbengkalai,
anak kurang dibelai, hingga relasi dengan pasangan kian hambar.
Fitrah
nan Istimewa
Padahal Islam telah memberikan
keistimewaan pada perempuan. Cukuplah sabda Rasulullah ﷺ berikut menggambarkannya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, seseorang datang kepada Rasululullah ﷺ dan bertanya, "Wahai
Rasulullah, kepada siapa aku harus berbakti pertama kali? Rasulullah ﷺ menjawab,
"Ibumu." Orang tersebut
kembali bertanya, "Kemudian siapa lagi?" Rasulullah shalallahu alaihi
wasallam menjawab, "Ibumu." Orang tersebut bertanya kembali,
"Lalu siapa lagi?" Beliau menjawab, "Ibumu." Orang tersebut
masih bertanya, "Lantas siapa lagi?" Rasulullah shalallahu alaihi
wasallam pun menjawab, "Ayahmu" (HR. Bukhari
Muslim).
Ibumu. Ibumu. Ibumu. Masya
Allah... Peran ibu begitu istimewa karena dari tangannyalah kehidupan
seorang manusia bermula. Bersusah-payah mengandung janin selama sembilan bulan
dengan segala kelemahan dan keletihan. Lalu melahirkan sang bayi dengan taruhan
hidup mati. Bahkan sebagian ibu mengalami drama kehamilan hingga kelahiran yang
beralur plot twist. Maka layak bila seorang perempuan meninggal saat
melahirkan, terkategori sebagai mati syahid.
Pun setelah sang buah hati
lahir, ibu menyusuinya dengan air susu ibu (ASI) sebagai asupan terbaik
anugerah Ilahi. Kemudian mengasuh dan mendidik ananda hingga dewasa dan
mengerti sejatinya hidup untuk apa dan demi siapa. Bila seorang perempuan
meninggalkan fitrah keibuan; mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh, dan
mendidik anak, lantas siapa yang akan melakukannya? Lalu bagaimana nasib
generasi dan keluarga?
![]() |
Ilustrasi pengasuhan ibu di rumah. Foto: Amazing Sedekah/Canvapro |
Ya, dalam Islam seorang
perempuan memang dipersiapkan menjadi ibu dan istri. Dalam kitab Muqaddimah
Dustuur terdapat sebuah kaidah: Al Ashlu fil mar'ati annahaa ummun wa
rabbatul baiti wa hiya 'irdhun an yushana (hukum asal seorang perempuan
sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, dialah kehormatan yang wajib dijaga).
Sebagai ibu, bertugas
mengandung hingga mendidik putra-putrinya agar menjadi generasi penerus
perjuangan Islam serta peletak peradaban Rabbani. Sebagai pengatur
(manajer) rumah tangga, bersama sang suami mengelola urusan rumah tangga agar
tercipta rumahku surgaku. Tempat ternyaman bagi anggota keluarga pulang. Pun
sebagai madrasah pertama bagi ananda sebelum mengenal sekolah formal atau
nonformal.
Tanpa perempuan yang rela
mendedikasikan hidupnya sebagai ibu, mungkinkah tercipta generasi qurrota
a'yyun yang menjadi permata umat dan siap melanjutkan estafet perjuangan
orang-orang terdahulu? Terkait luar biasanya peran ibu, sejenak kita melongok kisah
kesuksesan para salafus shalih.
Berkat asuhan cerdas sang
bunda, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal menjadi ulama besar
dan imam mazhab. Kemuliaan Fatimah Az Zahra adalah bukti keberadaan ibu yang
mendidiknya dengan segenap keutamaan berbalut kasih sayang. Shalahuddin Al
Ayyubi lahir dari seorang ibu visioner yang bercita-cita memiliki putra
pembebas Baitul Maqdis.
Jelas peran ibu (istri)
bukanlah main-main. Ia bukan peran rendahan apalagi murahan! Seperti penilaian
kebanyakan orang. Bila Allah Subhanahu wa Taala dan Rasulullah ﷺ saja memberikan kemuliaan,
mengapa kebanyakan manusia justru memandang sebelah mata? Dengan demikian,
menjadi seorang trad wife itu bukanlah aib yang memalukan. Tapi sebuah fitrah
yang penuh dengan keistimewaan. []
Kontributor: Puspita Satyawati
Kirimkan Wakaf Jariyah Link ke https://linktr.ee/id.berbagikebaikan