Sunday, August 4, 2024

MENJADI TRAD WIFE ITU, ISTIMEWA


ID.BERBAGIKEBAIKAN.COM- Queen of Trad Wife (Ratunya Istri Tradisional). Julukan sarkastik ini viral disematkan oleh warganet kepada Hannah "Ballerina Farm". Dia seorang konten kreator sekaligus ibu delapan anak yang mengerjakan aktivitas rumah tangga secara mandiri. Tanpa asisten rumah tangga. Dari membuat roti, mencuci baju, hingga memasak sambil menggendong bayi.

Sebelumnya Hannah dikenal sebagai penari balet bertalenta. Pun sempat meraih Miss New York City. Namun dengan segala potensinya, dia rela mengikuti suaminya yang milyader dan hidup sederhana di sebuah peternakan (beautynesia.id, 1/8/2024).

Kisah unik Hannah kini memicu pro kontra. Kaum feminis menilainya terjebak dalam budaya patriarki pasca pernikahan. Sebuah bentuk dominasi lelaki sekaligus menempatkan perempuan pada posisi subordinasi. Bagi mereka, saat dunia istri (ibu) hanya di rumah dan sibuk mengerjakan aktivitas domestik (kerumahtanggaan), inilah wujud penindasan terhadap kaum hawa. Padahal  Hannah mengaku bahagia dengan pilihan hidupnya saat ini dan tengah mengejar impian mewujudkan Ballerina Farm.

Dapur menjadi spot favorit dari konten Hannah Ballerina Farm. Foto: Facebook/Ballerina Farm

Perempuan Berharga karena Harta?

"Sekolah tinggi-tinggi kok hanya jadi ibu rumah tangga (IRT)." Pasti Anda sering mendengar komentar begini ‘kan? Menjadi seorang IRT nyatanya bukan status idaman nan menawan. Khususnya bagi kebanyakan orang di masa sekarang.

IRT identik dengan sosok perempuan yang hanya tinggal di rumah, hidup seputar dapur, sumur, kasur, dan pupur (bedak).  Bahkan ada yang julid mengatakan, "Udah enggak menghasilkan uang, suka ngabisin duit suami lagi!"

Mengapa IRT dianggap sebagai status rendahan? Karena sudut pandangnya memakai kaca mata kapitalisme (materialisme). Sebuah paham hidup yang menghargai segala sesuatu berdasarkan materi (harta). Bagi kapitalis, time is money. Pertama adalah uang. Kedua duit. Ketiga cuan. Uang seolah jadi Tuhan.

Pun soal menghargai sesama manusia. Bagi mereka, standar sukses ialah saat orang memiliki jabatan tinggi, gaji fantastis, rumah mewah, harta melimpah rauh, dan seabrek peraihan materiil lainnya. Tak peduli upaya meraihnya apakah dengan cara halal atau haram. Jadilah kelompok manusia berkantong tebal ini menjadi entitas yang biasa dipuja-puji.   

Berdasarkan pandangan tersebut, ‘wajar’ bila peran rumahan IRT dinilai murahan. Tak berguna. Tidak produktif. Karena tidak menghasilkan uang. Meski telah mengucurkan keringat dan banting tulang untuk mencuci, memasak, beberes rumah, mengasuh anak, dan lain-lain. Dari bangun tidur hingga mau tidur lagi. Sejak terbit matahari hingga terlelap mata suami. Bagi manusia matre, aktivitas domestik enggak berharga sama sekali.

Para pemuja kapitalisme menempatkan perempuan berharga kala dia mampu mengaktualisasikan potensi dan menunjukkan eksistensi diri di hadapan publik. Dan yang utama, bisa memproduksi pundi-pundi uang. Kini atas nama pemberdayaan perempuan, kaum hawa didorong untuk bekerja. Setara dengan lelaki. Bahkan kalau bisa, melebihi peran kaum Adam. Terlebih di masa krisis ekonomi seperti sekarang, pandangan ini seolah mendapat pembenaran.

Sayangnya, banyak Muslimah terjerat pesona cara pandang kapitalisme ini. Berdalih pemberdayaan, optimalisasi potensi, serta aktualisasi, mereka berlomba-lomba keluar rumah. Untuk bekerja atau beraktivitas lainnya hingga terkadang mengambil peran yang mestinya dimainkan oleh kaum laki-laki. Ujung-ujungnya, bagi yang tak mampu menyelaraskan dengan kewajibannya, urusan domestik akan terbengkalai, anak kurang dibelai, hingga relasi dengan pasangan kian hambar.

Fitrah nan Istimewa  

Padahal Islam telah memberikan keistimewaan pada perempuan. Cukuplah sabda Rasulullah berikut menggambarkannya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, seseorang datang kepada Rasululullah dan bertanya, "Wahai Rasulullah, kepada siapa aku harus berbakti pertama kali? Rasulullah menjawab, "Ibumu."  Orang tersebut kembali bertanya, "Kemudian siapa lagi?" Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menjawab, "Ibumu." Orang tersebut bertanya kembali, "Lalu siapa lagi?" Beliau menjawab, "Ibumu." Orang tersebut masih bertanya, "Lantas siapa lagi?" Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pun menjawab, "Ayahmu" (HR. Bukhari Muslim).

Ibumu. Ibumu. Ibumu. Masya Allah... Peran ibu begitu istimewa karena dari tangannyalah kehidupan seorang manusia bermula. Bersusah-payah mengandung janin selama sembilan bulan dengan segala kelemahan dan keletihan. Lalu melahirkan sang bayi dengan taruhan hidup mati. Bahkan sebagian ibu mengalami drama kehamilan hingga kelahiran yang beralur plot twist. Maka layak bila seorang perempuan meninggal saat melahirkan, terkategori sebagai mati syahid.

Pun setelah sang buah hati lahir, ibu menyusuinya dengan air susu ibu (ASI) sebagai asupan terbaik anugerah Ilahi. Kemudian mengasuh dan mendidik ananda hingga dewasa dan mengerti sejatinya hidup untuk apa dan demi siapa. Bila seorang perempuan meninggalkan fitrah keibuan; mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh, dan mendidik anak, lantas siapa yang akan melakukannya? Lalu bagaimana nasib generasi dan keluarga?

Ilustrasi pengasuhan ibu di rumah. Foto: Amazing Sedekah/Canvapro

Ya, dalam Islam seorang perempuan memang dipersiapkan menjadi ibu dan istri. Dalam kitab Muqaddimah Dustuur terdapat sebuah kaidah: Al Ashlu fil mar'ati annahaa ummun wa rabbatul baiti wa hiya 'irdhun an yushana (hukum asal seorang perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, dialah kehormatan yang wajib dijaga).

Sebagai ibu, bertugas mengandung hingga mendidik putra-putrinya agar menjadi generasi penerus perjuangan Islam serta peletak peradaban Rabbani. Sebagai pengatur (manajer) rumah tangga, bersama sang suami mengelola urusan rumah tangga agar tercipta rumahku surgaku. Tempat ternyaman bagi anggota keluarga pulang. Pun sebagai madrasah pertama bagi ananda sebelum mengenal sekolah formal atau nonformal.

Tanpa perempuan yang rela mendedikasikan hidupnya sebagai ibu, mungkinkah tercipta generasi qurrota a'yyun yang menjadi permata umat dan siap melanjutkan estafet perjuangan orang-orang terdahulu? Terkait luar biasanya peran ibu, sejenak kita melongok kisah kesuksesan para salafus shalih.

Berkat asuhan cerdas sang bunda, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal menjadi ulama besar dan imam mazhab. Kemuliaan Fatimah Az Zahra adalah bukti keberadaan ibu yang mendidiknya dengan segenap keutamaan berbalut kasih sayang. Shalahuddin Al Ayyubi lahir dari seorang ibu visioner yang bercita-cita memiliki putra pembebas Baitul Maqdis.

Jelas peran ibu (istri) bukanlah main-main. Ia bukan peran rendahan apalagi murahan! Seperti penilaian kebanyakan orang. Bila Allah Subhanahu wa Taala dan Rasulullah saja memberikan kemuliaan, mengapa kebanyakan manusia justru memandang sebelah mata? Dengan demikian, menjadi seorang trad wife itu bukanlah aib yang memalukan. Tapi sebuah fitrah yang penuh dengan keistimewaan. []

 

Kontributor: Puspita Satyawati


Kirimkan Wakaf Jariyah Link ke https://linktr.ee/id.berbagikebaikan